Sudah satu bulan ini aku menghindar dari Ales, saat ia sedang bersama Eline dan terlebih lagi saat ia sedang sendiri. Lelah juga lama-lama aku menyimpan rahasia ini, walaupun setelah Jumat naas itu, kejadian seperti itu tidak terulang lagi. Setidaknya hingga saat ini.
Kepergianku ke Bali saat itu pun, masih menjadi tanda tanya besar bagi seluruh anggota keluargaku. Bahkan sampai Shana dan Laura kembali ke Amerika. Aku yakin mereka pasti terheran-heran, mengapa hingga saat ini aku belum menceritakan alasan mengapa aku "melarikan diri" ke Bali saat itu. Ini tak biasanya terjadi.
Sampai akhirnya hari ini aku beranikan diri untuk membuka rahasia ini pada mama. Tak ingin membicarakannya di rumah, akhirnya aku menjemput mama di rumah sakit tempat ia praktik. Sebelumnya aku telah janjian dengannya, dengan mengirimkan pesan singkat. "Ma, hari ini aku jemput ke rumah sakit. Aku pengen ngomong sesuatu."
Sesampainya di rumah sakit, mama sudah selesai praktik.
"Hai, Ma. Dah selesai?"
"Udah, yuk mau ngobrol-ngobrol di mana kita?"
"Tempat ngopi biasa dech, Ma."
"Okay, kita ke sana ya."
Setelah kami memesan minuman favorit kami masing-masing, kami pun langsung mencari tempat yang sepi dan menyenangkan untuk duduk ngobrol. Dan pembicaraan dimulai dariku.
"Ma, by the way, apartemen yang atas namaku itu, bulan depan 'dah selesai disewa 'kan?"
"Sepertinya memang habis sih masa kontraknya."
"Boleh ngga, ngga diperpanjang atau dikasihin ke orang lain?"
"Loh kenapa?"
"Aku mau tinggal di situ boleh ya?"
"Kenapa, Nis? Di rumah lebih enak, semuanya ada, bisa ngumpul-ngumpul sama Eline, Kania."
"Ma, tahun depan aku juga bakal tinggal sendiri, harus bisa ngerawat diri sendiri, dan jauh dari Mama 'kan? Latihan buat hidup tanpa kalian."
"Tapi Nis, kamu inget peraturan Papamu 'kan? Belum boleh tinggal sendiri, kalo belum 18 tahun."
"Apa bedanya sih Ma, ampun deh, aku juga 18 tahun tinggal beberapa bulan lagi gitu. Kalau Kania memang wajar, belum boleh tinggal sendirian, walaupun kalian 'dah ngasih apartemen ke dia."
"Kenapa kamu tiba-tiba mau tinggal sendirian di apartemen? Terus kamu sampai sekarang juga belum cerita ke Mama, kenapa kamu mendadak ke Bali waktu itu?"
"I have reason."
"And what's that?"
"You really want to know?"
"Yes, I do."
"Okay. Aku menghindar dari Ales."
"Kenapa Ales?"
"Kalo aku cerita, mungkin Mama ngga akan percaya."
"Kalo Eline ngga ada di rumah, dia sering godain aku."
"Maksudnya?"
"Pernah sekali dia meluk aku gitu dari belakang. Waktu itu aku masih agak maklum, karena dia baru mulai pacaran dengan Madeline dan belum bisa bedain antara aku dan kembaranku. Dan yang terakhir, itu juga kenapa kamu kabur ke Bali, He kissed me, on lips."
"Di mana kejadiannya?"
"Dua-duanya di rumah."
"Terus, kamu 'dah cerita ke Eline?"
"Hampir, tapi karena waktu itu dia bilangnya bakal lebih percaya pacarnya dari pada aku, jadinya aku ngga jadi cerita."
"Berapa lama dia ngga bisa tidur nyenyak ya jadinya? Kasihan juga tuch anak."
"Mama tau tentang itu?"
"Nis, apa siy yang ngga diceritain Eline ke Mama?"
"Iya sih, hampir lupa aku. Terus Mama percaya gitu sama ceritaku?"
"Percaya. You're my daughter, dan ngga mungkin Mama lebih belain Ales daripada kamu."
"Eline ngga kayak gitu."
"So, kamu 'dah mantep mau tinggal sendiri?"
"Yupe."
"Ya, nanti kita omongin lagi ke Papa-mu. Satu hal juga Nis, begitu kamu keluar rumah berarti uang jajan juga berkurang. Sampai 3 bulan kedepan, we still provide uang jajanmu seperti biasa. Setelah itu akan terus berkurang okay?"
"Tapi bukan berarti nanti aku pindah kuliah ke luar, penyusutan uang jajannya dilanjutkan dari situ 'kan?"
"Ngga lah. Begitu kamu nanti sekolah ke luar, kita bakal nerapin peraturan yang sama seperti yang diterapin ke Shana dan Laura."
"Tapi, satu lagi Ma."
"Mobil satu di aku ya."
"Terus udah ngitung-ngitung hasil sewa apartemennya kemaren, 'dah bisa buat hidup kamu di sini, dan sisain buat hidup kamu nanti di luar?"
"Masih ada sisa kok."
"Inget ya, batas Mama dan Papa ngasih penuh keperluanmu setelah kamu kuliah di luar, cuma satu setengah tahun. Setelah itu, kita bakal ngurangi juga. Jadi diitung lagi yang bener."
"Sip-sip."
"And promise me, one day you will tell Eline about Ales."
"Will do, Mom."
10. Permintaan Khusus
Jumat, 07 November 2008 Tulisan seorang Rufina Anastasia Rosarini pada 19.46 |09. Kejutan Di Hari Senin
Minggu, 02 November 2008 Tulisan seorang Rufina Anastasia Rosarini pada 23.31 |"Heh, Nis. Pulang sama siapa?"
"Belum tau."
"Pulang ama gue ama Eline aja Nis. Pak Wito gak jemput 'kan?"
"Gak siy."
"Terus tadi abis gue ama Eline berangkat, elu ama Kania dianter siapa?"
"Sama bokap dong."
"Ya sudah, sekarang pulang sama gue 'aja yuk."
"No thanks, Les. Gampanglah nanti gue pulang sama siapa. Paling ama Kania naik taksi atau nebeng Kim atau minta anterin Ad."
"Udah janjian sama mereka?"
"Hmmm, 'dah kok."
"Oh, ya 'udah kalo gitu. Sampai ketemu di rumah, Nis."
"Bye."
Terpaksa aku berbohong, mengatakan aku sudah janjian dengan Kim ataupun Ad. Kim memang tadi sudah aku tanyakan, tapi sayangnya ia harus buru-buru menjemput ibunya di suatu tempat. Jadi terpaksa ia menolak aku yang meminta untuk nebeng.
"Dek, kamu di mana sekarang?"
"Kantin, Nis. Kita pulang sama siapa? Gak bareng Eline sama Ales aja?"
"Gak usahlah, kita pulang sendiri aja. Gampang. Ya 'udah aku ke sana ya."
Saat berjalan sendirian di koridor sekolah menuju kantin, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk punggungku.
"Hai, kok sendirian?"
"Ad, where have you been? Kenapa tadi tiba-tiba ngilang di tengah pelajaran terakhir?"
"Saya dipanggil kepala sekolah."
"Ada apa?"
"About this proposal."
"Oh, jadinya kapan acaranya diadain?"
"November sampai Desember tengah. Selesai sebelum libur akhir tahun."
"Ada apa aja?"
"Rencananya ada kompetisi olah raga, seni, terus pas weekend kita ngajar anak panti dan anak jalanan di sini. Terus terakhir semuanya ditutup gelar bazar murah. Kita bakal nyewa tempat di daerah Bintaro gitu."
"Seru juga tuch. Berapa sekolah yang diundang?"
"Banyak kok."
"Terus yang ngajar anak-anak itu siapa?"
"Sekolah yang ikut kompetisi-kompetisi itu wajib mengirimkan wakilnya untuk ngajar."
"Wah. Pasti rame acaranya."
"Hopefully."
Beberapa detik kemudian mulut kami berdua terkunci, setelah obrolan tentang acara dua tahunan sekolah kami itu selesai. Kakiku masih melangkah menuju kantin, tempat aku dan Kania akan bertemu. Tak lama kemudian, aku dikejutkan satu hal lagi dari Ad. Tanpa mengatakan apapun sebelumnya. Ad menggandeng tanganku. Sontak aku melihat ke arahnya. Kaki ini tak berhenti melangkah. Aku yakin, Ad tahu benar bahwa saat itu aku sedang menatap wajahnya yang tetap melihat ke arah depan. Mungkin ia pun risih. Akhirnya ia menolehkan kepalanya ke kiri, menatap mataku, dan ia hanya memperlebar senyumannya. Tanpa sepatah kata pun. Berbunga aku dibuatnya. Tak tahu apa yang harus aku katakan, apa yang harus aku lakukan. Yang jelas, tangan ini masih menyatu dengan tangannya. Sampai kami berdua tiba di kantin dan bertemu Kania. Aku masih diam seribu kata. Hingga...
"Kan, pulang yuk, bareng saya dan Nisya."
"Kamu antar kami Ad?"
"Iya, kamu berdua lagi tidak ada latihan berenang 'kan?"
"Gak, males, lagi ga ada Pak Wito."
"Eh, Ad, sebentar ya, saya mau bayar minuman ini dulu."
"Okay."
Kembali hanya kami berdua. Tetap terdiam. Sampai kami berdua melihat Kania berjalan kembali ke arah kami, setelah membayar minuman. Dan ia membisikkan sesuatu padaku.
"Nis, everything is going to be okay. I'm here for you."
"Thanks."
Kania pun dengan wajah dan senyum lugunya datang menghampiri kami berdua.
"Ayo, pulang, atau kita jalan-jalan dulu?"
08. Obrolan Belahan Jiwa
Sabtu, 25 Oktober 2008 Tulisan seorang Rufina Anastasia Rosarini pada 09.17 |Dua hari sudah aku lewati di Bali. Makan sendirian. Jalan-jalan sendirian. Belanja sendirian. Nongkrong di pantai sendirian. Di kamar sendirian. Berenang sendirian. Puas aku nikmati semua kesendirianku.
Aku berani bertaruh, tak sedikit yang mencoba menghubungi ponselku yang juga sudah 2 hari ini membisu, tak bersuara, karena aku matikan. Bukan aku ganti dengan profil diam, tapi aku matikan fungsi keseluruhan ponsel itu. Apalagi ditambah aku hanya meninggalkan pesan yang ditempel pada pintu lemari pendingin bertuliskan...
"Aku ke Bali 2 hari. Ntar aku ceritain pas pulang."
Baru saja pesawat yang membawaku kembali ke dunia nyataku telah mendarat. Aku sudah kembali di Jakarta. Ibukota yang cantik kala sinar lampu juga bintang berkilau menyinarinya. Berbeda betul saat matahari tak tertidur. Kota ini menjadi hamparan tanah yang penuh dengan kekejaman makhluk-makhluk yang mendiaminya.
Termasuk makhluk kejam bernama Ales dan mungkin juga yang bernama Nisya. Dua hari berpikir, yang lagi-lagi sendirian, belum cukup aku rasa, tapi bukan berarti aku tak mencoba meraih solusi.
Tak perlu waktu lama taksi itu menghantarkanku ke rumah, kala Jakarta sudah sedikit terlelap. Bermodal kunci rumah lengkap, menjadikanku tak perlu bertingkah seperti maling saat harus memasuki rumah.
Tak ada seorang pun di ruang tamu. Aku yakin semuanya sudah tidur. Namun ternyata tebakanku salah. Aku masih melihat cahaya lampu dari arah dapur. Langkah kaki ini pun membawaku ke sana.
"Heh Tengil, dari mana lu?"
"Belom tidur lu, Line?"
"Belom. Dah dari Jumat gue susah tidur."
"Kenapa?"
"Sebenernya agak sebel siy gue ngomongnya ama elu, Nis. Everytime you have problem, gue ngga pernah bisa tidur nyenyak."
"Really? Kok elu baru bilang sekarang?"
"Gengsi Nyet. By the way, are you ok?"
"Gak lah. Kalo gue okay-okay aja, ngapain gue ngabur ke Bali."
"Gak tau ya gue. Gue kira elu ngejar Ad!?"
"Ye, gak segitunya juga kali."
"Terus kenapa? Gara-gara Ad? Kasiyan tuch dia ampe nelpon ke rumah berkali-kali 2 hari ini."
"Line, elu jadi kuliah di Aussie?"
"Jadi. Kenapa?"
"Dah yakin lu?"
"Most likely. Kenapa siy?"
"Just because Ales ya Line, kamu mantep ke sana?"
"Gak juga Nis. Alasan utama gue siy, gue males jauh dari rumah."
"Lebih deket lagi Line? Singapur."
Saat menenggak satu gelas jus mangga yang baru saja aku ambil dari lemari pendingin, Eline kemudian melontarkan sebuah pertanyaan lagi.
"Terus kenapa lu? Jangan sampe elu mbuat gue ngga bisa tidur lagi malem ini. Sepertinya ini yang terparah dari ngga bisa tidurnya gue dulu-dulu. Even elu ngga bilang langsung ke gue ya Nis, tapi biasanya kalo masalah elu selese cepet, gue bakal cepet bisa tidur lagi, dan gak lama dari itu, pasti udah ada yang cerita ke gue, tentang masalah elu itu."
"Oooowww...pantesan elu ngga pernah nanya-nanya gue ya? Lah elu ternyata setengah paranormal buat gue."
"Hehehehe, emang gue suka jadi kayak gini. Gak enak kali."
"Line, selain elu ngga suka gara-gara elu jadi sensitif n ikutan ngerasain masalah gue, menurut pandangan lu, gue kayak apa siy?"
"Nyebelin."
"Come on, serius niy gue, walopun nyebelin emang salah satunya."
"Elu kaca buat gue kok Nis. Gue ngga perlu susah-susah nyari tau pendapat orang lain. Gue tinggal liat elu. Diem-diem observasi gue canggih loh."
"Contohnya apa?"
"Inget waktu kita dulu masih dijejali dengan banyaknya les-les keparat itu?"
"Iya tuh, cuma libur pas weekend"
"Elo tau dong, gue ngomel-ngomelnya kayak apa waktu itu. Ada gitu yang ngajarin gue secara detil ngatur waktu semua tugas sekolah, les, plus tugas kita di rumah waktu itu?"
"Detil siy ngga. Di-brief dikit siy iya."
"Ntah kenapa, elu bisa gituh diem tanpa ngomel, tapi kerjaan lu beres semua."
"Iya yah?"
"Dan diem-diem gue observasi elu Nis. Elu sadar ngga siy, gue dah ngga terlalu cranky dibanding dulu."
"Wow, ma kasih loh, jadiin gue sebagai inspirasi elu. Terus, berarti kira-kira elu bakal percaya omongan gue dong?"
"Tergantung niy."
"Tergantung apa?"
"Make sense atau ngga."
"Kalo boleh gue minta dibandingin niy Line, kira-kira elu bakal lebih percaya omongan gue atau omongan pacar lu ndiri?"
"Kenapa nanyanya gitu sih."
"Loh iya dong, gue itu kembaran lu. Ales pacar lu. Apple to apple dong bandinginnya. Dua-duanya adalah orang yang deket ama elu, dua-duanya bisa mbuat elu ga bisa tidur. Ya gak?"
"Gue harus milih nih?"
"Iya, elu harus milih."
"Ales, Nis."
"Oh. Ok."
"Kenapa siy?"
"No, i just want to know. Buat pertimbangan kalo gue mau cerita-cerita masalah gue aja ke elu. Ya, udah kalo gitu, gue milih untuk mbuat elu ga bisa tidur dech Line."
"Sial lu. Termasuk malem ini lagi?"
"Yoi. Ya 'dah gue mau tidur, ngantuk, capek, terus besok sekolah."
"Payah lu."
"Eh berhubung elu ngga tidur lagi, berarti besok pagi elu bangunin gue ya ke sekolah."
07. "Rencana Kriminal" Akhir Pekan
Jumat, 24 Oktober 2008 Tulisan seorang Rufina Anastasia Rosarini pada 18.01 |"Krrrinnnggg."
Selesai juga debate class hari ini. Hari ini sudah Jumat, yang berarti hari-hari sekolahku minggu ini, juga berakhir. Rasanya tak ingin aku jumpai akhir pekan. Tak bisa aku bayangkan, 2 hari ke depan aku tak akan bertemu dengan seseorang yang telah membuatku akhir-akhir ini sangat bahagia. Ya, seseorang itu adalah Ad.
Seperti biasanya, setiap hari Jumat, teman-temanku sudah sibuk menyiapkan rencana romantis maupun rencana "kriminal" yang akan dilakukan pada akhir pekan. Sedangkan aku? Sampai bel berbunyi, belum mempunyai rencana apa pun untuk akhir pekan ini.
Semenjak aku putus dengan Darwin dan kembali ke Indonesia, sering kali aku menghabiskan akhir pekan di rumah. Bisa-bisa aku, Kania, Mama dan Papa, menghabiskan waktu seharian menonton DVD, mengobrol untuk menanyakan kabar terbaru kami masing-masing, atau berenang di kolam renang di halaman belakang. Tak jarang pula Madeline dan Ales ikut serta dalam kegiatan kami ini.
Namun saat-saat yang paling aku tunggu adalah saat tengah malam menjelang. Saat aku kembali ke kamarku, menyalakan lampu yang berada di atas nakas, mengambil laptop kesayanganku, yang kemudian aku bawa ke atas tempat tidur, aku nyalakan dan tak lama kemudian aku sudah berkutat dengan blog-blog yang aku kelola. Bagai anak dengan autisme, jika aku sudah masuk ke dalam dunia maya yang aku buat sendiri itu.
Pertanyaan yang sebenarnya paling malas aku jawab, akhirnya keluar juga dari mulut Nerva.
"Nis, besok kemana?"
"Yah Va, lu tau khan gue. Belum tau, liat besok lah."
"Gak pergi ama Ad?"
"Dia ngga ngajak-ngajak Va."
"Jadi ngarep diajak ya?"
"Sial. Gak tau ah."
"Gue ama Nicky mau belanja-belanji, elu mau ikut?"
"Senen kemaren gue 'dah belanja. Ntar duit gue abis. Apalagi belanja 'ama kalian."
"Ya udah, kalo elu mau ikut, tilpun-tilpun yah."
"Beres Va. By the way, si Jepang ngga ikutan besok?"
"Gak. Ada upacara minum teh dia besok.
Sejenak kami berjalan di koridor sekolah, tanpa berbincang sedikit pun. Sampai Nerva akhirnya menanyakan keberadaan Ad.
"Ad mana Nis? Kalian kepisah ya, pas di kelas ini."
"Hahaha, iya nih. Tadi siy aku janjian di depan perpus."
"Kelas yang satunya di ruang berapa siy?"
"Gak nanya gue Va."
Kelas debat memang agak lain dengan kelas-kelas lainnya. Satu kelas debat hanya diperbolehkan berisi 10 orang, sedangkan kelas kami isinya 20 orang. Jadi khusus kelas debat, kelas kami dibagi lagi menjadi dua. Hal ini untuk mempermudah latihan debat pada setiap sesi kelas ini. Dan setiap minggu ke empat, kami dipertemukan kembali untuk latihan berdebat dalam forum yang lebih besar. Tak hanya itu, materi ujian akhir semester kelas ini adalah debat terbuka di depan seluruh guru dan wakil orang tua, tentang seputar masalah sosial yang sedang terjadi, dan tak peduli angkatan. Maksudnya, dalam satu kelompok debat memang sengaja anggota kelompok diacak dan dipilih dari angkatan yang berbeda, yaitu dari grade. Dengan kata lain, pada akhir semester nanti, mungkin saja aku akan berdebat atau bahkan satu kelompok dengan Kania atau Madeline bahkan Ad.
Kelas ini adalah salah satu momok bagiku. Terus terang manusia seperti diriku ini, paling malas kalau diminta adu argumentasi. Namun apa boleh buat, harus aku ambil juga kelas ini, bahkan sejak aku duduk di grade 10.
Satu hal yang menyenangkan dari kelas ini adalah aku bisa bertemu dengan teman lain angkatan, dan lumayan buat "cuci mata". Apalagi dulu saat aku masih di grade 10, aku pernah satu kelompok dengan Luce dari 12. Manusia ganteng ini sempat menjadi idola di sekolahku, apalagi saat itu ia sudah putus dari pacarnya. Lumayan banyak yang iri saat aku sekelompok dengannya, karena aku sempat beberapa kali pergi dengan Luce untuk mempersiapkan ujian akhir semester kami saat itu. Ya, tapi Luce tak sedikit pun aku hiraukan. Bayangan Darwin masih seperti hantu yang gentayangan di hidupku.
Sampai sosok Ad hadir di kehidupanku beberapa bulan yang lalu. Ad mulai bisa menggantikan Darwin yang sempat mengisi hari-hariku dulu. Dan Ad-lah, yang sudah seminggu ini menambah bunga-bunga di hatiku.
Tak terasa aku dan Nerva sudah sampai di depan perpustakaan. Ad belum terlihat saat aku tiba di sana. Tak lama kemudian...
"Nis, sorry i'm in hurry, saya perlu pulang cepat. Bye."
"Ok. Bye, Ad."
"Loh Nis, kenapa dia buru-buru ya?"
"Gak tau gue Va. Biarin aja."
Setelah menunggu 10 menit di lobi sekolah, mobil yang dikendarai Pak Wito sudah tiba dan siap membawaku dan Kania pulang ke rumah.
"Langsung pulang, Non?"
"Yupe."
Sampai rumah aku langsung menuju dapur seperti biasa, dan adikku menuju ke kamarnya, seperti biasa juga. Mengambil segelas susu coklat dingin dari kulkas, lalu aku bawa ke kamarku di atas.
Setelah berganti baju, aku pun turun lagi ke dapur. Dan aku melihat Ales ada di sana, sedang makan siang, dan membaca majalah, tanpa ada Eline.
"Loh, Eline mana Les?"
"Ke muridnya sebentar di blok belakang."
"Dah lama?"
"Apa? Perginya?"
"Yupe."
"15 menit lah."
"Oh."
Lalu kami pun sama-sama diam. Sibuk menyendok dan mengunyah makan siang kami. Sampai Ales kembali bersuara.
"Nis, kamu sama Eline itu beneran kembar 1 telur?"
"Kata mama sih gitu yah. Kenapa emang?"
"Gak, kok beda ya. Cantikkan kamu."
"Gak lah, sama ajah."
Pernyataan yang aneh, dan mengandung banyak makna. Apalagi untuk seorang yang paranoid, penasaran, dan tukang khayal. Makna itu bisa jadi tak karuan. Namun pada akhirnya aku biarkan saja omongan si Ales tadi.
Selesai makan aku pun membawa piringku ke tempat cucian piring lalu mencucinya sendiri. Lalu begitu aku meletakkan piring di rak, dan membalikkan badan, tiba-tiba Ales sudah di depanku. Dan wajahnya sangat dekat denganku.
"Les, what are you doing?"
Pertanyaanku tak dijawab olehnya. Setidaknya tak dijawab dengan kata-kata verbal. Ales menciumku. Mencium bibirku, dan sedikit mengulumnya. Aku hanya diam, tak menolak, tak membalas ciuman itu. Hingga akhirnya ia aku dorong secara halus menjauh dariku.
"Please, don't do that to me anymore. You'll hurt Madeline"
"Dia gak akan tahu Nis. It's our secret, rite?"
"Yeah right."
Tanpa basa-basi, aku pun langsung berlari ke kamarku, mengunci pintu dan coba menghubungi Ad. Namun tak ada jawaban sama sekali. Aku bingung, panik tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Di tengah semuanya itu, akhirnya aku memutuskan untuk berganti baju, bersiap-siap pergi yang saat itu aku belum tahu tujuannya.
Aku pun menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Mengambil sepatu dan kunci mobil, dengan lebih tergesa-gesa lagi. Ekor mataku sudah melihat ada Eline dan Ales duduk di sofa ruang tamu, saat aku sampai di bawah.
"Mau kemana Nis?"
"Pergi Line."
"Kemana?"
"Liat aja nanti."
"Oleh-oleh ya."
Setelah beres memakai sepatu aku pun keluar menuju garasi. Memasuki mobil dan pergi meninggalkan rumah. Marahku pada Ales, memuncak. Aku harus mengatakan ini pada Eline, tapi tak tahu harus bagaimana. Ia pasti tak percaya padaku. Bagi Eline, Ales yang selama ini "Mr. Perfect" tak mungkin bisa melakukan hal itu.
Akhirnya aku memutuskan untuk ke Pondok Indah Mall. Duduk di salah satu kedai kopi ternama, menenangkan diri dengan segelas Ice Caramel Macchiato, dengan ekstra karamel. Sembari duduk, aku pun mencoba menghubungi Ad di ponselnya. Namun tetap tidak diangkat.
Bengong, tak tahu lagi mau apa, akhirnya aku berjalan-jalan sendiri di pertokoan. Hingga saat kaki ini melangkah di depan kantor biro perjalanan. Berdiri diam sejenak dan kemudian aku memutuskan untuk memasukinya.
"Hmm Mas, 1 tiket pp dong buat besok pagi dan hari minggu, first flight and last flight ya."
"Kemana Mbak?"
"Bali. Maskapai apa pun. Langsung issued."
Tak perlu waktu lama untuk tiket itu sudah ada di tanganku. Jakarta-Denpasar 06.15 WIB, dan Denpasar-Jakarta 23.30 WITA.