10. Permintaan Khusus

Jumat, 07 November 2008 |

Sudah satu bulan ini aku menghindar dari Ales, saat ia sedang bersama Eline dan terlebih lagi saat ia sedang sendiri. Lelah juga lama-lama aku menyimpan rahasia ini, walaupun setelah Jumat naas itu, kejadian seperti itu tidak terulang lagi. Setidaknya hingga saat ini.

Kepergianku ke Bali saat itu pun, masih menjadi tanda tanya besar bagi seluruh anggota keluargaku. Bahkan sampai Shana dan Laura kembali ke Amerika. Aku yakin mereka pasti terheran-heran, mengapa hingga saat ini aku belum menceritakan alasan mengapa aku "melarikan diri" ke Bali saat itu. Ini tak biasanya terjadi.

Sampai akhirnya hari ini aku beranikan diri untuk membuka rahasia ini pada mama. Tak ingin membicarakannya di rumah, akhirnya aku menjemput mama di rumah sakit tempat ia praktik. Sebelumnya aku telah janjian dengannya, dengan mengirimkan pesan singkat. "Ma, hari ini aku jemput ke rumah sakit. Aku pengen ngomong sesuatu."

Sesampainya di rumah sakit, mama sudah selesai praktik.

"Hai, Ma. Dah selesai?"

"Udah, yuk mau ngobrol-ngobrol di mana kita?"

"Tempat ngopi biasa dech, Ma."

"Okay, kita ke sana ya."

Setelah kami memesan minuman favorit kami masing-masing, kami pun langsung mencari tempat yang sepi dan menyenangkan untuk duduk ngobrol. Dan pembicaraan dimulai dariku.

"Ma, by the way, apartemen yang atas namaku itu, bulan depan 'dah selesai disewa 'kan?"

"Sepertinya memang habis sih masa kontraknya."

"Boleh ngga, ngga diperpanjang atau dikasihin ke orang lain?"

"Loh kenapa?"

"Aku mau tinggal di situ boleh ya?"

"Kenapa, Nis? Di rumah lebih enak, semuanya ada, bisa ngumpul-ngumpul sama Eline, Kania."

"Ma, tahun depan aku juga bakal tinggal sendiri, harus bisa ngerawat diri sendiri, dan jauh dari Mama 'kan? Latihan buat hidup tanpa kalian."

"Tapi Nis, kamu inget peraturan Papamu 'kan? Belum boleh tinggal sendiri, kalo belum 18 tahun."

"Apa bedanya sih Ma, ampun deh, aku juga 18 tahun tinggal beberapa bulan lagi gitu. Kalau Kania memang wajar, belum boleh tinggal sendirian, walaupun kalian 'dah ngasih apartemen ke dia."

"Kenapa kamu tiba-tiba mau tinggal sendirian di apartemen? Terus kamu sampai sekarang juga belum cerita ke Mama, kenapa kamu mendadak ke Bali waktu itu?"

"I have reason."

"And what's that?"

"You really want to know?"

"Yes, I do."

"Okay. Aku menghindar dari Ales."

"Kenapa Ales?"

"Kalo aku cerita, mungkin Mama ngga akan percaya."

"Kalo Eline ngga ada di rumah, dia sering godain aku."

"Maksudnya?"

"Pernah sekali dia meluk aku gitu dari belakang. Waktu itu aku masih agak maklum, karena dia baru mulai pacaran dengan Madeline dan belum bisa bedain antara aku dan kembaranku. Dan yang terakhir, itu juga kenapa kamu kabur ke Bali, He kissed me, on lips."

"Di mana kejadiannya?"

"Dua-duanya di rumah."

"Terus, kamu 'dah cerita ke Eline?"

"Hampir, tapi karena waktu itu dia bilangnya bakal lebih percaya pacarnya dari pada aku, jadinya aku ngga jadi cerita."

"Berapa lama dia ngga bisa tidur nyenyak ya jadinya? Kasihan juga tuch anak."

"Mama tau tentang itu?"

"Nis, apa siy yang ngga diceritain Eline ke Mama?"

"Iya sih, hampir lupa aku. Terus Mama percaya gitu sama ceritaku?"

"Percaya. You're my daughter, dan ngga mungkin Mama lebih belain Ales daripada kamu."

"Eline ngga kayak gitu."

"So, kamu 'dah mantep mau tinggal sendiri?"

"Yupe."

"Ya, nanti kita omongin lagi ke Papa-mu. Satu hal juga Nis, begitu kamu keluar rumah berarti uang jajan juga berkurang. Sampai 3 bulan kedepan, we still provide uang jajanmu seperti biasa. Setelah itu akan terus berkurang okay?"

"Tapi bukan berarti nanti aku pindah kuliah ke luar, penyusutan uang jajannya dilanjutkan dari situ 'kan?"

"Ngga lah. Begitu kamu nanti sekolah ke luar, kita bakal nerapin peraturan yang sama seperti yang diterapin ke Shana dan Laura."

"Tapi, satu lagi Ma."

"Mobil satu di aku ya."

"Terus udah ngitung-ngitung hasil sewa apartemennya kemaren, 'dah bisa buat hidup kamu di sini, dan sisain buat hidup kamu nanti di luar?"

"Masih ada sisa kok."

"Inget ya, batas Mama dan Papa ngasih penuh keperluanmu setelah kamu kuliah di luar, cuma satu setengah tahun. Setelah itu, kita bakal ngurangi juga. Jadi diitung lagi yang bener."

"Sip-sip."

"And promise me, one day you will tell Eline about Ales."

"Will do, Mom."

09. Kejutan Di Hari Senin

Minggu, 02 November 2008 |

"Heh, Nis. Pulang sama siapa?"

"Belum tau."

"Pulang ama gue ama Eline aja Nis. Pak Wito gak jemput 'kan?"

"Gak siy."

"Terus tadi abis gue ama Eline berangkat, elu ama Kania dianter siapa?"

"Sama bokap dong."

"Ya sudah, sekarang pulang sama gue 'aja yuk."

"No thanks, Les. Gampanglah nanti gue pulang sama siapa. Paling ama Kania naik taksi atau nebeng Kim atau minta anterin Ad."

"Udah janjian sama mereka?"

"Hmmm, 'dah kok."

"Oh, ya 'udah kalo gitu. Sampai ketemu di rumah, Nis."

"Bye."

Terpaksa aku berbohong, mengatakan aku sudah janjian dengan Kim ataupun Ad. Kim memang tadi sudah aku tanyakan, tapi sayangnya ia harus buru-buru menjemput ibunya di suatu tempat. Jadi terpaksa ia menolak aku yang meminta untuk nebeng.

"Dek, kamu di mana sekarang?"

"Kantin, Nis. Kita pulang sama siapa? Gak bareng Eline sama Ales aja?"

"Gak usahlah, kita pulang sendiri aja. Gampang. Ya 'udah aku ke sana ya."

Saat berjalan sendirian di koridor sekolah menuju kantin, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk punggungku.

"Hai, kok sendirian?"

"Ad, where have you been? Kenapa tadi tiba-tiba ngilang di tengah pelajaran terakhir?"

"Saya dipanggil kepala sekolah."

"Ada apa?"

"About this proposal."

"Oh, jadinya kapan acaranya diadain?"

"November sampai Desember tengah. Selesai sebelum libur akhir tahun."

"Ada apa aja?"

"Rencananya ada kompetisi olah raga, seni, terus pas weekend kita ngajar anak panti dan anak jalanan di sini. Terus terakhir semuanya ditutup gelar bazar murah. Kita bakal nyewa tempat di daerah Bintaro gitu."

"Seru juga tuch. Berapa sekolah yang diundang?"

"Banyak kok."

"Terus yang ngajar anak-anak itu siapa?"

"Sekolah yang ikut kompetisi-kompetisi itu wajib mengirimkan wakilnya untuk ngajar."

"Wah. Pasti rame acaranya."

"Hopefully."

Beberapa detik kemudian mulut kami berdua terkunci, setelah obrolan tentang acara dua tahunan sekolah kami itu selesai. Kakiku masih melangkah menuju kantin, tempat aku dan Kania akan bertemu. Tak lama kemudian, aku dikejutkan satu hal lagi dari Ad. Tanpa mengatakan apapun sebelumnya. Ad menggandeng tanganku. Sontak aku melihat ke arahnya. Kaki ini tak berhenti melangkah. Aku yakin, Ad tahu benar bahwa saat itu aku sedang menatap wajahnya yang tetap melihat ke arah depan. Mungkin ia pun risih. Akhirnya ia menolehkan kepalanya ke kiri, menatap mataku, dan ia hanya memperlebar senyumannya. Tanpa sepatah kata pun. Berbunga aku dibuatnya. Tak tahu apa yang harus aku katakan, apa yang harus aku lakukan. Yang jelas, tangan ini masih menyatu dengan tangannya. Sampai kami berdua tiba di kantin dan bertemu Kania. Aku masih diam seribu kata. Hingga...

"Kan, pulang yuk, bareng saya dan Nisya."

"Kamu antar kami Ad?"

"Iya, kamu berdua lagi tidak ada latihan berenang 'kan?"

"Gak, males, lagi ga ada Pak Wito."

"Eh, Ad, sebentar ya, saya mau bayar minuman ini dulu."

"Okay."

Kembali hanya kami berdua. Tetap terdiam. Sampai kami berdua melihat Kania berjalan kembali ke arah kami, setelah membayar minuman. Dan ia membisikkan sesuatu padaku.

"Nis, everything is going to be okay. I'm here for you."

"Thanks."

Kania pun dengan wajah dan senyum lugunya datang menghampiri kami berdua. 

"Ayo, pulang, atau kita jalan-jalan dulu?"

08. Obrolan Belahan Jiwa

Sabtu, 25 Oktober 2008 |

Dua hari sudah aku lewati di Bali. Makan sendirian. Jalan-jalan sendirian. Belanja sendirian. Nongkrong di pantai sendirian. Di kamar sendirian. Berenang sendirian. Puas aku nikmati semua kesendirianku.

Aku berani bertaruh, tak sedikit yang mencoba menghubungi ponselku yang juga sudah 2 hari ini membisu, tak bersuara, karena aku matikan. Bukan aku ganti dengan profil diam, tapi aku matikan fungsi keseluruhan ponsel itu. Apalagi ditambah aku hanya meninggalkan pesan yang ditempel pada pintu lemari pendingin bertuliskan...

"Aku ke Bali 2 hari. Ntar aku ceritain pas pulang."

Baru saja pesawat yang membawaku kembali ke dunia nyataku telah mendarat. Aku sudah kembali di Jakarta. Ibukota yang cantik kala sinar lampu juga bintang berkilau menyinarinya. Berbeda betul saat matahari tak tertidur. Kota ini menjadi hamparan tanah yang penuh dengan kekejaman makhluk-makhluk yang mendiaminya. 

Termasuk makhluk kejam bernama Ales dan mungkin juga yang bernama Nisya. Dua hari berpikir, yang lagi-lagi sendirian, belum cukup aku rasa, tapi bukan berarti aku tak mencoba meraih solusi.

Tak perlu waktu lama taksi itu menghantarkanku ke rumah, kala Jakarta sudah sedikit terlelap. Bermodal kunci rumah lengkap, menjadikanku tak perlu bertingkah seperti maling saat harus memasuki rumah. 

Tak ada seorang pun di ruang tamu. Aku yakin semuanya sudah tidur. Namun ternyata tebakanku salah. Aku masih melihat cahaya lampu dari arah dapur. Langkah kaki ini pun membawaku ke sana. 

"Heh Tengil, dari mana lu?"

"Belom tidur lu, Line?"

"Belom. Dah dari Jumat gue susah tidur."

"Kenapa?"

"Sebenernya agak sebel siy gue ngomongnya ama elu, Nis. Everytime you have problem, gue ngga pernah bisa tidur nyenyak."

"Really? Kok elu baru bilang sekarang?"

"Gengsi Nyet. By the way, are you ok?"

"Gak lah. Kalo gue okay-okay aja, ngapain gue ngabur ke Bali."

"Gak tau ya gue. Gue kira elu ngejar Ad!?"

"Ye, gak segitunya juga kali."

"Terus kenapa? Gara-gara Ad? Kasiyan tuch dia ampe nelpon ke rumah berkali-kali 2 hari ini."

"Line, elu jadi kuliah di Aussie?"

"Jadi. Kenapa?"

"Dah yakin lu?"

"Most likely. Kenapa siy?"

"Just because Ales ya Line, kamu mantep ke sana?"

"Gak juga Nis. Alasan utama gue siy, gue males jauh dari rumah."

"Lebih deket lagi Line? Singapur."

Saat menenggak satu gelas jus mangga yang baru saja aku ambil dari lemari pendingin, Eline kemudian melontarkan sebuah pertanyaan lagi.

"Terus kenapa lu? Jangan sampe elu mbuat gue ngga bisa tidur lagi malem ini. Sepertinya ini yang terparah dari ngga bisa tidurnya gue dulu-dulu. Even elu ngga bilang langsung ke gue ya Nis, tapi biasanya kalo masalah elu selese cepet, gue bakal cepet bisa tidur lagi, dan gak lama dari itu, pasti udah ada yang cerita ke gue, tentang masalah elu itu."

"Oooowww...pantesan elu ngga pernah nanya-nanya gue ya? Lah elu ternyata setengah paranormal buat gue."

"Hehehehe, emang gue suka jadi kayak gini. Gak enak kali."

"Line, selain elu ngga suka gara-gara elu jadi sensitif n ikutan ngerasain masalah gue, menurut pandangan lu, gue kayak apa siy?"

"Nyebelin."

"Come on, serius niy gue, walopun nyebelin emang salah satunya."

"Elu kaca buat gue kok Nis. Gue ngga perlu susah-susah nyari tau pendapat orang lain. Gue tinggal liat elu. Diem-diem observasi gue canggih loh."

"Contohnya apa?"

"Inget waktu kita dulu masih dijejali dengan banyaknya les-les keparat itu?"

"Iya tuh, cuma libur pas weekend"

"Elo tau dong, gue ngomel-ngomelnya kayak apa waktu itu. Ada gitu yang ngajarin gue secara detil ngatur waktu semua tugas sekolah, les, plus tugas kita di rumah waktu itu?"

"Detil siy ngga. Di-brief dikit siy iya."

"Ntah kenapa, elu bisa gituh diem tanpa ngomel, tapi kerjaan lu beres semua."

"Iya yah?"

"Dan diem-diem gue observasi elu Nis. Elu sadar ngga siy, gue dah ngga terlalu cranky dibanding dulu."

"Wow, ma kasih loh, jadiin gue sebagai inspirasi elu. Terus, berarti kira-kira elu bakal percaya omongan gue dong?"

"Tergantung niy."

"Tergantung apa?"

"Make sense atau ngga."

"Kalo boleh gue minta dibandingin niy Line, kira-kira elu bakal lebih percaya omongan gue atau omongan pacar lu ndiri?"

"Kenapa nanyanya gitu sih."

"Loh iya dong, gue itu kembaran lu. Ales pacar lu. Apple to apple dong bandinginnya. Dua-duanya adalah orang yang deket ama elu, dua-duanya bisa mbuat elu ga bisa tidur. Ya gak?"

"Gue harus milih nih?"

"Iya, elu harus milih."

"Ales, Nis."

"Oh. Ok."

"Kenapa siy?"

"No, i just want to know. Buat pertimbangan kalo gue mau cerita-cerita masalah gue aja ke elu. Ya, udah kalo gitu, gue milih untuk mbuat elu ga bisa tidur dech Line."

"Sial lu. Termasuk malem ini lagi?"

"Yoi. Ya 'dah gue mau tidur, ngantuk, capek, terus besok sekolah."

"Payah lu."

"Eh berhubung elu ngga tidur lagi, berarti besok pagi elu bangunin gue ya ke sekolah."

07. "Rencana Kriminal" Akhir Pekan

Jumat, 24 Oktober 2008 |

"Krrrinnnggg."

Selesai juga debate class hari ini. Hari ini sudah Jumat, yang berarti hari-hari sekolahku minggu ini, juga berakhir. Rasanya tak ingin aku jumpai akhir pekan. Tak bisa aku bayangkan, 2 hari ke depan aku tak akan bertemu dengan seseorang yang telah membuatku akhir-akhir ini sangat bahagia. Ya, seseorang itu adalah Ad.

Seperti biasanya, setiap hari Jumat, teman-temanku sudah sibuk menyiapkan rencana romantis maupun rencana "kriminal" yang akan dilakukan pada akhir pekan. Sedangkan aku? Sampai bel berbunyi, belum mempunyai rencana apa pun untuk akhir pekan ini.

Semenjak aku putus dengan Darwin dan kembali ke Indonesia, sering kali aku menghabiskan akhir pekan di rumah. Bisa-bisa aku, Kania, Mama dan Papa, menghabiskan waktu seharian menonton DVD, mengobrol untuk menanyakan kabar terbaru kami masing-masing, atau berenang di kolam renang di halaman belakang. Tak jarang pula Madeline dan Ales ikut serta dalam kegiatan kami ini.

Namun saat-saat yang paling aku tunggu adalah saat tengah malam menjelang. Saat aku kembali ke kamarku, menyalakan lampu yang berada di atas nakas, mengambil laptop kesayanganku, yang kemudian aku bawa ke atas tempat tidur, aku nyalakan dan tak lama kemudian aku sudah berkutat dengan blog-blog yang aku kelola. Bagai anak dengan autisme, jika aku sudah masuk ke dalam dunia maya yang aku buat sendiri itu. 

Pertanyaan yang sebenarnya paling malas aku jawab, akhirnya keluar juga dari mulut Nerva.

"Nis, besok kemana?"

"Yah Va, lu tau khan gue. Belum tau, liat besok lah."

"Gak pergi ama Ad?"

"Dia ngga ngajak-ngajak Va."

"Jadi ngarep diajak ya?"

"Sial. Gak tau ah."

"Gue ama Nicky mau belanja-belanji, elu mau ikut?"

"Senen kemaren gue 'dah belanja. Ntar duit gue abis. Apalagi belanja 'ama kalian."

"Ya udah, kalo elu mau ikut, tilpun-tilpun yah."

"Beres Va. By the way, si Jepang ngga ikutan besok?"

"Gak. Ada upacara minum teh dia besok.

Sejenak kami berjalan di koridor sekolah, tanpa berbincang sedikit pun. Sampai Nerva akhirnya menanyakan keberadaan Ad.

"Ad mana Nis? Kalian kepisah ya, pas di kelas ini."

"Hahaha, iya nih. Tadi siy aku janjian di depan perpus."

"Kelas yang satunya di ruang berapa siy?"

"Gak nanya gue Va."

Kelas debat memang agak lain dengan kelas-kelas lainnya. Satu kelas debat hanya diperbolehkan berisi 10 orang, sedangkan kelas kami isinya 20 orang. Jadi khusus kelas debat, kelas kami dibagi lagi menjadi dua. Hal ini untuk mempermudah latihan debat pada setiap sesi kelas ini. Dan setiap minggu ke empat, kami dipertemukan kembali untuk latihan berdebat dalam forum yang lebih besar. Tak hanya itu, materi ujian akhir semester kelas ini adalah debat terbuka di depan seluruh guru dan wakil orang tua, tentang seputar masalah sosial yang sedang terjadi, dan tak peduli angkatan. Maksudnya, dalam satu kelompok debat memang sengaja anggota kelompok diacak dan dipilih dari angkatan yang berbeda, yaitu dari grade. Dengan kata lain, pada akhir semester nanti, mungkin saja aku akan berdebat atau bahkan satu kelompok dengan Kania atau Madeline bahkan Ad. 

Kelas ini adalah salah satu momok bagiku. Terus terang manusia seperti diriku ini, paling malas kalau diminta adu argumentasi. Namun apa boleh buat, harus aku ambil juga kelas ini, bahkan sejak aku duduk di grade 10.

Satu hal yang menyenangkan dari kelas ini adalah aku bisa bertemu dengan teman lain angkatan, dan lumayan buat "cuci mata". Apalagi dulu saat aku masih di grade 10, aku pernah satu kelompok dengan Luce dari 12. Manusia ganteng ini sempat menjadi idola di sekolahku, apalagi saat itu ia sudah putus dari pacarnya. Lumayan banyak yang iri saat aku sekelompok dengannya, karena aku sempat beberapa kali pergi dengan Luce untuk mempersiapkan ujian akhir semester kami saat itu. Ya, tapi Luce tak sedikit pun aku hiraukan. Bayangan Darwin masih seperti hantu yang gentayangan di hidupku. 

Sampai sosok Ad hadir di kehidupanku beberapa bulan yang lalu. Ad mulai bisa menggantikan Darwin yang sempat mengisi hari-hariku dulu. Dan Ad-lah, yang sudah seminggu ini menambah bunga-bunga di hatiku. 

Tak terasa aku dan Nerva sudah sampai di depan perpustakaan. Ad belum terlihat saat aku tiba di sana. Tak lama kemudian...

"Nis, sorry i'm in hurry, saya perlu pulang cepat. Bye."

"Ok. Bye, Ad."

"Loh Nis, kenapa dia buru-buru ya?"

"Gak tau gue Va. Biarin aja."

Setelah menunggu 10 menit di lobi sekolah, mobil yang dikendarai Pak Wito sudah tiba dan siap membawaku dan Kania pulang ke rumah. 

"Langsung pulang, Non?"

"Yupe."

Sampai rumah aku langsung menuju dapur seperti biasa, dan adikku menuju ke kamarnya, seperti biasa juga. Mengambil segelas susu coklat dingin dari kulkas, lalu aku bawa ke kamarku di atas. 

Setelah berganti baju, aku pun turun lagi ke dapur. Dan aku melihat Ales ada di sana, sedang makan siang, dan membaca majalah, tanpa ada Eline.

"Loh, Eline mana Les?"

"Ke muridnya sebentar di blok belakang."

"Dah lama?"

"Apa? Perginya?"

"Yupe."

"15 menit lah."

"Oh."

Lalu kami pun sama-sama diam. Sibuk menyendok dan mengunyah makan siang kami. Sampai Ales kembali bersuara.

"Nis, kamu sama Eline itu beneran kembar 1 telur?"

"Kata mama sih gitu yah. Kenapa emang?"

"Gak, kok beda ya. Cantikkan kamu."

"Gak lah, sama ajah."

Pernyataan yang aneh, dan mengandung banyak makna. Apalagi untuk seorang yang paranoid, penasaran, dan tukang khayal. Makna itu bisa jadi tak karuan. Namun pada akhirnya aku biarkan saja omongan si Ales tadi.

Selesai makan aku pun membawa piringku ke tempat cucian piring lalu mencucinya sendiri. Lalu begitu aku meletakkan piring di rak, dan membalikkan badan, tiba-tiba Ales sudah di depanku. Dan wajahnya sangat dekat denganku.

"Les, what are you doing?"

Pertanyaanku tak dijawab olehnya. Setidaknya tak dijawab dengan kata-kata verbal. Ales menciumku. Mencium bibirku, dan sedikit mengulumnya. Aku hanya diam, tak menolak, tak membalas ciuman itu. Hingga akhirnya ia aku dorong secara halus menjauh dariku.

"Please, don't do that to me anymore. You'll hurt Madeline"

"Dia gak akan tahu Nis. It's our secret, rite?"

"Yeah right."

Tanpa basa-basi, aku pun langsung berlari ke kamarku, mengunci pintu dan coba menghubungi Ad. Namun tak ada jawaban sama sekali. Aku bingung, panik tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Di tengah semuanya itu, akhirnya aku memutuskan untuk berganti baju, bersiap-siap pergi yang saat itu aku belum tahu tujuannya. 

Aku pun menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Mengambil sepatu dan kunci mobil, dengan lebih tergesa-gesa lagi. Ekor mataku sudah melihat ada Eline dan Ales duduk di sofa ruang tamu, saat aku sampai di bawah.

"Mau kemana Nis?"

"Pergi Line."

"Kemana?"

"Liat aja nanti."

"Oleh-oleh ya."

Setelah beres memakai sepatu aku pun keluar menuju garasi. Memasuki mobil dan pergi meninggalkan rumah. Marahku pada Ales, memuncak. Aku harus mengatakan ini pada Eline, tapi tak tahu harus bagaimana. Ia pasti tak percaya padaku. Bagi Eline, Ales yang selama ini "Mr. Perfect" tak mungkin bisa melakukan hal itu.

Akhirnya aku memutuskan untuk ke Pondok Indah Mall. Duduk di salah satu kedai kopi ternama, menenangkan diri dengan segelas Ice Caramel Macchiato, dengan ekstra karamel. Sembari duduk, aku pun mencoba menghubungi Ad di ponselnya. Namun tetap tidak diangkat.

Bengong, tak tahu lagi mau apa, akhirnya aku berjalan-jalan sendiri di pertokoan. Hingga saat kaki ini melangkah di depan kantor biro perjalanan. Berdiri diam sejenak dan kemudian aku memutuskan untuk memasukinya.

"Hmm Mas, 1 tiket pp dong buat besok pagi dan hari minggu, first flight and last flight ya."

"Kemana Mbak?"

"Bali. Maskapai apa pun. Langsung issued."

Tak perlu waktu lama untuk tiket itu sudah ada di tanganku. Jakarta-Denpasar 06.15 WIB, dan Denpasar-Jakarta 23.30 WITA.

06. Supir Baru

Rabu, 22 Oktober 2008 |

"Pagi Non. Tumben 'dah bangun dan 'dah rapi, ini baru jam 05.45 loh!"

"Morning, Mom. Iya, tadi tumben bisa bangun cepet."

"Pasti gara-gara tadi malam ya?"

"Hehehe, sepertinya sih. Eh, Ma, sarapan apa kita?"

"French toast aja ya sayang. Tuch udah Mama siapin di meja makan, sekalian susu segelas."

"You're the best mother in the world Ma."

"Really? Thank you, Darling."


Aku pun kemudian berjalan ke meja makan untuk menyantap sarapanku. Di meja aku sudah melihat sarapan pagiku dan juga koran hari ini. Aku sempatkan diri untuk mengintip sekilas berita yang ada di koran tersebut. Ya, begitulah, masih seputar masalah korupsi di negara ini yang sedang dicoba untuk diberantas. Dan masalah-masalah kemiskinan yang rasanya semua berawal dari korupsi yang dilakukan oleh banyak oknum sejak lama. 


"Hei, tumben Nis, kamu dah siap n sarapan!"

"Biasa Line, kalo lagi jatuh cinta emang beda."

"Did I miss something here?"

"Tanya saja sama kembaranmu. Kalian gimana siy, kembar kok ngga saling cerita."

"Eline, aja yang aneh Ma. Dia sendiri yang jarang cerita-cerita."

"Morning Ladies." Tiba-tiba Laura yang sudah dengan pakaian rapi, seperti hendak pergi ke suatu tempat, muncul dari tangga yang menghubungkan dapur dengan lantai atas.

"Mau kemana Ra?"

"Go swimming."

"Lah kenapa ngga di kolam belakang ajah?"

"Gak seru, ngga ada Darwin. "

"Loh?"

"Jangan curiga dulu. Tunangannya Darwin itu 2 hari lalu dateng. Tinggal di apartemen saudaranya Darwin. Nah, Darwin itu hari ini minta tolong aku ama Shana untuk bantuin nyiapin kawinan mereka nanti di US. Soalnya kita 'dah dianggep sodara, gitu katanya. Biar sore nanti dah selese, mendingan dari pagi sekalian. Dan kita mau berenang-berenang dulu di sana. Lagian Jakarta macet kalo sore-sore nanti."

"Oh. Eh salam ya buat Darwin."

"Buat Rana?"

"Aku belum kenal Rana kali Ra. Hmm, btw kawinannya di US ajah? Holy matrimony emang di sana semua. Resepsinya sekitar Maret atau April tahun depan, dan sepertinya di sini."

"Kamu pergi ama Shana, Ra?"

"Iya, Ma."

"Naik apa ya?"

"Good question. Pak Wito nganterin 3 tengil ini ke sekolah ya."

"Kalo gitu aku bawa mobil sendiri boleh?"

"Ra, SIM Indo kamu 'dah mati 'kan?"

"Aku bawa SIM US, n SIM internasional, Ma."

"Ya, sudah lah ati-ati."

"Shannnn...lama banget siy!" Tiba-tiba Laura teriak memanggil Shana yang sepertinya masih di atas."

"Duhhh..neng kenceng amat. Pengeng nih kuping."

"Laura, mau kemana? Mau langsung berangkat? Kamu tega Shana pergi tanpa sarapan? Duduk dulu, biar dia sarapan."

"Sorry Mom, i forgot."

"Shan, your toast is already on the table."

"Thanks Mom."

"Wuih, lengkap niy pagi-pagi di dapur." Papa yang juga sudah rapi, datang dari arah pintu yang menghubungkan ruang tamu dan dapur.

"Iya, ada keriaan apa nih. Family gathering?"

"Buruan sarapan Kania, kakak-kakakmu 'dah pada siap tuch."

"Masih jam 06.00 Ma, masih lama."

"Hmm..Nisya. By the way, tadi malam dapet hadiah apa dari Ad?"

"What? You got something from Ad?" Si kecil kaget mendengar kalimat itu.

"Did we missed something here Mom, Dad?"

"Ah, Papa, payah dech, langsung semua tau 'kan."

"Cerita lah Nis."

"Iya, aku dapet sepatu. Oleh-oleh dari Ad. Dia beli waktu di London gitu."

"Loh, dia inget-inget kamu juga waktu liburan di sana?"

"Iya Ra, ngga nyangka deh."

"Terus-terus Nis."

"Dia bilang selama di sana memang dia kepikiran terus sama aku. Kangen katanya."

"Cieeee."


Tiba-tiba aku lihat 4 saudaraku yang perempuan semua itu, berhenti dari segala aktivitas yang mereka lakukan saat itu, dan memasang telinga mendengarkan ceritaku. Rasa penasaran mereka sepertinya sedang berada di puncak, dari segala rasa ingin tahu mereka yang lain.


"Ya, kemarin itu dia dateng, bilang kalo dia tertarik sama Asti cuma secara fisiknya aja, bukan sampe ke hatinya."

"Woooww, seneng dong ya kamu Nis."

"Seneng lah. Sedikit berbunga-bunga aku."

"Terus mana-mana sepatunya, kok ngga dipake."

"Hahahahha, itu dia, agak aneh di situnya. Ad cuma ngasih sepatu 1 biji. Yang kanan doang."

"Yang bener Nis?"

"Masakh aku boong Na. Beneran cuma kanan."

"Terus kamu ngga nanya."

"Gengsi Line, nanya-nanya. Tunggu aja ntar dia maunya apa."

"Jangan-jangan satu lagi ketinggalan di toko pas belinya, Nis."


Dan semua serentak tertawa mendengar si kecil Kania yang tiba-tiba menimpali.


"Sudah 06.20 niy. Ma, aku ama Laura pergi dulu ya."

"Careful sweetheart. Give me a kiss."

"Love you Darling."

"Bye Dad. Love you too."


Tiba-tiba bel rumah berbunyi. Semua yang tersisa di dapur tidak ada yang beranjak. Sepertinya tak ada yang perduli dengan bunyi bel itu. Dan kita berpikir, di depan pasti ada pak Wito yang biasanya sedang menyiapkan mobil untuk mengantar kami sekolah, dan kali ini ditambah, pasti ia sedang membantu Laura dan Shana yang hendak pergi membawa mobil sendiri.


Dan tak lama kemudian, Ales muncul dari pintu arah ruang tamu.

"Morning everyone."

"Morning Les. You're doing great?"

"Never better, Sir."

"Hi, honey, kok ngga bilang-bilang mau jemput aku?"

"Surprise dong."

"Udah sarapan Les?"

"Udah Tante."

"Mau teh aja?"

"Biar aku buat sendiri aja Tan, boleh ya?"

"Boleh banget."


Sekilas, keluarga ini memang tampak bahagia, keluarga ideal, jauh dari masalah. Memang semuanya seperti itu, tapi bukan berarti keluargaku tak pernah sama sekali terbebas dari masalah. Orang tuaku nyaris berpisah saat kami masih kecil-kecil dulu. Namun niat itu kemudian diurungkan oleh kedua orang tuaku. Mereka membenahi diri, membenahi rumah tangga, dan cinta kepada kami, 5 orang anak perempuan mereka lebih diprioritaskan dari segalanya. Dan itu berhasil. Aku pun bersyukur bahwa keluarga ini tak jadi hancur berantakan. Saat ini pun aku berdoa dalam hati, semoga kami akan seperti ini selalu.


Dan tak lama, setelah aku berhenti melamun sebentar, aku kembali mendengar bunyi bel rumah. Seperti tadi, satu pun dari kami tak ada yang menggubris bunyi itu. Bahkan tak ada yang beranjak ke ruang tamu.


Namun tiba-tiba Mbak Marni, membukakan pintu dapur sambil berkata kepada seseorang.

"Masuk aja Mas, Mbak Nisya di dapur."


Aku kaget, bahkan hampir tersedak susu yang rencananya akan aku minum. Kagetku bertambah lagi, ketika aku melihat Adrian sudah berdiri di depanku. Aku tak bisa berkata apa pun, dan bergeming. 

"Morning everyone. Nisya."

"Morning Adrian. Nice to see you here again."

"Saya juga Oom."

"Breakfast Ad?"

"Already, Mam."

"You want to pick up Nisya?"

"Ya, kalau boleh, Tante, Oom."

"Great. So Pak Wito, pagi ini jadi supir pribadiku."

"Enak bukan, Kan?"

"Bener juga ya Line."

"Boleh Ad. No problem."

"Hei, ini sudah setengah tujuh lewat lima loh. Pada berangkat sekolah gih."

"Yuk Les, kita berangkat."

"Yuk. Dag Tante."

"Careful ya Les."

"Will do."

"Bye Mom. Bye Dad."

"Bye Kan."

"Nisya, shall we go now?"


Dan aku masih tak menjawab. Rasa kagetku juga belum habis sepertinya. Aku baru terkesiap setelah Adrian memanggilku dengan suara sedikit lebih keras daripada sebelumnya.

"Nisya, shall we go now? Right now! We're almost late. It takes 40 minutes to get to school."

"Sure, Ad. Pa, Ma pergi dulu ya."

"Tante, Oom, pamit dulu ya."

"Careful Nis, Ad."

"You can count on me, Sir."

"By the way Ad, kamu nyetir sendiri? Sudah punya SIM Jakarta dan tidak bingung nyetir di sini?"

"Udah dong. Saya cepat adaptasinya Nis."

"Ok. Lalu ada apa jemput saya di rumah hari ini?"

"I already missed you."


Dan semua itu hanya aku balas dengan senyumanku saja, karena aku tak tahu mau menanggapinya seperti apa.

05. From London With Love

Sabtu, 18 Oktober 2008 |

Berlari menaiki anak tangga menuju kamarku, tak akan membuatku terpeleset, apalagi dengan perasaan tak sabar membuka kotak oleh-oleh yang diberikan Ad padaku tadi. 


Kotak itu sedikit besar, dari luar menyerupai kotak sepatu, dan aku sedikit yakin bahwa itu memang sepatu. Dan tebakanku ternyata benar. Ia memberikan sepatu untukku, walau hanya satu buah. Ya, hanya satu buah, tepatnya hanya yang sebelah kanan di dalam kotak itu. 


Walaupun aku hanya mendapatkan satu buah, tapi aku suka sekali dengan sepatu itu, dan sangat pas di kakiku. Sepatu mary jane, dengan hak sekitar 3 cm, dengan bagian depan berbentuk kotak, dan bermotif kotak-kotak ala Skotlandia. 


"Tapi kenapa cuma yang kanan ya?"


Tak lama kemudian, aku melihat ada satu buah amplop di dalam kotak itu. Kartu ucapan menurutku. Tak sabar aku buka amplop itu, dan kali ini aku benar lagi. Ada sebuah kartu di dalam amplop. Gambar kartu itu, memang sama sekali tak menarik, tapi ucapan di dalamnya yang menurutku sangat menarik.


"
For the girl who always in my mind. For the girl who i miss when i'm here. From London with love, Adrian."


Tetap tak ada penjelasan sedikit pun, mengapa ia hanya memberiku satu buah sepatu, yang berarti walaupun aku suka, aku tak akan bisa memakainya.


Rasa penasaran itu tak membuatku bergerak mengarahkanku untuk mengambil telepon, dan menghubungi Ad. Semua itu, karena rasa gengsiku yang sangat besar. 


"Biar aku tunggu saja. Gengsi!"


Lalu aku coba tertidur dengan senyum simpul di bibirku. 


"He made my day."


04. Cerita Ruang Tamu

|

Puas berbelanja tak membuatku bisa berhenti lama untuk tak memikirkan Adrian. Setelah 3 tahun sendiri, aku mulai bisa membuka kembali pintu hatiku yang telah lama tertutup rapat. Berkutat dan menuliskan sesuatu di lembaran-lembaran blog yang aku miliki, serasa percuma, tak sedikit pun menghibur hatiku yang rasanya tak menentu. Blog itu tak cukup untuk menumpahkan seluruh rasaku. Di tengah gundah dengan khayalanku yang tak menentu itu, tiba-tiba...


"Nis, buka pintunya, ini aku."

"Kenapa Line."

"Buka dulu dong. Sombong amat."

"Hmmm, ada Adrian tuch di ruang tamu."

"He? Jam segini?"

"Udah jangan nolak, buruan turun."


Sontak kaget aku dibuatnya. Jam dinding di kamarku sudah menunjukkan pukul 21.30. Tanpa berpikir panjang lagi, aku turun melalui dapur. Dan kebetulan ada mama di sana. 


"Oh, jadi itu ya Nis, gebetanmu?"

"Gak bisa digebet Mam, dia naksir orang lain."

"Lah, kalo naksir orang lain, kenapa malem-malem gini dia nemuin kamu ya?"

"Gak tau juga ya. Mudah-mudahan dia mulai naksir aku, hehehehe."


Sesaat aku buka pintu dapur, aku langsung melihat Adrian dengan balutan kemeja kotak-kotak biru berlengan panjang yang digulung, dan menggunakan celana jeans yang jatuhnya sangat keren di tubuhnya. 


"Hai, Ad. What's up?"

"Do you have time?"

"Ya, for you? Sure. But by the way, bukannya kamu rencananya tadi mau pergi dengan Asti?"

"Sudah, ia baru saja saya antar ke rumahnya."

"Lalu?"

"Lalu, saya mampir sebentar ke rumah kamu. Tak apa 'kan?"

"Nope. No problem."

"Sebenarnya saya mau mengajak kamu keluar rumah malam ini."

"Saya baru saja pulang Ad. I'm tired. Jadi kita ngobrol di rumah saja ya?"

"Ya, i don't mind. By the way, your house is so nice."

"Thanks."

"Nis, what do you think about Asti?"

"You ask me that question?"

"Ya, why?"

"I don't know, i think i'm not the right person to answer that."

"Why?"

"Saya tidak kenal Asti secara mendalam, Ad. Saya belum pernah bicara panjang lebar dengan dia. Jadi kalau kamu tanya pendapat saya tentang dia, i'm afraid, i can not answer it."

"Kamu tahu khan Nis, saya sudah beberapa kali jalan dengan Asti?"

"Ya, hanya dari beberapa cerita kamu."

"Sejak pertama kali saya bertemu Asti, hingga hari ini, sepertinya saya hanya menemukan ketertarikan dengannya secara fisik, Nis."

"Oh ya? Maksud kamu, dari cantiknya dia dan penampilannya?"

"Betul sekali, tapi selebihnya, dia tak membuat saya tertarik lagi."

"Kamu yakin?"

"Sampai saat ini saya yakin. Dan itu sudah saya rasakan sejak saya masih di London liburan kemarin. Rasa rindu ingin cepat kembali ke Indonesia, bukan karena Asti, bukan karena saya sudah janjian ingin foto-foto dengannya sepulangnya saya dari London. Hal itu terbukti Nis, dari dua kali terakhir ini saya pergi dengannya, dan saya merasa semua biasa saja."

"Itu cuma perasaan kamu Ad, sepertinya."

"Sepertinya bukan Nis. Saya yakin itu."

"Oh."


Aku pun hanya bisa menanggapinya dengan kata terakhir itu, kata yang menunjukkan bahwa aku telah kehabisan kata-kata untuk memberikan respon padanya. 


"By the way Nis, i have something for you. I bought it in London."

"Really, for me?"

"Ya, and hope you like it."

"What's this."

"No, don't open it now."

"Why?"

"Saya malu, Nis. Lebih baik kamu buka itu di kamar, nanti."

"Okay, will do, tapi saya sudah tak sabar."

"Ya sabar sebentar lagi. Saya juga sepertinya mau pamit. Sudah malam. Dan besok kita masih harus sekolah 'kan?"

"Okay."

"Saya pamit ke mamamu boleh?"

"Sebentar ya."


Aku pun melangkah ke dapur sambil penuh senyum, mencari tahu apakah mama masih berada di sana atau tidak. Dan ternyata ia memang masih di sana, menyiapkan kira-kira apa yang akan di masaknya besok pagi untuk sarapan kami. 


"Ehmm, ceria sekali Nis mukamu."

"Hehehe, Ma, Ad mau pamit tuch."

"Ok. By the way, nanti cerita ya ada apa tadi di ruang tamu."

"Hehehehehe."


Lalu kami berdua pun melangkah menuju ruang tamu. 


"Yes Ad, you want to go home?"

"Yes Mam. Terima kasih sudah boleh mampir."

"No, Ad, I thank you for making my daughter so happy today. Isn't it Nis?"

"Absolutely Mom."


Aku jawab pertanyaan mama tadi dengan sedikit nada kesal, karena mama telah membuka "aib" anaknya sendiri. Dan sesampainya kami di pintu keluar, dan baru saja ingin membuka pintu tersebut, tiba-tiba ada seseorang yang sudah membukanya dari luar. 


"Halo, Cinta."

"Daddy, miss you a lot Dad. Payah dech kemarin ngga ketemu."

"Papa pulang kamu sudah masuk kamar sepertinya."

"Bisa diketuk gitu."

"Ah, ngga sabar ketemuan mamamu di kamar."

"Huh. Payah."

"Terus, ini siapa Nis? Cocok sepertinya sama kamu."

"This is Adrian. Adrian this is my father."

"Nice to meet you, Sir."

"Me too, Ad. You already want to go home?"

"Unfortunately yes."

"Okay, careful rite?"

"Sure, coz I still want to see Nisya at school tomorrow. Selamat malam semuanya." 

"Me too Ad. Nite."

"Bye, Nis. See you tomorrow."


Sesaat aku menutup pintu...


"Hey, you two guys, give me a hug. I'm happy today."

"We know dear."

"Love you Mom, Dad. Aku naik dulu ya. Eh by the way, Mom?

"Yes."

"I think he's gonna be my gebetan from now on."

03. Menggiring Anak Bebek

Kamis, 20 Maret 2008 |

“Kan, ‘ma kasih ya usulnya.”

“Usul yang mana?”

“Yang tadi kamu bilang, yang nyuruh aku cari tau tentang si Asti.”

“Memangnya kamu ‘dah ngobrol banyak sama Ad? Kok cepet amat.”

“Ngobrol siy belum, tapi aku tadi tiba-tiba buka-buka Facebook plus Friendster-nya si Asti.”

“Idih..ngintipin profil orang. Dasar stalker.”

“Ngga tau, ngga niat awalnya. Gara-gara aku tadi buka-buka profilnya Ad.”

“Tetep aja stalker.”

“Hehehehe…dikit.”

“Pantesan dari tadi senyam-senyum sendiri. Terus, dari sana dapet apaan?”

”Ada deh.”

“Ah, ngga seru, ngga cerita. Mending tidur deh.”


Tak berapa lama, Kania pun sudah tertidur. Sedikit iri aku padanya untuk urusan yang satu itu. Manusia itu gampang sekali terlelap, sedikit tak peduli tempat, gaya maupun waktu. Lalu aku pun mulai menyalakan MP-3 player andalanku, untuk mendengarkan lagu favorit, dan terlena dengan khayalanku.


Setengah jam kemudian, kami pun tiba di rumah. Aku lihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku, saat itu menunjukkan pukul 17.30. Waktu yang tepat untuk bersiap-bersiap dan kemudian pergi untuk makan malam dan jalan-jalan dengan kedua kakakku dan si Kania.


Aku pun sebenarnya berniat mengajak Eline, tapi tak tahu lah, kembaranku yang satu itu, merupakan manusia super unik di keluargaku. Seakan dia punya dunianya sendiri. Sibuk dengan pacarnya, juga dengan segudang aktivitasnya di sekolah, dan orkestra musik yang sering membawanya tampil di konser-konser musik. Eline lebih tertutup jika dibandingkan dengan diriku. Ia tak akan bercerita dengan sendirinya, kalau tidak ditanya, setidaknya denganku, dengan kembarannya sendiri. Namun anehnya, ia sangat dekat dengan mama. Aneh-aneh gitu, tak pernah ia melewati satu hari pun untuk masuk ke kamar mama, hanya untuk mengucapkan selamat tidur, walaupun ia pulang larut malam. Tak ada satu kisah hidupnya yang disembunyikan dari mama. Bahkan ia pun bercerita saat pergi study tour semester lalu, Charles yang biasa dipanggil Ales, menyusup ke kamar kami, dan tidur bersama kami. Namun kejadian itu berakhir dengan aku yang mengalah pindah kamar untuk tidur dengan Nerva dan juga Kim.


Memang dari dulu mama menekankan pada kami bahwa lebih baik kami cerita sendiri, daripada harus berbohong, apalagi jika kebohongan itu akhirnya diketahui dari orang lain, ia akan sangat marah. Beranjak kami remaja, dulu mama memanggil kami satu per satu untuk diajak bicara dari hati ke hati.


Biasanya hal itu ia lakukan di akhir pekan saat ia tak disibukkan dengan antrian pasien. Obrolan itu biasanya berisi nasehatnya untuk kami berlima. Ia mengatakan bahwa mempunyai, membesarkan dan menjaga lima orang anak perempuan bukanlah hal yang mudah. Ia pun meminta kami untuk membantunya, dengan menjaga diri kami sendiri. Mengingat kami sudah beranjak dewasa, dan ia tak bisa mengikuti ke mana pun langkah kami pergi. Lima pesan darinya kepada kami, jangan nyentuh, berurusan, apalagi memakai NARKOBA; sekolah itu penting, jadi kami tak boleh putus sekolah, usahain sampai S2; jangan sampai hamil di luar nikah, kalaupun kejadian itu amit-amit terjadi, ya jangan diaborsi; jangan kena penyakit aneh-aneh, apalagi penyakit kelamin; apapun yang kamu kerjakan, sejauh itu hal yang positif, dan akan mengembangkan diri kamu, kerjakanlah secara maksimal.

Nasehat yang menurutku ‘tercipta’ di otaknya lebih karena latar belakang pendidikannya yang seorang dokter. Ada beberapa yang menurutku aneh, yaitu nasehatnya untuk jangan hamil di luar nikah. Bisa saja ini diartikan, bahwa kami boleh-boleh saja berhubungan badan dengan pacar kami kelak, tapi jangan sampai hamil. Hal ini mungkin karena ia sangat sering hidup di luar negeri, yang membuatnya ngeri lihat tingginya jumlah remaja yang hamil di luar nikah, dan melakukan tindak aborsi, ya bagusnya kami berlima sampai saat ini belum ada yang mengalami hal tersebut, dan jangan sampai kejadian itu menimpa kami.

---

Saat aku dan Kania baru membuka pintu masuk rumah, dan sedang berusaha melepas sepatu, tiba-tiba pintu dapur terbuka dan seseorang keluar dari sana sambil berkata “Sore sayang, baru pulang?”

“He, mama? Jam segini kok ‘dah pulang.”

“Tadi ditelepon sama Eline, katanya kalian mau jalan bareng?”

“Lah si Eline tau dari mana?”

“Kamu ngga ngasi tau Eline? Terus kok ngga telepon mama juga.”

”Belum, abis aku pikir dia mau pergi sama Ales. Terus, bukannya mama harusnya masih praktik ya jam segini?”

“Iya, tadi kebetulan pasiennya agak dikit, mama langsung pulang aja, lagi males di rumah sakit. By the way, Ales lagi di dapur, kita tadi baru ngobrol-ngobrol.”

---

Aku, Kania, akhirnya berjalan menuju dapur. Sedangkan mama naik ke kamarnya. Sesaat aku membuka pintu dapur, aku langsung melihat Ales yang super ganteng, berbadan bagus, dan lagi dipeluk-peluk sama kembaranku.

“Halo Les, apa kabar?”

“Eh hai Nis, Kan. Baik, baik kabarku. Kamu?”

“We’re great.”

“Kan, kita punya sesuatu buat kamu. Minggu lalu kamu ulang tahun khan?”

”Waaah, ma kasih ‘les. Apaan niy isinya?”

“Buka ajah, hasil dari jalan-jalanku di Sidney, liburan kemaren.”

“Ngga cuma dari Ales kali. Dari aku juga Kan.”, Eline langsung menimpali.

“Heheheh, iya, ‘ma kasih juga ‘Line.”

“Nis, kamu kok ngga ngasi tau aku kalau mau pergi rame-rame.”

”Aku pikir kamu sibuk. Lagi pula waktu tadi aku tawarin pulang bareng, kamu bilang mau berenang dulu, trus bilangnya khan mau pergi sama Ales.”

“He, iya siy, tadinya mau pergi, tapi ngga jadi. Mendingan ngobrol-ngobrol di rumah.”

“Jangan nyalahin aku donk. Terus kamu tahu dari siapa?”

“Laura tadi yang bilang ke aku.”

“Terus, kamu ikut?”

“Ikut donk.”

“Kamu ‘Les?”

“Ngga boleh sama Eline. Khusus para perempuan katanya.”

By the way, si mama ikut ‘line?”

“Sepertinya sih tertarik, tapi ngga tau deh.”

“Enakkan bawa mobil sendiri, atau sama Pak Wito?”

“Bawa mobil sendiri ajah.”

”Terus aku yang nyetir ya?”, tiba-tiba si Kania nimbrung di perbincangan antara aku dan Eline.

“Kalo kamu yang nyetir Kan, mending aku pergi ama Ales lagi.”, sahut Eline.

”Dan aku di rumah aja, ngga jadi pergi.”, nadaku sependapat dengan Eline.

---

Karena aku dan Eline sepakat untuk pergi tanpa pak Wito, maka aku pun mendatangi pak Wito yang sedang mengelap mobil, di garasi samping.

“Pak, kita pergi bawa mobil sendiri aja. Terus tadi pagi Pak Wito mau minta ijin pulang ke rumah sore ini? Jadi?”

“Kalau boleh siy Non, saya kangen sama si Nur.”

“Ya sudah Pak Wito pulang aja sore ini, besok pagi sampai ke sini jam enam-an ya pak. Jangan terlambat lo.”

“Baik Non, terima kasih banyak ya.”

“Salam buat Nur dan istri ya pak.”

---

Kembali aku melangkahkan kaki ke dapur, untuk mengambil tas-ku yang masih di sana. Kali ini aku menemukan Charles hanya seorang diri, duduk sembari menonton televisi. Kalau dipikir-pikir lagi, Madeline beruntung juga ya bisa punya pacar Charles. Ganteng, tinggi, badannya bagus, dan ada otak, meskipun si ganteng ini sedikit anak mami. Tipe Mommy’s little boy gituh. Hal ini lah yang menyebabkan Ales masih bingung apakah ia benar-benar yakin mau melanjutkan kuliah ke Australia. Padahal di Sidney, kakak pertama Ales sudah menikah dan tinggal di sana. Eline sendiri sudah sangat mantap untuk terbang ke negeri kangguru itu, melanjutkan kuliahnya, selepas kami SMA. Eline tak ingin jauh dari rumah. Ia pikir setidaknya kalau ingin pulang ke rumah, Australia tidak terlalu jauh, tidak seperti Shana dan Laura yang baru kali ini pulang ke Jakarta, setelah papa harus kembali ke Jakarta, 3 tahun yang lalu. Selain ada kemungkinan ia akan tetap dekat dengan Ales, kalau ia jadi sekolah di sana.

“Les, Madeline ‘dah naik ke kamarnya ya?”

”Mau mandi katanya.”

“Hmm, oh, kamu beneran ngga ikut kita?”

”Ngga lah Nis, mending aku istirahat di rumah.”

“Ok. Ya sudah ya, aku juga mau naik dulu, siap-siap mau pergi. Anggep kayak rumah sendiri ya, seperti biasa.”

Sebenarnya aku sedikit kikuk kalau bertemu dengan Ales. Hal ini tidak serta-merta aku rasakan. Ada kejadian yang lucu, dan mendebarkan. Tahun lalu, saat Ales dan Eline baru saja pacaran, Ales belum bisa membedakan aku dan kembaranku. Aku dan Eline merupakan kembar satu telur, itulah yang menyebabkan orang lain susah sekali membedakan kami berdua, jika belum terbiasa. Saat itu aku keluar dari dapur dan akan naik ke kamar yang harus melalui tangga, yang ada di ruang keluarga. Ales ada di sana, sedang duduk sendiri menonton televisi, menunggu Eline yang belum pulang dari mengajar biola anak tetangga. Aku tak sadar kalau di ruang itu ada Ales. Tiba-tiba ia yang mengiraku Eline, memelukku dari belakang, seperti seseorang yang sedang menyergap, dan kemudian mencium leherku. Tak tahu kenapa badanku seperti membeku. Tak bisa digerakkan. Tak tahu apa karena aku takut membuat Charles malu, atau memang pelukkannya membuatku nyaman. Sampai akhirnya setelah aku berada didekappannya selama beberapa detik, aku mulai bicara “Charles, ini aku Ranisya, bukan Eline”. Ia pun langsung melepaskan tangannya dari pinggangku, dan meminta maaf padaku berkali-kali. Wajahnya pun langsung berubah seperti muka udang, memerah, mungkin sama halnya dengan rupa wajahku saat itu. Dan saat itu kami pun langsung sepakat, bahwa kejadian itu tak akan kami ceritakan pada siapapun. Cuma aku, Ales dan Tuhan yang tahu.

---

Sesampainya di kamarku, aku melihat Shana sudah selesai mandi dan sedang berdandan. Laura sedang mandi. Dua orang itu, senang sekali tidur di kamarku, walaupun kamar mereka, yang lebih sering tak terpakai, tak pernah luput dari perawatan Mbak Marni dan Mbak Sumi, sehari-harinya. Menunggu Laura mandi, aku memilih baju yang akan aku pakai untuk pergi.

“Nis, nanti mau kemana?”

”Belum diomongin Na. Tanya mama sekalian kali ya?!”

“Mama ikut? Dia ‘dah pulang?”

“Kamu ngga tau?”

“Ngga, dari tadi aku tidur sama Laura.”

“Dasar kebo dua ekor.”

“Terus, terus, pacar siapa sekarang setelah Darwin? Masakh jomblo 3 tahun”

“Eh, Na, Darwin apa kabar di sana?”

“Baik-baik aja dia. Dan mau kawin kayaknya.”

“He, kawin ama siapa dia?”

”Pacarnya lah.”

”Ya, aku tau, tapi siapa?”

”Kamu ngga kenal. Tapi namanya Rana.”

”Orang sini?”

“Iya, tapi dari SMP dah di US.”

“Beda umurnya sama Darwin jauh? Kayak waktu aku dulu pacaran sama dia?”

”Ngga sepertinya, beda setahun doank.”

“Eh, aku belum cerita ya, si Darwin kemaren itu pulang bareng aku sama si Laura juga.”

“Berarti dia lagi di Jakarta sekarang?”

“Iya.”

“Kayak apa sekarang dia?”

”Sedikit lebih berotot, karena gym nya rajin banget.”

“Makin ganteng ya?”

“Sama kayak dulu. Heee..masih suka ya sama Darwin?”

“Ngga donk. Ada yang lebih ganteng.”

“Iya..namanya Adrian.”

“Sok tau loe Ra. Main nimbrung ajah niy bocah.”, Laura yang baru keluar kamar mandi tiba-tiba ikutan ngobrol.

“Tapi emang lebih ganteng si Shan, dari pada si Darwin.”

”Serius? Kamu dah pernah liat dia Ra?”

“Sudah, waktu aku jalan bareng Kania ke Senayan City kemaren sore. Kebetulan Adrian papasan sama kita berdua, dan Kania ngenalin aku ke dia.”

“Bawa ke sini dong Nis.”

”Gimana bawanya. Aku suka sama dia, tapi dia lagi ngegebet cewek lain.”

“Duh, duh, duh, nasibmu lah Nis.”

“Sial. Dah ah, aku mandi dulu.”


Selesai mandi, ternyata 4 perempuan, saudara-saudaraku itu lengkap ada di kamarku. Tak tahu apa yang mereka kerjakan selama aku mandi. Yang jelas, mereka sudah rapi berpakaian, tinggal menjinjing tas, memakai sepatu lalu pergi.

“Buruan donk Nis, lelet amat sih.”, celoteh Eline manusia paling ngga sabaran.

“Sabar napah neng. Aku dandan ngga selama kamu kali. Terus udah pada tahu nanti mau kemana?”

“Belum, pikir nanti aja di mobil.”, kata Shana, si kepala suku di antara kami berlima.


Sebelum aku disuruh menyetir oleh Eline, aku mendahulu meminta dirinya untuk menjadi supir kami.

“Madeline, kamu nyetir yah. Biasanya khan kamu dianter Ales mulukh, jarang tuch capekh nyetir.”

“Sial keduluan. Gantian ah.”

”Ogah. Kalo ngga suruh Kania aja nyetir.”

“He..ya udah aku nyetir pulang pergi.”

“Ga usah, biar bos besar yang nyetir.”, Mama tiba-tiba masuk ke kamarku yang kebetulan pintunya dibiarkan terbuka.

“Sudah siap semua?”

“Belum mam, tinggal si anak tengil satu ekor, si Nisya.”, teriak Laura dengan suara sok imut.

“Mam, mau kemana?”

”Pergi sama kalian.””Iya, tapi ke mana?”

“Suka-suka aku ya nyetirnya nanti ke mana.”

“Pasti yang deket. Kalo cara ngomongnya dah kayak gitu.”, aku pun menimpali omongan si bos besar, alias mama.

“Ayo Nis, kamu selalu deh paling lama. Selalu yang ditungguin terakhir.”

“Hehehe, seperti biasa khan Mam.”


Lengkaplah lima perempuan di kamarku ini, serta merta berteriak-teriak untuk memintaku cepat bersiap. Akhirnya 10 menit kemudian, aku pun sudah siap untuk berangkat. Enam perempuan, satu keluarga, dua generasi. Antara Ibu dan lima orang anak perempuannya.

“Ayo anak-anak, kita sekarang naik ke mobil.”, tegas mama kepada kami.


Setelah kami duduk di mobil, dan siap berangkat. Mama pun kembali bersuara

“Hmmm, aku tahu mau ke mana, PIM 2 aja ya, makan sushi. Terus kita jalan-jalan belanja. Gimana?”

“Tuch khan bener, pasti ngga mau nyetir jauh-jauh deh. Tapi boleh juga lah mam, PIM 2 ajah.”, aku menyetujui usulnya.

“Eh tau ngga kalian, apa yang mama pikirin sekarang?”

“Ngga lah, mama belum bilang.”, si kecil nyaut tiba-tiba.

“Jadi inget waktu kalian masih kecil-kecil. Beda umur cuma 2 tahun. Ngga di negara sendiri. Apalagi kalo lagi winter, tambah repot. Terus paling repot ngurus kamu Nis ama Eline. Dah kembar, banyak maunya, maunya sama, waktunya bersamaan, umur dua tahun dah punya adik lagi. Kurang repot apa coba”

“Lah, mama juga hamil lagi.”, aku tak rela dibilang merepotkan dia.

“Abis gimana dounk, di kasih anak lagi, masakh di sia-sia.”

“Terus abis Kania lahir ngga di kasih anak lagi?”, tanyaku yang sebenarnya ingin menyindir mama.

“Di kasih sebenernya, waktu Kania umur 2 tahun, mama hamil lagi. Tapi 7 minggu keguguran. Habis itu, aku atur dech biar ngga punya anak lagi.”

“Memang kenapa ma, kalo setelah Kania punya anak lagi?”, si Shana tiba-tiba bertanya.

“Lima ajah dah kayak giring anak bebek, apalagi 6. Apalagi kalo ternyata kembar lagi. Bisa-bisa pensiun dini mama jadi dokter, dan beralih profesi jadi baby sitter.”

02. Penyusup di Dokter Gigi

Rabu, 19 Maret 2008 |

Setelah Kimiko turun dari mobil, aku hanya menerawang jauh ke luar jendela mobil, terdiam seribu kata. Sehingga suasana di mobil saat itu, layaknya seperti suasana malam di kuburan. Tak biasanya suasana seperti ini terjadi, karena kedekatanku dengan Kania, membuat kami sering sekali berbagi cerita setiap kali ada kesempatan. Namun tidak pada saat itu. Sampai akhirnya adikku yang satu ini tak tahan juga menahan mulutnya untuk tidak berkata sepatah katapun padaku.

“Nis, kamu kenapa siy? Kok dari tadi diem aja?”

“Gak papa Kan. Eh by the way, kamu sekarang langsung dianterin ke dokter gigi khan?”

Aku berusaha sedikit mengalihkan pembicaraan ke hal lain, agar Kania tidak bertanya lebih lanjut.

“Iya, khan udah bikin janji sama dokter giginya.”

“Oh, terus nanti dijemput jam berapa? Lama ngga? Atau mau ditungguin aja?”

“Terserah kamu siy Nis.”

“Nanti malem aku mau pergi sama Shana plus Laura, kamu mau ikut?”

“Kemana?”

“Belum tahu. Mumpung mereka masih di sini lah. Kangen juga ngga jalan bareng rame-rame.”

“Aku ikut Nis, kamu nungguin aku aja gimana terus kita pulang bareng, abis itu pergi bareng lagi.”

Ok.”

Percakapan itu, ternyata tidak membuat Kania melupakan pertanyaan yang diajukannya padaku sebelumnya.

“Terus kenapa dari tadi diem aja, bengong ngeliatin keluar jendela? Cerita lah Nis.”

“Siapa lagi kalo bukan gara-gara aku mikirin Ad.”

“Duh, kamu masih suka sama dia?”

“Masih lah, makin parah sepertinya.”

“Dan dia masih suka sama…”

“Asti.”

Tak sabar menunggu Kania menyelesaikan kalimat itu, langsung aku potong begitu saja.

“Astinya suka sama Ad?”

“Wah, ngga tau ya. Tapi mereka sering jalan bareng, akhir-akhir ini.”

”Belum tentu jalan bareng, tapi Asti juga suka sama Ad.”

”Aku ngga tau Kan. Lagi pula waktu liburan kemarin, aku jarang ngobrol sama Ad. Dia khan sempet pergi 2 minggu.”

“Ya sudah. Cari tahu dulu gih, Asti juga suka ngga sama Ad? Jadi perbanyaklah ngobrol ama si yang ngegebet Asti itu.”


Pikiran pertama yang muncul di otakku adalah “Gila juga si Kania”. Sepertinya ia tak mengerti sama sekali tentang diriku, tentang aku yang lagi sangat benci mendengar semua cerita Ad tentang perempuan bernama Asti. Tak aku gubris omongan adikku itu. Kami pun kembali berdiam, dan sepertinya menjadi sibuk dengan pikiran masing-masing.


Tanpa kusadari kami sudah tiba di tempat praktik dokter gigi Kania. Kania rutin berkunjung ke dokter ini setiap tiga minggu sekali, karena ia harus mengencangkan kawat yang ‘memagari’ giginya, agar menjadi lebih rapi dan teratur.

“Nis, tungguin aku ya.” Kania berkata demikian saat kami berdua keluar mobil.

“Non, Non Nisya, Non Eline perlu dijemput tidak?”, tanya pak Wito padaku.

“Sepertinya ngga perlu pak, Eline pulang sama pacarnya. Pak Wito cari parkir aja”

“Baik Non.”


Tempat praktik dokter gigi ini merupakan tempat praktik dokter gigi bersama. Jadi tidak hanya satu atau dua orang dokter gigi yang membuka praktik di sini. Jadilah tempat praktik mereka diatur sedemikian rupa sehingga menyerupai klinik. Lengkap dengan kantin kecil, ruang tunggu yang dilengkapi dengan televisi dan beberapa buah majalah. Tak ketinggalan, mereka menyediakan hot spot gratis di sana.


Seingatku Kania pernah bilang menu kantin di sana cukup enak, dan tempatnya juga cozy buat duduk-duduk. Sengaja dibuat seperti itu agar para pasien tidak menjadi bosan saat menunggu giliran.


Duduk di salah satu sofa empuk, mulai membuka laptop andalanku, dan tak lama kemudian pelayan di sana menghampiriku sambil membawa daftar menu yang disediakan di kantin itu.

“Saya pesan Ice Cappucino aja Mbak, sama Nachos, extra cheese ya.”


Tanpa berpikir panjang aku memesan makanan yang biasa dipesan Kania. Aku tahu menu ini, saat ia bercerita membangga-banggakan klinik dokter giginya itu.


Kembali berkutat dengan laptop. Kembali berkutat dengan blog-blog yang aku miliki. Mulai mengintip segala hal yang kurang penting di Facebook dan Friendster. Dan kekurangpentingan itu berakhir dengan membuka profil seorang Adrian Chan. Nama kedua itu bukan nama belakangnya, tetapi nama panggilan sayang dari sang mama. Chan itu panggilan sayang untuk seorang anak kecil tersayang, dalam bahasa Jepang. Maklumlah sang mama adalah asli orang Jepang, yang keluarganya sudah tidak terlalu kolot. Oleh sebab itu ia diizinkan untuk menikah dengan ayah Adrian, yang merupakan campuran dari China-Belanda itu.


Manusia berbintang Sagitarius, yang bernama Adrian ini, termasuk manusia menyebalkan. Jarang banget marah, jarang banget protes, tapi sekalinya protes, kata-katanya nylekit. Ya, tapi itu memang gayanya dia berbicara dengan orang lain, tak jarang kata-katanya memang ada benarnya, yang otomatis akan membuat lawan bicaranya menjadi diam seribu bahasa.


Buka-buka profilnya membuatku bertambah kecewa. Hasil jepretan puluhan wajah Asti, telah terpajang di album foto profil itu, dan hei, ada beberapa foto mereka berdua. Salah satunya menjadi foto utama untuk profilnya Ad. Sedih rasanya, kecewa pasti. Namun tak tahu mengapa aku mulai membuka-buka foto-foto itu satu per satu, dan mulai mengetikkan komentar untuk salah satu foto mereka berdua, pada kotak yang telah disediakan. “Nice pic Ad.”, komentar yang singkat, jelas, padat, dan sepertinya akan membuat dirinya senang, walaupun tidak membuat hati yang menulisnya menjadi senang.


Di depanku telah tersedia segelas Ice Cappucino, dan juga sepiring berukuran sedang Nachos dengan keju ekstra. Kania memang benar, kedua menu itu enak di lidah. Malah makanan dan minuman ini membuat rasa penasaranku menjadi bertambah. Tak cukup dengan membuka profil si Ad, namun aku membuka profil manusia yang bernama Lintang Kirana Astiani. Kebetulan profilnya bukan merupakan profil privat, jadi semua orang bisa membacanya.

Aku menemukan sesuatu hal yang menarik saat membaca komentar dari teman-teman Asti, dan juga saat membuka-buka album foto di profilnya. Dari sana aku ketahui, sepertinya Asti sedang dekat seorang teman satu sekolahnya, yang bernama Angga. Tengok saja komentar dari Angga saat Valentine beberapa bulan yang lalu:

"Astiani, ma kasih banget ya, Valentine kemaren, sudah mau terima bunga dari aku.”


Tak puas sampai di situ, aku pun kemudian membuka profil Christopher Angga Ardian. Ternyata ada kemiripan nama di sini. Dan berikutnya, aku juga menemukan sebuah komentar dari Asti yang bunyinya seperti ini:


“Duh, maaf ya aku kemaren ngga bisa pergi sama kamu. Adik sepupuku ulang tahun, dan kita ceritanya sekalian ngerayain Valentine bareng keluarga gitu. Ma kasih juga bunganya, aku suka, dan masih ada tuh. Bakal aku simpen, even nanti dah kering.”


Satu komentar dari aku, yang andaikan bisa aku tulis di kotak komentar profil-profil mereka, adalah “Menarik”.


Jadilah aku bisa sedikit menarik ke arah luar ujung-ujung bibirku pada hari ini, alias tersenyum dengan bahagia. Tapi maaf ya buat dua orang di luar sana yang sudah aku susupi.


Dan sekali lagi, Kania benar. Huh.

01. Sekolah Cinta

Selasa, 18 Maret 2008 |

“Ranisya, hurry, you’ll be late” terdengar suara mama yang menyuruhku untuk segera berangkat sekolah.

“Right away mom…”.

Hari pertama kembali sekolah, selalu membuatku senang. Setengah terburu-buru aku menuju ke ruang makan. Madeline kembaranku dan Kania adikku sudah menunggu di meja makan, sambil menikmati sarapan pagi buatan mama. Ya, mama selalu menyempatkan diri membuatkan sarapan pagi untuk kami. Ia tidak pernah mengizinkan kami pergi sekolah tanpa sarapan. Padahal pekerjaannya sebagai dokter spesialis jantung di salah satu rumah sakit ternama, banyak menyita waktunya untuk bersama kami.

Keluarga kami bisa dibilang keluarga bahagia, dan cukup terpandang. Kurang terpandang apa coba, mamaku seorang dokter spesialis jantung lulusan universitas beken di Jerman, dan papa sebagai diplomat, yang sempat menjabat sebagai duta besar untuk Amerika, Perancis, Belanda dan Jepang. Sudah hampir 3 tahun ini papa tidak ditugaskan untuk menjadi duta besar, dan hampir 3 tahun pula aku tidak lagi berpindah-pindah rumah, pindah sekolah bahkan pindah negara. Padahal aku merasa lebih enak sekolah di luar negeri dari pada di Jakarta. Aku, Madeline, Kania, dan ke dua kakakku Shana dan Laura, tidak ada satupun yang dilahirkan di Indonesia. Kedua kakakku itu diizinkan untuk tidak ikut kembali ke Indonesia, untuk berkuliah di Amerika, negara terakhir papa ditugaskan.

“Bye Mom….see you” aku pamit sama mama sambilku cium pipinya.

“Bye Honey…love you..and don’t forget..be carefull” kata-kata itulah yang selalu mama ucapkan sambil menutup pintu mobil.

Pak Wito, supir keluarga kami siap mengantarkan kami ke sekolah. Kami bertiga sekolah di salah satu sekolah internasional di kawasan Jakarta Selatan. Aku dan Madeline duduk di grade 12 dan Kania masih duduk di grade 10.

Sudah hampir 3 tahun menetap kembali di Indonesia, membuatku kembali lancar berbicara bahasa Indonesia. Setelah meninggalkan Indonesia, kami lebih sering menggunakan bahasa tempat kami tinggal saat itu. Hal ini untuk membiasakan kami berkomunikasi dengan orang-orang di lingkungan kami.

Di mobil, aku berkutat dengan laptopku untuk browsing internet maupun membuka email, sementara Madeline sibuk menelepon pacar tersayangnya, dan seperti biasa Kania tidur dengan pulas.

Tak terasa perjalanan yang hanya memakan waktu kurang dari 45 menit, telah membawa kami sampai ke sekolah. Saat aku lihat jam tanganku, waktu masih menunjukkan pukul 07.10.

“Kan, Kan, bangun, bangun, ‘dah sampai nih, jangan tidur terus.”

Sebelum turun mobil, aku selalu harus membangunkan adikku yang satu itu, karena kembaranku pasti langsung turun mobil, untuk menghampiri pacarnya sebelum kelas dimulai.

“Pak Wito, ‘ma kasih ya, nanti jemput Kania jam 3, terus antar ke dokter gigi. Jangan lupa balik ke sini, jemput aku sama ‘Eline jam lima.”

Pak Wito tanpa banyak protes, langsung menjawabku “Baik Non.

Sembari turun dari mobil, aku berpikir, akan seperti apa ya hari ini. Hari pertama masuk sekolah lagi setelah libur kenaikan kelas. Berjalan menuju papan pengumuman untuk melihat kelas dan jadwal sekolahku, tiba-tiba ada seseorang yang menutup mataku dari belakang. Pastinya aku diminta untuk menebak sebelum ia melepaskan tangannya.

“Hmm, let me guess, Sandro? No? Chris? Wait, you must be Adrian.”

“How do you know, that was me.”

“From smell of your perfume, and your hand for sure.”

“By the way, how’s your vacation? Did you visit your sisters in US?”

“No I did not. They came here. How about you? Your vacation?”

“I went to London, for 2 weeks. I was seeing my cousin there.”

“Really? You went there alone?”

“Ya.”

”When did you get back?”

”Ten days ago.”

“OK.”

“Nis, I’m gonna show you something in class.”

“Is it gonna surprised me?”

“Maybe.”

“OK. Let’s go to the class then.”

Sesampainya di kelas, aku disambut beberapa teriakan centil dari Nerva dan Kimiko.

“Nisya! You’re here, in this class?”

“My God, here, with you again?”

Derai tawa kami bertiga langsung membuat kelas menjadi ramai. Pandangan mata yang penuh rasa penasaran dari mereka, tertuju padaku. Saat mereka melihatku datang bersama Adrian.

“Hi, Ad, You’re here? With us?”

“Unfortunately yes, ladies.”

Aku dan Adrian kemudian berjalan ke deretan bangku di baris tengah, dan kami pun duduk bersebelahan.

“OK, Ad, what you’re gonna show me?”

“This.”

“What’s this?”

”Just take a look.”

Aku pun mulai membuka sebuah benda menyerupai buku, yang ternyata adalah album foto. Lembar demi lembar aku buka. Tak ada foto lainnya, selain foto Asti.

“Wow. Kapan nih?”

"Ha?”

”Ad, come on, you still can’t speak Bahasa? Udah tiga bulan juga di sini. Nanti bisa kena tipu loh.”

“What?”

”When did you go with her and do this?”

“Oh. Last weekend.”

“Keren. Cool.”

”And”

“No and Ad.

”Is that all? Is that all your comments?”

“Ya, why? What should I respond?”

“It’s not surprised you?”

“Bit, yes. You’re done here? If so, I am gonna chat with those girls.”

”Ya. I am done.”

Beranjak dari kursiku. Berjalan dengan perasaan kecewa, menghampiri Minerva, Kimiko dan Nicky, yang sedang mengobrol di luar kelas. Aku sudah mengenal Minerva yang biasa aku panggil Nerva ini sejak kita berdua masih tinggal di Paris. Orang tua kami sama-sama diplomat. Di Paris, aku dan Nerva cukup dekat. Tempat tinggal kami yang berdekatan membuat kami sering bepergian bersama. Namun kondisi ini hanya berlangsung kurang lebih satu setengah tahun. Nerva harus pergi meninggalkan Paris, mengikuti orang tuanya yang ditugaskan ke Hongkong, sebelum akhirnya 3 tahun lalu ia kembali ke Indonesia.

Kimiko, aku mengenalnya di sekolahku yang sekarang ini. Kami sama-sama murid baru saat di kelas 9. Dari namanya sudah pasti bahwa ia adalah orang Jepang. Orang tua Kimiko bekerja di Indonesia untuk 4 tahun. Sedangkan Nicky adalah teman sekelasku saat aku masih SD kelas 2. Waktu itu keluargaku sedang kembali ke Jakarta sebentar. Saat aku kelas 3 SD aku meninggalkan Indonesia, bertolak ke Belanda, dan ternyata setahun kemudian Nicky juga pindah ke London, tinggal bersama ibunya, karena kedua orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Nicky pun baru kembali ke Tanah Air kurang lebih satu tahun lalu.

“Hai, hai, gosip apa sih.”

Aku tak perlu ragu bicara bahasa Indonesia dengan mereka. Kedua orang tua Nerva adalah asli orang Indonesia, kalau Nicky setidaknya Ayahnya orang Indonesia. Sedangkan Kimiko, sudah cukup lama tinggal di sini, jadi ia sudah fasih bicara bahasa Indonesia, walau bahasa Indonesia si Jepang satu ini, masih bahasa Indonesia yang sedikit lebih baku.

“Gosipin kamu sama Ad, Nis.” Langsung deh si Jepang satu itu menimpali.

“Eh, Nis, elo deket ama si Ad, ya?”

“Ha, deket? Ya, lumayan sih. Itu juga gara-gara waktu kita study tour ke Shanghai semester lalu itu. Plus dia sering curhat tentang gebetannya dia.”

“Ya gebetannya itu, elo khan Nis?”

“Sok tau lu. Gak mungkin dech gue naksir dia.”

Seperti tertusuk rasanya, waktu aku mengeluarkan kata-kata itu ke mereka. God, aku memang naksir Ad. Aku suka Ad. Wajah unik hasil perpaduan darah Jepang, China dan Belanda itu menggemaskan. Di tambah otaknya yang pandai dan ia adalah seseorang yang menyenangkan diajak mengobrol. Aku ngga boleh naksir Ad, ngga boleh suka sama dia. Huh, mana pagi-pagi sudah ada kejadian yang bikin BT. Buat apa sih Ad nunjukkin foto-fotonya Asti. Tapi, sebenarnya aku akui, memang hasil jepretan Ad keren, artistik.

“Nis, woi Nis, bengong lagi lu. Masuk kelas yuk, bel ‘udah bunyi tuh.”

Duduk seharian di samping Ad, saat di kelas, membuatku bertambah kesal, dan tak bisa berkonsentrasi pada pelajaran yang disampaikan guruku. Selain itu aku menjadi membatasi interaksi dengannya.

“Nisya, are you ok?” Aku sampai tak mendengar Ad memanggilku saat pelajaran Biologi keparat itu.

“Nisya, Nisya, do you hear me?”

“Oh, oh, ya. What?”

“Are you ok?”

”Ya, I’m fine.”

Tak lama kemudian bel pulang sekolahpun berbunyi. Langsung tanpa basa-basi, aku membenahi tasku dan keluar kelas. Aku hendak menelepon Eline dan Kania, untuk mengatakan padanya kalau aku tak jadi pulang jam 5. Aku tak jadi latihan renang, dan ingin pulang bersama Kania. Ternyata di belakangku, Ad mengejar. Sepertinya ada yang ingin ia sampaikan padaku.

“Nisya, wait, Nisya!”

”Yes, Ad. What’s up?"

“Are you mad at me?”

“Why should I?”

”I don’t know, maybe you’re jealous?”

”Me? Jealous? Just because you were having a date with her? Off course not Ad. I am happy for you.”

“Nisya, nanti saya mau bertemu Asti di Pondok Indah Mall. Kamu mau ikut dengan saya?”

“Saya? Ikut kamu? Pastinya tidak Ad. Kalau saya ikut, Asti tidak mau jadi pacar kamu. Lagi pula saya mau pergi dengan Shana dan Laura. Mumpung mereka di sini.”

“OK. See you tomorrow"

“Ok. Bye. By the way, nice progress Ad"

“What progress?”

”Your Indonesian Langguage, and Asti for sure.”

Huaaaa, mereka mau bertemu lagi malam ini? Tambah sebal aku mendengarnya. Lebih baik nanti aku pergi sama Shana plus Laura. Tapi kemana ya? Pondok Indah Mall, seru sepertinya, lagi pula dekat rumah.

“Halo, halo, Kan, Kania, aku pulang bareng kamu ya ‘dek! Pak Wito sudah datang? Aku tunggu di pintu utama ya.”

“Pak Wito lagi antri masuk ke sini Nis. Eline, pulang sama kita juga?”

”Nope, she’s with her boy friend.”

Dari jauh aku mendengar suara Kimiko memanggil aku.

“Nisya, aku boleh pulang bareng kamu? Supirku tiba-tiba sakit, jadi ngga bisa jemput.”

“Boleh banget. Kamu mau langsung aku antar atau ke rumahku dulu, lalu minta jemput
mamamu nanti sore?”

“Ngga merepotkan Nis kalau kamu antar aku? Sepertinya aku harus menjemput adikku di tempat les balet, jam 5 nanti. Rencananya aku pulang, untuk mengambil mobil, dan menjemput adikku.

“Kim, jalan pulang ke rumahku itu, lewat rumah kamu. Jadi ngga ngerepotin sama sekali.”

Aku dan kimiko menunggu pak Wito di pintu utama. Tak lama kemudian Kania pun sudah bergabung bersama kami.

“Kimiko san, ogenki desuka?”

”Genki desu, anata wa genki desuka?

"Hai, hai, genki desu.”

Eline dan Kimiko memang sudah saling kenal, dan kebetulan mereka berdua sudah lama tidak bertemu. Baik untuk basa-basi maupun bukan, biasanya hal pertama yang ditanyakan oleh seseorang saat bertemu dengan kenalannnya adalah tentang kabar mereka. Begitulah pertanyaan Eline saat bertemu Kimiko di lobi sekolah kami ini.

Dan percakapan mereka itu mengingatkanku akan masa kecil dulu. Kebetulan Aku, Eline dan Kania lahir di Jepang, walau berbeda kota. Kami di Jepang kurang lebih sampai aku usia 6 tahun. Sebelum akhirnya kami sempat kembali ke Indonesia sebentar. Saat menunggu pak Wito, Kimiko bertanya padaku.

“Nis, Asti itu orang Indonesia? Sekolah di mana?”

“Sepertinya orang Indonesia Kim. Sekolahnya, kalau tidak salah di daerah Barito. She’s still in Junior High.”

”Really? Kelas berapa?”

“Kelas 9, kalau ngga salah.”

“Kamu kenal dengan dia Nis?”

“Aku pernah bertemu waktu dia jalan bareng Ad, dan waktu itu Ad mengenalkan Asti padaku.”

“Cantik ngga?”

“Cantik siy ngga terlalu ya, lucu memang. Kayak orang Jepang gitu Kim.”

“Seperti aku?”

“Lucuan kamu Kim.”

“Ah, bilang aja kamu cemburu sama dia.”

“To be honest, iya Kim, kayaknya memang aku cemburu.”

Kimiko pun langsung tak tahu harus berkata apa lagi. Ia hanya mengelus punggungku, seperti seorang teman yang sedang berusaha menghibur atau membuat tenang temannya. Dan seketika, saat itu juga aku benar-benar menyadari sepenuh hati, dan berusaha untuk tidak menyangkalnya lagi, bahwa aku suka Ad, aku sayang dia.