14. Sekian Detik

Minggu, 03 Mei 2009 |

"Duh sapa lagi niy, telpon-telpon. Iya-iya bentar lagi jalan ke kamar ngambil hp. Sial, si Ales pulakh. Angkat ngga ya?"

Aku pun sempat berpikir beberapa detik sebelum akhirnya...

"Ya, Les, kenapa?"

"Eh Nis, aku ke apartemenmu ya?"

"Sama Elien? Ngapain?"

"Ngga. Sendirian."

"Ngapain, 'kan kemaren malem elo baru dari sini."

"Main lagi aja, apartemenmu enak soalnya."

"Duh, Les, aku juga bentar lagi mau pergi. Mau jalan bego sendirian."

"Aku temenin ya."

"Dibilangin jalan bego sendirian, ya sendirian. Tanpa temen."

"Mau jalan sendirian atau sama Ad?"

"Les, none of your business anyway. Udah ya, gue mau siap-siap pergi nih."

Aku pun kembali menuju ke ruang tengah, melanjutkan kenikmatan duduk-duduk sendiri di ruangan itu. Dan aku berpikir sesuatu. Sesuatu yang sepertinya memang harus aku lakukan...

"Pagi, Mbak. Ini dengan Nisya dari A1802."

"Ya, Mbak Nisya."

"Ini dengan Mbak siapa ya?"

"Dengan Nata."

"Mbak Nata yang tadi malem jaga juga?"

"Iya, Mbak. Ada apa?"

"Gak, Mbak. Mbak Nata masih inget mukanya kembaran saya dan pacarnya 'kan?"

"Masih, Mbak."

"Saya boleh minta tolong ya. Kalo pacarnya kembaran saya ke sini sendirian, tanpa Elien kembaran saya, tolong jangan langsung dikasih izin naik ya. Tolong telepon saya dulu, dan tolong beritahu yang lain juga."

"Oh, baik, Mbak. Nanti saya sampaikan ke security juga."

"Ma kasih, Mbak."

Kembali memandangi layar kaca yang ada di depanku. Dengan acara teve yang sebenarnya cukup menghibur. Namun tetap saja, aku adalah manusia paling malas berjam-jam di depan televisi.

Lantaran bingung ingin berbuat apa, akhirnya aku mengambil laptopku tercinta dan mulai memeriksa akun-akun surat elektronikku yang sudah dua hari tidak aku buka, karena sibuk pindahan.

Semua urusan memeriksa blog, surat elektronik, telah selesai kurang dari satu jam. Tak seperti biasa memang. Dan laptopku itu sudah tersimpan rapi sekarang.

Berjalan ke arah beranda, melihat langit cerah, bahkan sangat cerah membuat niatku untuk pergi jadi hilang. Mungkin karena lelah, atau mungkin masih diliputi rasa senang yang luar biasa menikmati apartemen baru.

Akhirnya aku memutuskan untuk berganti pakaian renang, dan pergi beranjak ke kolam renang di apartemenku.

"Itung-itung olah raga lah, sambil menikmati kolam renang baru. Hihihihi. Jadi item dikit tak masyalah."

"Nisya, Nisya, hobi banget si loe ngomong sendiri."

Hanya membawa kunci kamar dan baju handuk, aku pun berjalan menuju kolam renang. Menikmati Minggu pagi yang sangat cerah, yang cukup membuat kulitku sedikit berubah warna setelah berenang nanti. Rasa tak sabarku segera membawa diri ini tanpa berlama-lama menyebur ke kolam renang, sesampaiku di sana.

Namun tak berapa lama aku sedang menikmati nikmatnya tubuh yang direndam air, tiba-tiba petugas kolam renang menghampiriku...

"Mbak, Nisya. Ada tamu di lobi. Temennya Mbak Nisya katanya. Adrian."

"Saya terima teleponnya dulu deh Mbak di ruang locker."

Telepon dari resepsionis membuatku terpaksa beranjak keluar dari kolam renang.

"Yes, Ad."

"Hai, kamu lagi berenang, Nis?"

"Yupe. You want to join? By the way, are you at lobby?"

"Yes, I am here."

"Ya udah ke pool dulu ya. Aku tunggu. Bisa tolong kasih teleponnya ke resepsionisnya?"

"Okay."

"Mbak, ngga papa, tolong tunjukkin jalan ke kolam renang. Ma kasih."

Dan aku pun kembali menceburkan diri ke kolam renang. Baru sekitar 5 menit aku bergerak di dalam air, dan pada saat aku mengambil napas, aku sudah melihat Adrian, yang super ganteng di pinggir kolam.

"Morning, Handsome."

"Morning, Gorgeous. Kamu masih lama berenang?"

"Masih. Aku baru aja mulai, Ad."

"Oh, kalo gitu boleh pinjem kunci?"

"Untuk?"

"Ini ada titipan dari mama untuk kamu. Makanan. Katanya untuk makan malem."

"Ooooh yaa? Waah terima kasih Tante Yuki. Ya udah, kamu ke locker room, buka locker A1802. Nomor kunci lockernya 1828. Jangan lupa dikunci lagi ya."

"Okay."

"Kamu nanti ke sini lagi 'kan? Hei, you bring swimwear?"

"Nope. I didn't plan to swim."

"Kamu beli aja di resepsionis kolam renang gih. Temenin aku berenang dounks. Mereka jual baju renang yang bagus kok."

"Hmmm, oh ya. Okay lah kalo gitu."

"Kalo perlu baju anduk, cari di lemariku. Anduk sini ngga boleh dibawa naik."

"Will do, Sweetie."

Sekitar lima belas menit kemudian, Ad sudah kembali dan sudah mengenakan baju handuk milikku, yang memang ukurannya cukup untuk siapapun. Dan bisa dipastikan dalam sekejap ia sudah berenang bersamaku.

Sesekali kami berdua mengobrol, setelah menyelesaikan beberapa putaran. Membicarakan banyak hal. Termasuk ia menanyakan alasan mengapa waktu itu aku tiba-tiba pergi ke Bali seorang diri dan mendadak. Namun pertanyaan itu tak aku jawab. Biarlah itu menjadi rahasiaku dan mama tentunya.

Hasil analisa Ad aku akui cukup tajam, ia melihat adanya korelasi antara kepergianku ke Bali saat itu, dan kepindahanku ke apartemen, yang semuanya secara tiba-tiba dan terkesan terburu-buru...

"Bener 'kan Nis, pasti ada hubungannya antara dua hal itu?"

"Kok kamu bisa bilang gitu, Ad?"

"Feeling aja."

"Someday you'll know. Or I'll let you know."

"Hmmm, Nis."

"Yes."

Dan sedetik kemudian, sedetik setelah aku memalingkan kepalaku menghadapnya, kedua bibir ini sudah bertemu. Saling mengulum untuk sekian detik.

"If you only know, Sweetheart. I love you."

Dan pernyataan itu tak berani aku jawab sama sekali.

13. Hari Ini Bukan Hari Kasih Sayang 'Kan?

Kamis, 19 Maret 2009 |

"Ah, baru kerasa niy sepinya. Tanpa teriakan Kania yang biasa membuatku terbangun, tanpa bantingan pintu si Elien, yang sangat jarang bisa menutup pintu tanpa menimbulkan suara gaduh."

Melangkahkan kaki keluar kamar, semakin menyadarkanku akan kesendirianku, sesaatku melihat ke sekeliling dan tak aku temui kehadiran keluargaku. Kesendirian yang biasanya merupakan surga bagiku, tetapi tidak kali ini.

"Sepinya."

Namun semua itu hanya aku simpan di dalam tekad bulatku untuk merasakan hidup mandiri.

"Saatnya nge-teh."

Segelas teh hangat yang memang sering menjadi bagian menu sarapan pagi, yang biasanya disiapkan oleh Mama, kini aku siapkan sendiri. Tak ada aroma margarin yang dilelehkan di penggorengan, untuk memasak telur acak, yang biasanya membuat harum dapur, sama seperti saat Mama memasakkan sarapan untukku.

"Katanya mau idup mandiri, Nis."

"Biasalah, hari pertama ngerasain hidup tanpa keluarga."

Ya, kira-kira begitulah "obrolan" ku dengan diriku sendiri.

Segelas teh hangat sudah di tangan, sepotong roti sudah siap aku santap, sembari membaca majalah favoritku. Namun tak berapa lama, telepon apartemenku berbunyi, dan aku tahu dari layar, bahwa yang menelepon adalah resepsionis apartemen.

"Pagi, Mbak Nisya."

"Pagi."

"Mbak, ini ada kiriman, mau kami antar ke atas saja, atau Mbak Nisya akan ambil ke bawah?"

"Tolong antar ke atas boleh Mbak?"

"Boleh, kalau begitu sebentar lagi kami kirim ke atas."

"Terima kasih, Mbak."

Aku pun kembali duduk manis di sofa, di depan televisi. Dan sembari aku menggigit roti, aku berpikir "Kiriman apa lagi hari gini? Siapa yang ngirim?"

Rasa penasaranku ternyata tak lama. Jawaban itu akan aku ketahui sesaat aku membukakan pintu, sebagai respon dari bunyi bel yang baru saja aku dengar.

"Pagi, Mbak. Ini kirimannya."

"Hmmm, siapa yang ngirim tadi, Mbak?"

"Tadi sih yang terima teman saya, tapi sepertinya saya lihat dari jauh, yang ngirim juga tukang kirim gitu Mbak. Terus kata teman saya, orangnya bilang, nama pengirimnya ada di dalam amplop itu."

"Oh, ya sudah kalau begitu. Terima kasih ya."

Seingatku bulan ini bukan ulang tahunku, bukan juga hari kasih sayang, dan tak ada peristiwa penting lainnya. Satu buket besar penuh dengan bunga mawar yang kelopaknya memiliki dua warna yaitu putih bercampur merah muda, yang merupakan bunga kesukaanku, kini aku pegang. Tak sabar aku buka amplop yang menyertai kiriman itu.

"Dan kamu adalah bintang terakhirku, Nisya."

Dan lagi, di amplop itu tidak ada nama pengirim.

"Bagaimana manusia ini bisa tahu persis bunga kesukaanku ya? Aku tak pernah cerita pada Ad, atau bahkan pada Ales. Yang tahu jenis bunga favoritku ini, hanya Darwin, mantan pacarku waktu aku di Amerika dulu. Bodokh ah, bagus bunganya. Ntar aja pikirin lagi siapa yang ngirim."

Tanpa pikir panjang, akhirnya aku mengatur bunga itu ke dalam jambangan, dan kembali sibuk mengunyah roti, dan menyeruput teh hangat yang belum habis. Dan...

"Ah, sial, makin penasaran khan aku."

12. Malam Pertama

Minggu, 15 Februari 2009 |

Duduk termenung sendirian di beranda apartemenku, dengan ditemani segelas cappucino hangat buatanku sendiri, membuatku merasa berada di surga. Tak ada yang lebih indah dari kesunyian untuk seorang introvert seperti aku.

Tak kuhiraukan lagi angin malam yang menerpa tubuh ini, walau tak ada selembar cardigans ataupun jaket yang menyelimutiku. Tak ingin rasanya aku lewati malam pertama ini. Merasakan hidup sendiri. Mencoba menata diri dan menapaki jalan hidup yang lebih dewasa.

Tak pernah aku dapati pemandangan seperti malam ini. Setidaknya tak kudapati dengan sepenuh jiwa. Hamparan lampu dari gedung-gedung pencakar langit tepat di depan mataku, dan kilau lampu jalanan, serta lampu mobil yang menyilaukan saat aku menundukkan kepala. Tak berhenti sampai di sana rasa takjub ini, saat kepala ini terangat, mendangak, ribuan bintang tersenyum, berkerling, bermain mata, seakan ingin bercumbu dengan sang bulan, tak peduli mereka akan terlihat jelas, dengan pekatnya langit yang berada di belakangnya.

Dinginnya malam memutuskanku untuk meninggalkan beranda dan berhenti berkhayal. Berkhayal aku menari di antara bintang, tak pedulikan sakit, tak rasakan cemas. Khayalku pun pergi semenit kemudian, terganti dengan cinta. Cinta akan perih, sakit yang sering aku cari, yang sebenarnya aku pedulikan.

"Aah sudahlah, aku akhiri saja renungan tak pentingku malam ini. Biar sisa malam pertama ini, aku nikmati dengan tidur."

Takjubku malam ini pun bertambah satu. Sebuah amplop kecil berwarna jingga, tergeletak di atas tempat tidur. Dalam hitungan detik, amplop itu pun sudah ada di tanganku, dan aku buka.

"Aku hanya perlu satu bintang, untuk menjadikanku bintang terakhirnya."

Satu kalimat yang membuatku terbang tinggi. Tak lagi seperti anak burung yang baru belajar bagaimana mengepakkan sayap-sayap kecil mereka.

"Hmmm, tapi tunggu dulu, siapa yang mengirimkan ini ya? Ngga ada nama pengirimnya pula. Tulisan tangannya pun tidak seperti tulisan tangan Ad, ataupun Ales, dan tadi waktu aku datang amplop ini belum ada di sini. Aku harap bukan dari Ales yang pasti. Sial bikin orang penasaran."

11. Hari Terakhir

Sabtu, 10 Januari 2009 |

"Nis, hari ini pindah-pindahanmu terakhir ya?

"Yupe. Tinggal dikit lagi barang-barangku yang belum aku bawa."

"Kita berdua bantuin kamu ya."

"Kalian berdua ga mau pergi kemana gitu?"

"Nope. We are going to miss you, Nis."

"Iya, Nis. Aku setuju sama Ales, kita berdua bakal kangen kamu 'kan."

"Madeline, kita masih satu sekolah 'kan, dan aku masih bakal sering ke rumah juga. Lagi pula Adrian mau bantu aku sih. Aku lagi nunggu dia sebentar lagi. Aku ga mau bikin repot kalian."

"Please Nis, please."

"I hate your face, kalo kamu lagi ngerayu aku kayak gini, Line."

"I know, berarti boleh 'kan."

"Gitu dong Nis, 'kan jadinya aku tahu apartemen kamu juga."

"Hmmm, Eline 'kan sudah tahu Les, kamu tinggal jemput Eline kalo mau ke apartemenku."

"Okay."

Eline, Ales dan Ad pun akhirnya pergi menemaniku pindahan ke apartemen. Tak besar memang, tapi cukuplah bisa membuatku lebih mandiri. Hidup tanpa keluarga. Dan sesampainya kami di sana...

"Pelan-pelan Ad, bisa ngangkatnya? Berat 'kan?"

"Sini-sini aku bantuin."

Melihat wajahnya yang memerah karena kepanasan setelah beberapa kali naik turun mengangkat kardus demi kardus yang berisi barang-barangku, membuatku gemas. Lucu.

"Capekh, Ad?"

"Lumayan."

"Aku buatin minum ya."

"With my pleasure, Hon."

"Capuccino ya."

"Ice please."

"Untuk kamu apa siy yang ga, Ad."

"Buat kita berdua juga donk Nis."

"Kalian? Air putih aja ya."

Sambil aku membuatkan minum untuk mereka bertiga, aku melihat Ales berkeliling apartemenku. Ia membuka 2 kamar yang sudah tertata rapi sebelumnya. Tak lama kemudian ia pun kembali ke ruang tengah.

"Apartemennya enak Nis. Ngaturnya juga bagus."

"Thanks, Les."

"Kapan-kapan aku main ke sini boleh ya?"

"Hmmm, sama Eline ya kalo ke sini."

"Terus, kardusnya mau dibantuin dibongkar?"

"Yang itu aja, Les. Itu isinya peralatan makan & masak."

"Kamu masih capekh, Ad?"

"Yupe."

"Ya sudah, biar Ales aja yang bantuin bongkar ya."

Empat gelas Ice Capuccino pun sudah tersaji di meja. Ales yang tadinya antusias membongkar kardus yang berisi peralatan makan, akhirnya memutuskan bergabung bersama kami bertiga di depan televisi, sambil menikmati segelas capuccino kami masing-masing. Dan tak tahu mengapa, tiba-tiba Eline menyeletuk...

"Kayak lagi, double date ya."

"Hah? Maksudmu Line?"

"Iya, kayak lagi double date. Aku sama Ales..."

"Dan aku sama Nisya? Gitu Line?"

"Bener, Ad. Jadi kamu sama Nisya udah resmi pacaran 'kan?"

"Bentar lagi lah, Line."

"Heh, kurang ajar, sial, PD banget loh."

Kami pun berempat tertawa terbahak-bahak. Malas rasanya kami harus membuka-buka kardus-kardus itu lagi. Kami pun duduk di depan televisi, sambil menikmati film seri yang di putar di salah satu saluran di televisi berlangganan. Kami pun tak tahu harus melakukan apa lagi, setelah film itu selesai...

"Hon, di mobil ada kartu 'kan?"

"Ada kayaknya."

"Aku ambil ya, kita main kartu aja gimana?"

"Good idea, Ad."

Setelah ia meninggalkan kami, Eline dan Ales langsung menginterogasi aku.

"Kok lama banget kalian jadiannya?"

"Duh, sabar napa sih. Kok jadi kalian yang ga sabar?"

"Eh si Ad 'dah turun ya. Bawa HP ga ya dia?"

"Kenapa? Ga sepertinya. Tuh HPnya di atas meja."

"Dari tadi aku ga pegang-pegang HP, jangan-jangan ketinggalan di mobil."

"Aku turun nyusul Ad dulu deh."

"Hmmmm, Line, aku aja yang ke bawah nyusul Ad, biar kamu di sini berdua Ales."