12. Malam Pertama

Minggu, 15 Februari 2009 |

Duduk termenung sendirian di beranda apartemenku, dengan ditemani segelas cappucino hangat buatanku sendiri, membuatku merasa berada di surga. Tak ada yang lebih indah dari kesunyian untuk seorang introvert seperti aku.

Tak kuhiraukan lagi angin malam yang menerpa tubuh ini, walau tak ada selembar cardigans ataupun jaket yang menyelimutiku. Tak ingin rasanya aku lewati malam pertama ini. Merasakan hidup sendiri. Mencoba menata diri dan menapaki jalan hidup yang lebih dewasa.

Tak pernah aku dapati pemandangan seperti malam ini. Setidaknya tak kudapati dengan sepenuh jiwa. Hamparan lampu dari gedung-gedung pencakar langit tepat di depan mataku, dan kilau lampu jalanan, serta lampu mobil yang menyilaukan saat aku menundukkan kepala. Tak berhenti sampai di sana rasa takjub ini, saat kepala ini terangat, mendangak, ribuan bintang tersenyum, berkerling, bermain mata, seakan ingin bercumbu dengan sang bulan, tak peduli mereka akan terlihat jelas, dengan pekatnya langit yang berada di belakangnya.

Dinginnya malam memutuskanku untuk meninggalkan beranda dan berhenti berkhayal. Berkhayal aku menari di antara bintang, tak pedulikan sakit, tak rasakan cemas. Khayalku pun pergi semenit kemudian, terganti dengan cinta. Cinta akan perih, sakit yang sering aku cari, yang sebenarnya aku pedulikan.

"Aah sudahlah, aku akhiri saja renungan tak pentingku malam ini. Biar sisa malam pertama ini, aku nikmati dengan tidur."

Takjubku malam ini pun bertambah satu. Sebuah amplop kecil berwarna jingga, tergeletak di atas tempat tidur. Dalam hitungan detik, amplop itu pun sudah ada di tanganku, dan aku buka.

"Aku hanya perlu satu bintang, untuk menjadikanku bintang terakhirnya."

Satu kalimat yang membuatku terbang tinggi. Tak lagi seperti anak burung yang baru belajar bagaimana mengepakkan sayap-sayap kecil mereka.

"Hmmm, tapi tunggu dulu, siapa yang mengirimkan ini ya? Ngga ada nama pengirimnya pula. Tulisan tangannya pun tidak seperti tulisan tangan Ad, ataupun Ales, dan tadi waktu aku datang amplop ini belum ada di sini. Aku harap bukan dari Ales yang pasti. Sial bikin orang penasaran."

11. Hari Terakhir

Sabtu, 10 Januari 2009 |

"Nis, hari ini pindah-pindahanmu terakhir ya?

"Yupe. Tinggal dikit lagi barang-barangku yang belum aku bawa."

"Kita berdua bantuin kamu ya."

"Kalian berdua ga mau pergi kemana gitu?"

"Nope. We are going to miss you, Nis."

"Iya, Nis. Aku setuju sama Ales, kita berdua bakal kangen kamu 'kan."

"Madeline, kita masih satu sekolah 'kan, dan aku masih bakal sering ke rumah juga. Lagi pula Adrian mau bantu aku sih. Aku lagi nunggu dia sebentar lagi. Aku ga mau bikin repot kalian."

"Please Nis, please."

"I hate your face, kalo kamu lagi ngerayu aku kayak gini, Line."

"I know, berarti boleh 'kan."

"Gitu dong Nis, 'kan jadinya aku tahu apartemen kamu juga."

"Hmmm, Eline 'kan sudah tahu Les, kamu tinggal jemput Eline kalo mau ke apartemenku."

"Okay."

Eline, Ales dan Ad pun akhirnya pergi menemaniku pindahan ke apartemen. Tak besar memang, tapi cukuplah bisa membuatku lebih mandiri. Hidup tanpa keluarga. Dan sesampainya kami di sana...

"Pelan-pelan Ad, bisa ngangkatnya? Berat 'kan?"

"Sini-sini aku bantuin."

Melihat wajahnya yang memerah karena kepanasan setelah beberapa kali naik turun mengangkat kardus demi kardus yang berisi barang-barangku, membuatku gemas. Lucu.

"Capekh, Ad?"

"Lumayan."

"Aku buatin minum ya."

"With my pleasure, Hon."

"Capuccino ya."

"Ice please."

"Untuk kamu apa siy yang ga, Ad."

"Buat kita berdua juga donk Nis."

"Kalian? Air putih aja ya."

Sambil aku membuatkan minum untuk mereka bertiga, aku melihat Ales berkeliling apartemenku. Ia membuka 2 kamar yang sudah tertata rapi sebelumnya. Tak lama kemudian ia pun kembali ke ruang tengah.

"Apartemennya enak Nis. Ngaturnya juga bagus."

"Thanks, Les."

"Kapan-kapan aku main ke sini boleh ya?"

"Hmmm, sama Eline ya kalo ke sini."

"Terus, kardusnya mau dibantuin dibongkar?"

"Yang itu aja, Les. Itu isinya peralatan makan & masak."

"Kamu masih capekh, Ad?"

"Yupe."

"Ya sudah, biar Ales aja yang bantuin bongkar ya."

Empat gelas Ice Capuccino pun sudah tersaji di meja. Ales yang tadinya antusias membongkar kardus yang berisi peralatan makan, akhirnya memutuskan bergabung bersama kami bertiga di depan televisi, sambil menikmati segelas capuccino kami masing-masing. Dan tak tahu mengapa, tiba-tiba Eline menyeletuk...

"Kayak lagi, double date ya."

"Hah? Maksudmu Line?"

"Iya, kayak lagi double date. Aku sama Ales..."

"Dan aku sama Nisya? Gitu Line?"

"Bener, Ad. Jadi kamu sama Nisya udah resmi pacaran 'kan?"

"Bentar lagi lah, Line."

"Heh, kurang ajar, sial, PD banget loh."

Kami pun berempat tertawa terbahak-bahak. Malas rasanya kami harus membuka-buka kardus-kardus itu lagi. Kami pun duduk di depan televisi, sambil menikmati film seri yang di putar di salah satu saluran di televisi berlangganan. Kami pun tak tahu harus melakukan apa lagi, setelah film itu selesai...

"Hon, di mobil ada kartu 'kan?"

"Ada kayaknya."

"Aku ambil ya, kita main kartu aja gimana?"

"Good idea, Ad."

Setelah ia meninggalkan kami, Eline dan Ales langsung menginterogasi aku.

"Kok lama banget kalian jadiannya?"

"Duh, sabar napa sih. Kok jadi kalian yang ga sabar?"

"Eh si Ad 'dah turun ya. Bawa HP ga ya dia?"

"Kenapa? Ga sepertinya. Tuh HPnya di atas meja."

"Dari tadi aku ga pegang-pegang HP, jangan-jangan ketinggalan di mobil."

"Aku turun nyusul Ad dulu deh."

"Hmmmm, Line, aku aja yang ke bawah nyusul Ad, biar kamu di sini berdua Ales."

10. Permintaan Khusus

Jumat, 07 November 2008 |

Sudah satu bulan ini aku menghindar dari Ales, saat ia sedang bersama Eline dan terlebih lagi saat ia sedang sendiri. Lelah juga lama-lama aku menyimpan rahasia ini, walaupun setelah Jumat naas itu, kejadian seperti itu tidak terulang lagi. Setidaknya hingga saat ini.

Kepergianku ke Bali saat itu pun, masih menjadi tanda tanya besar bagi seluruh anggota keluargaku. Bahkan sampai Shana dan Laura kembali ke Amerika. Aku yakin mereka pasti terheran-heran, mengapa hingga saat ini aku belum menceritakan alasan mengapa aku "melarikan diri" ke Bali saat itu. Ini tak biasanya terjadi.

Sampai akhirnya hari ini aku beranikan diri untuk membuka rahasia ini pada mama. Tak ingin membicarakannya di rumah, akhirnya aku menjemput mama di rumah sakit tempat ia praktik. Sebelumnya aku telah janjian dengannya, dengan mengirimkan pesan singkat. "Ma, hari ini aku jemput ke rumah sakit. Aku pengen ngomong sesuatu."

Sesampainya di rumah sakit, mama sudah selesai praktik.

"Hai, Ma. Dah selesai?"

"Udah, yuk mau ngobrol-ngobrol di mana kita?"

"Tempat ngopi biasa dech, Ma."

"Okay, kita ke sana ya."

Setelah kami memesan minuman favorit kami masing-masing, kami pun langsung mencari tempat yang sepi dan menyenangkan untuk duduk ngobrol. Dan pembicaraan dimulai dariku.

"Ma, by the way, apartemen yang atas namaku itu, bulan depan 'dah selesai disewa 'kan?"

"Sepertinya memang habis sih masa kontraknya."

"Boleh ngga, ngga diperpanjang atau dikasihin ke orang lain?"

"Loh kenapa?"

"Aku mau tinggal di situ boleh ya?"

"Kenapa, Nis? Di rumah lebih enak, semuanya ada, bisa ngumpul-ngumpul sama Eline, Kania."

"Ma, tahun depan aku juga bakal tinggal sendiri, harus bisa ngerawat diri sendiri, dan jauh dari Mama 'kan? Latihan buat hidup tanpa kalian."

"Tapi Nis, kamu inget peraturan Papamu 'kan? Belum boleh tinggal sendiri, kalo belum 18 tahun."

"Apa bedanya sih Ma, ampun deh, aku juga 18 tahun tinggal beberapa bulan lagi gitu. Kalau Kania memang wajar, belum boleh tinggal sendirian, walaupun kalian 'dah ngasih apartemen ke dia."

"Kenapa kamu tiba-tiba mau tinggal sendirian di apartemen? Terus kamu sampai sekarang juga belum cerita ke Mama, kenapa kamu mendadak ke Bali waktu itu?"

"I have reason."

"And what's that?"

"You really want to know?"

"Yes, I do."

"Okay. Aku menghindar dari Ales."

"Kenapa Ales?"

"Kalo aku cerita, mungkin Mama ngga akan percaya."

"Kalo Eline ngga ada di rumah, dia sering godain aku."

"Maksudnya?"

"Pernah sekali dia meluk aku gitu dari belakang. Waktu itu aku masih agak maklum, karena dia baru mulai pacaran dengan Madeline dan belum bisa bedain antara aku dan kembaranku. Dan yang terakhir, itu juga kenapa kamu kabur ke Bali, He kissed me, on lips."

"Di mana kejadiannya?"

"Dua-duanya di rumah."

"Terus, kamu 'dah cerita ke Eline?"

"Hampir, tapi karena waktu itu dia bilangnya bakal lebih percaya pacarnya dari pada aku, jadinya aku ngga jadi cerita."

"Berapa lama dia ngga bisa tidur nyenyak ya jadinya? Kasihan juga tuch anak."

"Mama tau tentang itu?"

"Nis, apa siy yang ngga diceritain Eline ke Mama?"

"Iya sih, hampir lupa aku. Terus Mama percaya gitu sama ceritaku?"

"Percaya. You're my daughter, dan ngga mungkin Mama lebih belain Ales daripada kamu."

"Eline ngga kayak gitu."

"So, kamu 'dah mantep mau tinggal sendiri?"

"Yupe."

"Ya, nanti kita omongin lagi ke Papa-mu. Satu hal juga Nis, begitu kamu keluar rumah berarti uang jajan juga berkurang. Sampai 3 bulan kedepan, we still provide uang jajanmu seperti biasa. Setelah itu akan terus berkurang okay?"

"Tapi bukan berarti nanti aku pindah kuliah ke luar, penyusutan uang jajannya dilanjutkan dari situ 'kan?"

"Ngga lah. Begitu kamu nanti sekolah ke luar, kita bakal nerapin peraturan yang sama seperti yang diterapin ke Shana dan Laura."

"Tapi, satu lagi Ma."

"Mobil satu di aku ya."

"Terus udah ngitung-ngitung hasil sewa apartemennya kemaren, 'dah bisa buat hidup kamu di sini, dan sisain buat hidup kamu nanti di luar?"

"Masih ada sisa kok."

"Inget ya, batas Mama dan Papa ngasih penuh keperluanmu setelah kamu kuliah di luar, cuma satu setengah tahun. Setelah itu, kita bakal ngurangi juga. Jadi diitung lagi yang bener."

"Sip-sip."

"And promise me, one day you will tell Eline about Ales."

"Will do, Mom."

09. Kejutan Di Hari Senin

Minggu, 02 November 2008 |

"Heh, Nis. Pulang sama siapa?"

"Belum tau."

"Pulang ama gue ama Eline aja Nis. Pak Wito gak jemput 'kan?"

"Gak siy."

"Terus tadi abis gue ama Eline berangkat, elu ama Kania dianter siapa?"

"Sama bokap dong."

"Ya sudah, sekarang pulang sama gue 'aja yuk."

"No thanks, Les. Gampanglah nanti gue pulang sama siapa. Paling ama Kania naik taksi atau nebeng Kim atau minta anterin Ad."

"Udah janjian sama mereka?"

"Hmmm, 'dah kok."

"Oh, ya 'udah kalo gitu. Sampai ketemu di rumah, Nis."

"Bye."

Terpaksa aku berbohong, mengatakan aku sudah janjian dengan Kim ataupun Ad. Kim memang tadi sudah aku tanyakan, tapi sayangnya ia harus buru-buru menjemput ibunya di suatu tempat. Jadi terpaksa ia menolak aku yang meminta untuk nebeng.

"Dek, kamu di mana sekarang?"

"Kantin, Nis. Kita pulang sama siapa? Gak bareng Eline sama Ales aja?"

"Gak usahlah, kita pulang sendiri aja. Gampang. Ya 'udah aku ke sana ya."

Saat berjalan sendirian di koridor sekolah menuju kantin, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk punggungku.

"Hai, kok sendirian?"

"Ad, where have you been? Kenapa tadi tiba-tiba ngilang di tengah pelajaran terakhir?"

"Saya dipanggil kepala sekolah."

"Ada apa?"

"About this proposal."

"Oh, jadinya kapan acaranya diadain?"

"November sampai Desember tengah. Selesai sebelum libur akhir tahun."

"Ada apa aja?"

"Rencananya ada kompetisi olah raga, seni, terus pas weekend kita ngajar anak panti dan anak jalanan di sini. Terus terakhir semuanya ditutup gelar bazar murah. Kita bakal nyewa tempat di daerah Bintaro gitu."

"Seru juga tuch. Berapa sekolah yang diundang?"

"Banyak kok."

"Terus yang ngajar anak-anak itu siapa?"

"Sekolah yang ikut kompetisi-kompetisi itu wajib mengirimkan wakilnya untuk ngajar."

"Wah. Pasti rame acaranya."

"Hopefully."

Beberapa detik kemudian mulut kami berdua terkunci, setelah obrolan tentang acara dua tahunan sekolah kami itu selesai. Kakiku masih melangkah menuju kantin, tempat aku dan Kania akan bertemu. Tak lama kemudian, aku dikejutkan satu hal lagi dari Ad. Tanpa mengatakan apapun sebelumnya. Ad menggandeng tanganku. Sontak aku melihat ke arahnya. Kaki ini tak berhenti melangkah. Aku yakin, Ad tahu benar bahwa saat itu aku sedang menatap wajahnya yang tetap melihat ke arah depan. Mungkin ia pun risih. Akhirnya ia menolehkan kepalanya ke kiri, menatap mataku, dan ia hanya memperlebar senyumannya. Tanpa sepatah kata pun. Berbunga aku dibuatnya. Tak tahu apa yang harus aku katakan, apa yang harus aku lakukan. Yang jelas, tangan ini masih menyatu dengan tangannya. Sampai kami berdua tiba di kantin dan bertemu Kania. Aku masih diam seribu kata. Hingga...

"Kan, pulang yuk, bareng saya dan Nisya."

"Kamu antar kami Ad?"

"Iya, kamu berdua lagi tidak ada latihan berenang 'kan?"

"Gak, males, lagi ga ada Pak Wito."

"Eh, Ad, sebentar ya, saya mau bayar minuman ini dulu."

"Okay."

Kembali hanya kami berdua. Tetap terdiam. Sampai kami berdua melihat Kania berjalan kembali ke arah kami, setelah membayar minuman. Dan ia membisikkan sesuatu padaku.

"Nis, everything is going to be okay. I'm here for you."

"Thanks."

Kania pun dengan wajah dan senyum lugunya datang menghampiri kami berdua. 

"Ayo, pulang, atau kita jalan-jalan dulu?"