03. Menggiring Anak Bebek

Kamis, 20 Maret 2008 |

“Kan, ‘ma kasih ya usulnya.”

“Usul yang mana?”

“Yang tadi kamu bilang, yang nyuruh aku cari tau tentang si Asti.”

“Memangnya kamu ‘dah ngobrol banyak sama Ad? Kok cepet amat.”

“Ngobrol siy belum, tapi aku tadi tiba-tiba buka-buka Facebook plus Friendster-nya si Asti.”

“Idih..ngintipin profil orang. Dasar stalker.”

“Ngga tau, ngga niat awalnya. Gara-gara aku tadi buka-buka profilnya Ad.”

“Tetep aja stalker.”

“Hehehehe…dikit.”

“Pantesan dari tadi senyam-senyum sendiri. Terus, dari sana dapet apaan?”

”Ada deh.”

“Ah, ngga seru, ngga cerita. Mending tidur deh.”


Tak berapa lama, Kania pun sudah tertidur. Sedikit iri aku padanya untuk urusan yang satu itu. Manusia itu gampang sekali terlelap, sedikit tak peduli tempat, gaya maupun waktu. Lalu aku pun mulai menyalakan MP-3 player andalanku, untuk mendengarkan lagu favorit, dan terlena dengan khayalanku.


Setengah jam kemudian, kami pun tiba di rumah. Aku lihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku, saat itu menunjukkan pukul 17.30. Waktu yang tepat untuk bersiap-bersiap dan kemudian pergi untuk makan malam dan jalan-jalan dengan kedua kakakku dan si Kania.


Aku pun sebenarnya berniat mengajak Eline, tapi tak tahu lah, kembaranku yang satu itu, merupakan manusia super unik di keluargaku. Seakan dia punya dunianya sendiri. Sibuk dengan pacarnya, juga dengan segudang aktivitasnya di sekolah, dan orkestra musik yang sering membawanya tampil di konser-konser musik. Eline lebih tertutup jika dibandingkan dengan diriku. Ia tak akan bercerita dengan sendirinya, kalau tidak ditanya, setidaknya denganku, dengan kembarannya sendiri. Namun anehnya, ia sangat dekat dengan mama. Aneh-aneh gitu, tak pernah ia melewati satu hari pun untuk masuk ke kamar mama, hanya untuk mengucapkan selamat tidur, walaupun ia pulang larut malam. Tak ada satu kisah hidupnya yang disembunyikan dari mama. Bahkan ia pun bercerita saat pergi study tour semester lalu, Charles yang biasa dipanggil Ales, menyusup ke kamar kami, dan tidur bersama kami. Namun kejadian itu berakhir dengan aku yang mengalah pindah kamar untuk tidur dengan Nerva dan juga Kim.


Memang dari dulu mama menekankan pada kami bahwa lebih baik kami cerita sendiri, daripada harus berbohong, apalagi jika kebohongan itu akhirnya diketahui dari orang lain, ia akan sangat marah. Beranjak kami remaja, dulu mama memanggil kami satu per satu untuk diajak bicara dari hati ke hati.


Biasanya hal itu ia lakukan di akhir pekan saat ia tak disibukkan dengan antrian pasien. Obrolan itu biasanya berisi nasehatnya untuk kami berlima. Ia mengatakan bahwa mempunyai, membesarkan dan menjaga lima orang anak perempuan bukanlah hal yang mudah. Ia pun meminta kami untuk membantunya, dengan menjaga diri kami sendiri. Mengingat kami sudah beranjak dewasa, dan ia tak bisa mengikuti ke mana pun langkah kami pergi. Lima pesan darinya kepada kami, jangan nyentuh, berurusan, apalagi memakai NARKOBA; sekolah itu penting, jadi kami tak boleh putus sekolah, usahain sampai S2; jangan sampai hamil di luar nikah, kalaupun kejadian itu amit-amit terjadi, ya jangan diaborsi; jangan kena penyakit aneh-aneh, apalagi penyakit kelamin; apapun yang kamu kerjakan, sejauh itu hal yang positif, dan akan mengembangkan diri kamu, kerjakanlah secara maksimal.

Nasehat yang menurutku ‘tercipta’ di otaknya lebih karena latar belakang pendidikannya yang seorang dokter. Ada beberapa yang menurutku aneh, yaitu nasehatnya untuk jangan hamil di luar nikah. Bisa saja ini diartikan, bahwa kami boleh-boleh saja berhubungan badan dengan pacar kami kelak, tapi jangan sampai hamil. Hal ini mungkin karena ia sangat sering hidup di luar negeri, yang membuatnya ngeri lihat tingginya jumlah remaja yang hamil di luar nikah, dan melakukan tindak aborsi, ya bagusnya kami berlima sampai saat ini belum ada yang mengalami hal tersebut, dan jangan sampai kejadian itu menimpa kami.

---

Saat aku dan Kania baru membuka pintu masuk rumah, dan sedang berusaha melepas sepatu, tiba-tiba pintu dapur terbuka dan seseorang keluar dari sana sambil berkata “Sore sayang, baru pulang?”

“He, mama? Jam segini kok ‘dah pulang.”

“Tadi ditelepon sama Eline, katanya kalian mau jalan bareng?”

“Lah si Eline tau dari mana?”

“Kamu ngga ngasi tau Eline? Terus kok ngga telepon mama juga.”

”Belum, abis aku pikir dia mau pergi sama Ales. Terus, bukannya mama harusnya masih praktik ya jam segini?”

“Iya, tadi kebetulan pasiennya agak dikit, mama langsung pulang aja, lagi males di rumah sakit. By the way, Ales lagi di dapur, kita tadi baru ngobrol-ngobrol.”

---

Aku, Kania, akhirnya berjalan menuju dapur. Sedangkan mama naik ke kamarnya. Sesaat aku membuka pintu dapur, aku langsung melihat Ales yang super ganteng, berbadan bagus, dan lagi dipeluk-peluk sama kembaranku.

“Halo Les, apa kabar?”

“Eh hai Nis, Kan. Baik, baik kabarku. Kamu?”

“We’re great.”

“Kan, kita punya sesuatu buat kamu. Minggu lalu kamu ulang tahun khan?”

”Waaah, ma kasih ‘les. Apaan niy isinya?”

“Buka ajah, hasil dari jalan-jalanku di Sidney, liburan kemaren.”

“Ngga cuma dari Ales kali. Dari aku juga Kan.”, Eline langsung menimpali.

“Heheheh, iya, ‘ma kasih juga ‘Line.”

“Nis, kamu kok ngga ngasi tau aku kalau mau pergi rame-rame.”

”Aku pikir kamu sibuk. Lagi pula waktu tadi aku tawarin pulang bareng, kamu bilang mau berenang dulu, trus bilangnya khan mau pergi sama Ales.”

“He, iya siy, tadinya mau pergi, tapi ngga jadi. Mendingan ngobrol-ngobrol di rumah.”

“Jangan nyalahin aku donk. Terus kamu tahu dari siapa?”

“Laura tadi yang bilang ke aku.”

“Terus, kamu ikut?”

“Ikut donk.”

“Kamu ‘Les?”

“Ngga boleh sama Eline. Khusus para perempuan katanya.”

By the way, si mama ikut ‘line?”

“Sepertinya sih tertarik, tapi ngga tau deh.”

“Enakkan bawa mobil sendiri, atau sama Pak Wito?”

“Bawa mobil sendiri ajah.”

”Terus aku yang nyetir ya?”, tiba-tiba si Kania nimbrung di perbincangan antara aku dan Eline.

“Kalo kamu yang nyetir Kan, mending aku pergi ama Ales lagi.”, sahut Eline.

”Dan aku di rumah aja, ngga jadi pergi.”, nadaku sependapat dengan Eline.

---

Karena aku dan Eline sepakat untuk pergi tanpa pak Wito, maka aku pun mendatangi pak Wito yang sedang mengelap mobil, di garasi samping.

“Pak, kita pergi bawa mobil sendiri aja. Terus tadi pagi Pak Wito mau minta ijin pulang ke rumah sore ini? Jadi?”

“Kalau boleh siy Non, saya kangen sama si Nur.”

“Ya sudah Pak Wito pulang aja sore ini, besok pagi sampai ke sini jam enam-an ya pak. Jangan terlambat lo.”

“Baik Non, terima kasih banyak ya.”

“Salam buat Nur dan istri ya pak.”

---

Kembali aku melangkahkan kaki ke dapur, untuk mengambil tas-ku yang masih di sana. Kali ini aku menemukan Charles hanya seorang diri, duduk sembari menonton televisi. Kalau dipikir-pikir lagi, Madeline beruntung juga ya bisa punya pacar Charles. Ganteng, tinggi, badannya bagus, dan ada otak, meskipun si ganteng ini sedikit anak mami. Tipe Mommy’s little boy gituh. Hal ini lah yang menyebabkan Ales masih bingung apakah ia benar-benar yakin mau melanjutkan kuliah ke Australia. Padahal di Sidney, kakak pertama Ales sudah menikah dan tinggal di sana. Eline sendiri sudah sangat mantap untuk terbang ke negeri kangguru itu, melanjutkan kuliahnya, selepas kami SMA. Eline tak ingin jauh dari rumah. Ia pikir setidaknya kalau ingin pulang ke rumah, Australia tidak terlalu jauh, tidak seperti Shana dan Laura yang baru kali ini pulang ke Jakarta, setelah papa harus kembali ke Jakarta, 3 tahun yang lalu. Selain ada kemungkinan ia akan tetap dekat dengan Ales, kalau ia jadi sekolah di sana.

“Les, Madeline ‘dah naik ke kamarnya ya?”

”Mau mandi katanya.”

“Hmm, oh, kamu beneran ngga ikut kita?”

”Ngga lah Nis, mending aku istirahat di rumah.”

“Ok. Ya sudah ya, aku juga mau naik dulu, siap-siap mau pergi. Anggep kayak rumah sendiri ya, seperti biasa.”

Sebenarnya aku sedikit kikuk kalau bertemu dengan Ales. Hal ini tidak serta-merta aku rasakan. Ada kejadian yang lucu, dan mendebarkan. Tahun lalu, saat Ales dan Eline baru saja pacaran, Ales belum bisa membedakan aku dan kembaranku. Aku dan Eline merupakan kembar satu telur, itulah yang menyebabkan orang lain susah sekali membedakan kami berdua, jika belum terbiasa. Saat itu aku keluar dari dapur dan akan naik ke kamar yang harus melalui tangga, yang ada di ruang keluarga. Ales ada di sana, sedang duduk sendiri menonton televisi, menunggu Eline yang belum pulang dari mengajar biola anak tetangga. Aku tak sadar kalau di ruang itu ada Ales. Tiba-tiba ia yang mengiraku Eline, memelukku dari belakang, seperti seseorang yang sedang menyergap, dan kemudian mencium leherku. Tak tahu kenapa badanku seperti membeku. Tak bisa digerakkan. Tak tahu apa karena aku takut membuat Charles malu, atau memang pelukkannya membuatku nyaman. Sampai akhirnya setelah aku berada didekappannya selama beberapa detik, aku mulai bicara “Charles, ini aku Ranisya, bukan Eline”. Ia pun langsung melepaskan tangannya dari pinggangku, dan meminta maaf padaku berkali-kali. Wajahnya pun langsung berubah seperti muka udang, memerah, mungkin sama halnya dengan rupa wajahku saat itu. Dan saat itu kami pun langsung sepakat, bahwa kejadian itu tak akan kami ceritakan pada siapapun. Cuma aku, Ales dan Tuhan yang tahu.

---

Sesampainya di kamarku, aku melihat Shana sudah selesai mandi dan sedang berdandan. Laura sedang mandi. Dua orang itu, senang sekali tidur di kamarku, walaupun kamar mereka, yang lebih sering tak terpakai, tak pernah luput dari perawatan Mbak Marni dan Mbak Sumi, sehari-harinya. Menunggu Laura mandi, aku memilih baju yang akan aku pakai untuk pergi.

“Nis, nanti mau kemana?”

”Belum diomongin Na. Tanya mama sekalian kali ya?!”

“Mama ikut? Dia ‘dah pulang?”

“Kamu ngga tau?”

“Ngga, dari tadi aku tidur sama Laura.”

“Dasar kebo dua ekor.”

“Terus, terus, pacar siapa sekarang setelah Darwin? Masakh jomblo 3 tahun”

“Eh, Na, Darwin apa kabar di sana?”

“Baik-baik aja dia. Dan mau kawin kayaknya.”

“He, kawin ama siapa dia?”

”Pacarnya lah.”

”Ya, aku tau, tapi siapa?”

”Kamu ngga kenal. Tapi namanya Rana.”

”Orang sini?”

“Iya, tapi dari SMP dah di US.”

“Beda umurnya sama Darwin jauh? Kayak waktu aku dulu pacaran sama dia?”

”Ngga sepertinya, beda setahun doank.”

“Eh, aku belum cerita ya, si Darwin kemaren itu pulang bareng aku sama si Laura juga.”

“Berarti dia lagi di Jakarta sekarang?”

“Iya.”

“Kayak apa sekarang dia?”

”Sedikit lebih berotot, karena gym nya rajin banget.”

“Makin ganteng ya?”

“Sama kayak dulu. Heee..masih suka ya sama Darwin?”

“Ngga donk. Ada yang lebih ganteng.”

“Iya..namanya Adrian.”

“Sok tau loe Ra. Main nimbrung ajah niy bocah.”, Laura yang baru keluar kamar mandi tiba-tiba ikutan ngobrol.

“Tapi emang lebih ganteng si Shan, dari pada si Darwin.”

”Serius? Kamu dah pernah liat dia Ra?”

“Sudah, waktu aku jalan bareng Kania ke Senayan City kemaren sore. Kebetulan Adrian papasan sama kita berdua, dan Kania ngenalin aku ke dia.”

“Bawa ke sini dong Nis.”

”Gimana bawanya. Aku suka sama dia, tapi dia lagi ngegebet cewek lain.”

“Duh, duh, duh, nasibmu lah Nis.”

“Sial. Dah ah, aku mandi dulu.”


Selesai mandi, ternyata 4 perempuan, saudara-saudaraku itu lengkap ada di kamarku. Tak tahu apa yang mereka kerjakan selama aku mandi. Yang jelas, mereka sudah rapi berpakaian, tinggal menjinjing tas, memakai sepatu lalu pergi.

“Buruan donk Nis, lelet amat sih.”, celoteh Eline manusia paling ngga sabaran.

“Sabar napah neng. Aku dandan ngga selama kamu kali. Terus udah pada tahu nanti mau kemana?”

“Belum, pikir nanti aja di mobil.”, kata Shana, si kepala suku di antara kami berlima.


Sebelum aku disuruh menyetir oleh Eline, aku mendahulu meminta dirinya untuk menjadi supir kami.

“Madeline, kamu nyetir yah. Biasanya khan kamu dianter Ales mulukh, jarang tuch capekh nyetir.”

“Sial keduluan. Gantian ah.”

”Ogah. Kalo ngga suruh Kania aja nyetir.”

“He..ya udah aku nyetir pulang pergi.”

“Ga usah, biar bos besar yang nyetir.”, Mama tiba-tiba masuk ke kamarku yang kebetulan pintunya dibiarkan terbuka.

“Sudah siap semua?”

“Belum mam, tinggal si anak tengil satu ekor, si Nisya.”, teriak Laura dengan suara sok imut.

“Mam, mau kemana?”

”Pergi sama kalian.””Iya, tapi ke mana?”

“Suka-suka aku ya nyetirnya nanti ke mana.”

“Pasti yang deket. Kalo cara ngomongnya dah kayak gitu.”, aku pun menimpali omongan si bos besar, alias mama.

“Ayo Nis, kamu selalu deh paling lama. Selalu yang ditungguin terakhir.”

“Hehehe, seperti biasa khan Mam.”


Lengkaplah lima perempuan di kamarku ini, serta merta berteriak-teriak untuk memintaku cepat bersiap. Akhirnya 10 menit kemudian, aku pun sudah siap untuk berangkat. Enam perempuan, satu keluarga, dua generasi. Antara Ibu dan lima orang anak perempuannya.

“Ayo anak-anak, kita sekarang naik ke mobil.”, tegas mama kepada kami.


Setelah kami duduk di mobil, dan siap berangkat. Mama pun kembali bersuara

“Hmmm, aku tahu mau ke mana, PIM 2 aja ya, makan sushi. Terus kita jalan-jalan belanja. Gimana?”

“Tuch khan bener, pasti ngga mau nyetir jauh-jauh deh. Tapi boleh juga lah mam, PIM 2 ajah.”, aku menyetujui usulnya.

“Eh tau ngga kalian, apa yang mama pikirin sekarang?”

“Ngga lah, mama belum bilang.”, si kecil nyaut tiba-tiba.

“Jadi inget waktu kalian masih kecil-kecil. Beda umur cuma 2 tahun. Ngga di negara sendiri. Apalagi kalo lagi winter, tambah repot. Terus paling repot ngurus kamu Nis ama Eline. Dah kembar, banyak maunya, maunya sama, waktunya bersamaan, umur dua tahun dah punya adik lagi. Kurang repot apa coba”

“Lah, mama juga hamil lagi.”, aku tak rela dibilang merepotkan dia.

“Abis gimana dounk, di kasih anak lagi, masakh di sia-sia.”

“Terus abis Kania lahir ngga di kasih anak lagi?”, tanyaku yang sebenarnya ingin menyindir mama.

“Di kasih sebenernya, waktu Kania umur 2 tahun, mama hamil lagi. Tapi 7 minggu keguguran. Habis itu, aku atur dech biar ngga punya anak lagi.”

“Memang kenapa ma, kalo setelah Kania punya anak lagi?”, si Shana tiba-tiba bertanya.

“Lima ajah dah kayak giring anak bebek, apalagi 6. Apalagi kalo ternyata kembar lagi. Bisa-bisa pensiun dini mama jadi dokter, dan beralih profesi jadi baby sitter.”

02. Penyusup di Dokter Gigi

Rabu, 19 Maret 2008 |

Setelah Kimiko turun dari mobil, aku hanya menerawang jauh ke luar jendela mobil, terdiam seribu kata. Sehingga suasana di mobil saat itu, layaknya seperti suasana malam di kuburan. Tak biasanya suasana seperti ini terjadi, karena kedekatanku dengan Kania, membuat kami sering sekali berbagi cerita setiap kali ada kesempatan. Namun tidak pada saat itu. Sampai akhirnya adikku yang satu ini tak tahan juga menahan mulutnya untuk tidak berkata sepatah katapun padaku.

“Nis, kamu kenapa siy? Kok dari tadi diem aja?”

“Gak papa Kan. Eh by the way, kamu sekarang langsung dianterin ke dokter gigi khan?”

Aku berusaha sedikit mengalihkan pembicaraan ke hal lain, agar Kania tidak bertanya lebih lanjut.

“Iya, khan udah bikin janji sama dokter giginya.”

“Oh, terus nanti dijemput jam berapa? Lama ngga? Atau mau ditungguin aja?”

“Terserah kamu siy Nis.”

“Nanti malem aku mau pergi sama Shana plus Laura, kamu mau ikut?”

“Kemana?”

“Belum tahu. Mumpung mereka masih di sini lah. Kangen juga ngga jalan bareng rame-rame.”

“Aku ikut Nis, kamu nungguin aku aja gimana terus kita pulang bareng, abis itu pergi bareng lagi.”

Ok.”

Percakapan itu, ternyata tidak membuat Kania melupakan pertanyaan yang diajukannya padaku sebelumnya.

“Terus kenapa dari tadi diem aja, bengong ngeliatin keluar jendela? Cerita lah Nis.”

“Siapa lagi kalo bukan gara-gara aku mikirin Ad.”

“Duh, kamu masih suka sama dia?”

“Masih lah, makin parah sepertinya.”

“Dan dia masih suka sama…”

“Asti.”

Tak sabar menunggu Kania menyelesaikan kalimat itu, langsung aku potong begitu saja.

“Astinya suka sama Ad?”

“Wah, ngga tau ya. Tapi mereka sering jalan bareng, akhir-akhir ini.”

”Belum tentu jalan bareng, tapi Asti juga suka sama Ad.”

”Aku ngga tau Kan. Lagi pula waktu liburan kemarin, aku jarang ngobrol sama Ad. Dia khan sempet pergi 2 minggu.”

“Ya sudah. Cari tahu dulu gih, Asti juga suka ngga sama Ad? Jadi perbanyaklah ngobrol ama si yang ngegebet Asti itu.”


Pikiran pertama yang muncul di otakku adalah “Gila juga si Kania”. Sepertinya ia tak mengerti sama sekali tentang diriku, tentang aku yang lagi sangat benci mendengar semua cerita Ad tentang perempuan bernama Asti. Tak aku gubris omongan adikku itu. Kami pun kembali berdiam, dan sepertinya menjadi sibuk dengan pikiran masing-masing.


Tanpa kusadari kami sudah tiba di tempat praktik dokter gigi Kania. Kania rutin berkunjung ke dokter ini setiap tiga minggu sekali, karena ia harus mengencangkan kawat yang ‘memagari’ giginya, agar menjadi lebih rapi dan teratur.

“Nis, tungguin aku ya.” Kania berkata demikian saat kami berdua keluar mobil.

“Non, Non Nisya, Non Eline perlu dijemput tidak?”, tanya pak Wito padaku.

“Sepertinya ngga perlu pak, Eline pulang sama pacarnya. Pak Wito cari parkir aja”

“Baik Non.”


Tempat praktik dokter gigi ini merupakan tempat praktik dokter gigi bersama. Jadi tidak hanya satu atau dua orang dokter gigi yang membuka praktik di sini. Jadilah tempat praktik mereka diatur sedemikian rupa sehingga menyerupai klinik. Lengkap dengan kantin kecil, ruang tunggu yang dilengkapi dengan televisi dan beberapa buah majalah. Tak ketinggalan, mereka menyediakan hot spot gratis di sana.


Seingatku Kania pernah bilang menu kantin di sana cukup enak, dan tempatnya juga cozy buat duduk-duduk. Sengaja dibuat seperti itu agar para pasien tidak menjadi bosan saat menunggu giliran.


Duduk di salah satu sofa empuk, mulai membuka laptop andalanku, dan tak lama kemudian pelayan di sana menghampiriku sambil membawa daftar menu yang disediakan di kantin itu.

“Saya pesan Ice Cappucino aja Mbak, sama Nachos, extra cheese ya.”


Tanpa berpikir panjang aku memesan makanan yang biasa dipesan Kania. Aku tahu menu ini, saat ia bercerita membangga-banggakan klinik dokter giginya itu.


Kembali berkutat dengan laptop. Kembali berkutat dengan blog-blog yang aku miliki. Mulai mengintip segala hal yang kurang penting di Facebook dan Friendster. Dan kekurangpentingan itu berakhir dengan membuka profil seorang Adrian Chan. Nama kedua itu bukan nama belakangnya, tetapi nama panggilan sayang dari sang mama. Chan itu panggilan sayang untuk seorang anak kecil tersayang, dalam bahasa Jepang. Maklumlah sang mama adalah asli orang Jepang, yang keluarganya sudah tidak terlalu kolot. Oleh sebab itu ia diizinkan untuk menikah dengan ayah Adrian, yang merupakan campuran dari China-Belanda itu.


Manusia berbintang Sagitarius, yang bernama Adrian ini, termasuk manusia menyebalkan. Jarang banget marah, jarang banget protes, tapi sekalinya protes, kata-katanya nylekit. Ya, tapi itu memang gayanya dia berbicara dengan orang lain, tak jarang kata-katanya memang ada benarnya, yang otomatis akan membuat lawan bicaranya menjadi diam seribu bahasa.


Buka-buka profilnya membuatku bertambah kecewa. Hasil jepretan puluhan wajah Asti, telah terpajang di album foto profil itu, dan hei, ada beberapa foto mereka berdua. Salah satunya menjadi foto utama untuk profilnya Ad. Sedih rasanya, kecewa pasti. Namun tak tahu mengapa aku mulai membuka-buka foto-foto itu satu per satu, dan mulai mengetikkan komentar untuk salah satu foto mereka berdua, pada kotak yang telah disediakan. “Nice pic Ad.”, komentar yang singkat, jelas, padat, dan sepertinya akan membuat dirinya senang, walaupun tidak membuat hati yang menulisnya menjadi senang.


Di depanku telah tersedia segelas Ice Cappucino, dan juga sepiring berukuran sedang Nachos dengan keju ekstra. Kania memang benar, kedua menu itu enak di lidah. Malah makanan dan minuman ini membuat rasa penasaranku menjadi bertambah. Tak cukup dengan membuka profil si Ad, namun aku membuka profil manusia yang bernama Lintang Kirana Astiani. Kebetulan profilnya bukan merupakan profil privat, jadi semua orang bisa membacanya.

Aku menemukan sesuatu hal yang menarik saat membaca komentar dari teman-teman Asti, dan juga saat membuka-buka album foto di profilnya. Dari sana aku ketahui, sepertinya Asti sedang dekat seorang teman satu sekolahnya, yang bernama Angga. Tengok saja komentar dari Angga saat Valentine beberapa bulan yang lalu:

"Astiani, ma kasih banget ya, Valentine kemaren, sudah mau terima bunga dari aku.”


Tak puas sampai di situ, aku pun kemudian membuka profil Christopher Angga Ardian. Ternyata ada kemiripan nama di sini. Dan berikutnya, aku juga menemukan sebuah komentar dari Asti yang bunyinya seperti ini:


“Duh, maaf ya aku kemaren ngga bisa pergi sama kamu. Adik sepupuku ulang tahun, dan kita ceritanya sekalian ngerayain Valentine bareng keluarga gitu. Ma kasih juga bunganya, aku suka, dan masih ada tuh. Bakal aku simpen, even nanti dah kering.”


Satu komentar dari aku, yang andaikan bisa aku tulis di kotak komentar profil-profil mereka, adalah “Menarik”.


Jadilah aku bisa sedikit menarik ke arah luar ujung-ujung bibirku pada hari ini, alias tersenyum dengan bahagia. Tapi maaf ya buat dua orang di luar sana yang sudah aku susupi.


Dan sekali lagi, Kania benar. Huh.

01. Sekolah Cinta

Selasa, 18 Maret 2008 |

“Ranisya, hurry, you’ll be late” terdengar suara mama yang menyuruhku untuk segera berangkat sekolah.

“Right away mom…”.

Hari pertama kembali sekolah, selalu membuatku senang. Setengah terburu-buru aku menuju ke ruang makan. Madeline kembaranku dan Kania adikku sudah menunggu di meja makan, sambil menikmati sarapan pagi buatan mama. Ya, mama selalu menyempatkan diri membuatkan sarapan pagi untuk kami. Ia tidak pernah mengizinkan kami pergi sekolah tanpa sarapan. Padahal pekerjaannya sebagai dokter spesialis jantung di salah satu rumah sakit ternama, banyak menyita waktunya untuk bersama kami.

Keluarga kami bisa dibilang keluarga bahagia, dan cukup terpandang. Kurang terpandang apa coba, mamaku seorang dokter spesialis jantung lulusan universitas beken di Jerman, dan papa sebagai diplomat, yang sempat menjabat sebagai duta besar untuk Amerika, Perancis, Belanda dan Jepang. Sudah hampir 3 tahun ini papa tidak ditugaskan untuk menjadi duta besar, dan hampir 3 tahun pula aku tidak lagi berpindah-pindah rumah, pindah sekolah bahkan pindah negara. Padahal aku merasa lebih enak sekolah di luar negeri dari pada di Jakarta. Aku, Madeline, Kania, dan ke dua kakakku Shana dan Laura, tidak ada satupun yang dilahirkan di Indonesia. Kedua kakakku itu diizinkan untuk tidak ikut kembali ke Indonesia, untuk berkuliah di Amerika, negara terakhir papa ditugaskan.

“Bye Mom….see you” aku pamit sama mama sambilku cium pipinya.

“Bye Honey…love you..and don’t forget..be carefull” kata-kata itulah yang selalu mama ucapkan sambil menutup pintu mobil.

Pak Wito, supir keluarga kami siap mengantarkan kami ke sekolah. Kami bertiga sekolah di salah satu sekolah internasional di kawasan Jakarta Selatan. Aku dan Madeline duduk di grade 12 dan Kania masih duduk di grade 10.

Sudah hampir 3 tahun menetap kembali di Indonesia, membuatku kembali lancar berbicara bahasa Indonesia. Setelah meninggalkan Indonesia, kami lebih sering menggunakan bahasa tempat kami tinggal saat itu. Hal ini untuk membiasakan kami berkomunikasi dengan orang-orang di lingkungan kami.

Di mobil, aku berkutat dengan laptopku untuk browsing internet maupun membuka email, sementara Madeline sibuk menelepon pacar tersayangnya, dan seperti biasa Kania tidur dengan pulas.

Tak terasa perjalanan yang hanya memakan waktu kurang dari 45 menit, telah membawa kami sampai ke sekolah. Saat aku lihat jam tanganku, waktu masih menunjukkan pukul 07.10.

“Kan, Kan, bangun, bangun, ‘dah sampai nih, jangan tidur terus.”

Sebelum turun mobil, aku selalu harus membangunkan adikku yang satu itu, karena kembaranku pasti langsung turun mobil, untuk menghampiri pacarnya sebelum kelas dimulai.

“Pak Wito, ‘ma kasih ya, nanti jemput Kania jam 3, terus antar ke dokter gigi. Jangan lupa balik ke sini, jemput aku sama ‘Eline jam lima.”

Pak Wito tanpa banyak protes, langsung menjawabku “Baik Non.

Sembari turun dari mobil, aku berpikir, akan seperti apa ya hari ini. Hari pertama masuk sekolah lagi setelah libur kenaikan kelas. Berjalan menuju papan pengumuman untuk melihat kelas dan jadwal sekolahku, tiba-tiba ada seseorang yang menutup mataku dari belakang. Pastinya aku diminta untuk menebak sebelum ia melepaskan tangannya.

“Hmm, let me guess, Sandro? No? Chris? Wait, you must be Adrian.”

“How do you know, that was me.”

“From smell of your perfume, and your hand for sure.”

“By the way, how’s your vacation? Did you visit your sisters in US?”

“No I did not. They came here. How about you? Your vacation?”

“I went to London, for 2 weeks. I was seeing my cousin there.”

“Really? You went there alone?”

“Ya.”

”When did you get back?”

”Ten days ago.”

“OK.”

“Nis, I’m gonna show you something in class.”

“Is it gonna surprised me?”

“Maybe.”

“OK. Let’s go to the class then.”

Sesampainya di kelas, aku disambut beberapa teriakan centil dari Nerva dan Kimiko.

“Nisya! You’re here, in this class?”

“My God, here, with you again?”

Derai tawa kami bertiga langsung membuat kelas menjadi ramai. Pandangan mata yang penuh rasa penasaran dari mereka, tertuju padaku. Saat mereka melihatku datang bersama Adrian.

“Hi, Ad, You’re here? With us?”

“Unfortunately yes, ladies.”

Aku dan Adrian kemudian berjalan ke deretan bangku di baris tengah, dan kami pun duduk bersebelahan.

“OK, Ad, what you’re gonna show me?”

“This.”

“What’s this?”

”Just take a look.”

Aku pun mulai membuka sebuah benda menyerupai buku, yang ternyata adalah album foto. Lembar demi lembar aku buka. Tak ada foto lainnya, selain foto Asti.

“Wow. Kapan nih?”

"Ha?”

”Ad, come on, you still can’t speak Bahasa? Udah tiga bulan juga di sini. Nanti bisa kena tipu loh.”

“What?”

”When did you go with her and do this?”

“Oh. Last weekend.”

“Keren. Cool.”

”And”

“No and Ad.

”Is that all? Is that all your comments?”

“Ya, why? What should I respond?”

“It’s not surprised you?”

“Bit, yes. You’re done here? If so, I am gonna chat with those girls.”

”Ya. I am done.”

Beranjak dari kursiku. Berjalan dengan perasaan kecewa, menghampiri Minerva, Kimiko dan Nicky, yang sedang mengobrol di luar kelas. Aku sudah mengenal Minerva yang biasa aku panggil Nerva ini sejak kita berdua masih tinggal di Paris. Orang tua kami sama-sama diplomat. Di Paris, aku dan Nerva cukup dekat. Tempat tinggal kami yang berdekatan membuat kami sering bepergian bersama. Namun kondisi ini hanya berlangsung kurang lebih satu setengah tahun. Nerva harus pergi meninggalkan Paris, mengikuti orang tuanya yang ditugaskan ke Hongkong, sebelum akhirnya 3 tahun lalu ia kembali ke Indonesia.

Kimiko, aku mengenalnya di sekolahku yang sekarang ini. Kami sama-sama murid baru saat di kelas 9. Dari namanya sudah pasti bahwa ia adalah orang Jepang. Orang tua Kimiko bekerja di Indonesia untuk 4 tahun. Sedangkan Nicky adalah teman sekelasku saat aku masih SD kelas 2. Waktu itu keluargaku sedang kembali ke Jakarta sebentar. Saat aku kelas 3 SD aku meninggalkan Indonesia, bertolak ke Belanda, dan ternyata setahun kemudian Nicky juga pindah ke London, tinggal bersama ibunya, karena kedua orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Nicky pun baru kembali ke Tanah Air kurang lebih satu tahun lalu.

“Hai, hai, gosip apa sih.”

Aku tak perlu ragu bicara bahasa Indonesia dengan mereka. Kedua orang tua Nerva adalah asli orang Indonesia, kalau Nicky setidaknya Ayahnya orang Indonesia. Sedangkan Kimiko, sudah cukup lama tinggal di sini, jadi ia sudah fasih bicara bahasa Indonesia, walau bahasa Indonesia si Jepang satu ini, masih bahasa Indonesia yang sedikit lebih baku.

“Gosipin kamu sama Ad, Nis.” Langsung deh si Jepang satu itu menimpali.

“Eh, Nis, elo deket ama si Ad, ya?”

“Ha, deket? Ya, lumayan sih. Itu juga gara-gara waktu kita study tour ke Shanghai semester lalu itu. Plus dia sering curhat tentang gebetannya dia.”

“Ya gebetannya itu, elo khan Nis?”

“Sok tau lu. Gak mungkin dech gue naksir dia.”

Seperti tertusuk rasanya, waktu aku mengeluarkan kata-kata itu ke mereka. God, aku memang naksir Ad. Aku suka Ad. Wajah unik hasil perpaduan darah Jepang, China dan Belanda itu menggemaskan. Di tambah otaknya yang pandai dan ia adalah seseorang yang menyenangkan diajak mengobrol. Aku ngga boleh naksir Ad, ngga boleh suka sama dia. Huh, mana pagi-pagi sudah ada kejadian yang bikin BT. Buat apa sih Ad nunjukkin foto-fotonya Asti. Tapi, sebenarnya aku akui, memang hasil jepretan Ad keren, artistik.

“Nis, woi Nis, bengong lagi lu. Masuk kelas yuk, bel ‘udah bunyi tuh.”

Duduk seharian di samping Ad, saat di kelas, membuatku bertambah kesal, dan tak bisa berkonsentrasi pada pelajaran yang disampaikan guruku. Selain itu aku menjadi membatasi interaksi dengannya.

“Nisya, are you ok?” Aku sampai tak mendengar Ad memanggilku saat pelajaran Biologi keparat itu.

“Nisya, Nisya, do you hear me?”

“Oh, oh, ya. What?”

“Are you ok?”

”Ya, I’m fine.”

Tak lama kemudian bel pulang sekolahpun berbunyi. Langsung tanpa basa-basi, aku membenahi tasku dan keluar kelas. Aku hendak menelepon Eline dan Kania, untuk mengatakan padanya kalau aku tak jadi pulang jam 5. Aku tak jadi latihan renang, dan ingin pulang bersama Kania. Ternyata di belakangku, Ad mengejar. Sepertinya ada yang ingin ia sampaikan padaku.

“Nisya, wait, Nisya!”

”Yes, Ad. What’s up?"

“Are you mad at me?”

“Why should I?”

”I don’t know, maybe you’re jealous?”

”Me? Jealous? Just because you were having a date with her? Off course not Ad. I am happy for you.”

“Nisya, nanti saya mau bertemu Asti di Pondok Indah Mall. Kamu mau ikut dengan saya?”

“Saya? Ikut kamu? Pastinya tidak Ad. Kalau saya ikut, Asti tidak mau jadi pacar kamu. Lagi pula saya mau pergi dengan Shana dan Laura. Mumpung mereka di sini.”

“OK. See you tomorrow"

“Ok. Bye. By the way, nice progress Ad"

“What progress?”

”Your Indonesian Langguage, and Asti for sure.”

Huaaaa, mereka mau bertemu lagi malam ini? Tambah sebal aku mendengarnya. Lebih baik nanti aku pergi sama Shana plus Laura. Tapi kemana ya? Pondok Indah Mall, seru sepertinya, lagi pula dekat rumah.

“Halo, halo, Kan, Kania, aku pulang bareng kamu ya ‘dek! Pak Wito sudah datang? Aku tunggu di pintu utama ya.”

“Pak Wito lagi antri masuk ke sini Nis. Eline, pulang sama kita juga?”

”Nope, she’s with her boy friend.”

Dari jauh aku mendengar suara Kimiko memanggil aku.

“Nisya, aku boleh pulang bareng kamu? Supirku tiba-tiba sakit, jadi ngga bisa jemput.”

“Boleh banget. Kamu mau langsung aku antar atau ke rumahku dulu, lalu minta jemput
mamamu nanti sore?”

“Ngga merepotkan Nis kalau kamu antar aku? Sepertinya aku harus menjemput adikku di tempat les balet, jam 5 nanti. Rencananya aku pulang, untuk mengambil mobil, dan menjemput adikku.

“Kim, jalan pulang ke rumahku itu, lewat rumah kamu. Jadi ngga ngerepotin sama sekali.”

Aku dan kimiko menunggu pak Wito di pintu utama. Tak lama kemudian Kania pun sudah bergabung bersama kami.

“Kimiko san, ogenki desuka?”

”Genki desu, anata wa genki desuka?

"Hai, hai, genki desu.”

Eline dan Kimiko memang sudah saling kenal, dan kebetulan mereka berdua sudah lama tidak bertemu. Baik untuk basa-basi maupun bukan, biasanya hal pertama yang ditanyakan oleh seseorang saat bertemu dengan kenalannnya adalah tentang kabar mereka. Begitulah pertanyaan Eline saat bertemu Kimiko di lobi sekolah kami ini.

Dan percakapan mereka itu mengingatkanku akan masa kecil dulu. Kebetulan Aku, Eline dan Kania lahir di Jepang, walau berbeda kota. Kami di Jepang kurang lebih sampai aku usia 6 tahun. Sebelum akhirnya kami sempat kembali ke Indonesia sebentar. Saat menunggu pak Wito, Kimiko bertanya padaku.

“Nis, Asti itu orang Indonesia? Sekolah di mana?”

“Sepertinya orang Indonesia Kim. Sekolahnya, kalau tidak salah di daerah Barito. She’s still in Junior High.”

”Really? Kelas berapa?”

“Kelas 9, kalau ngga salah.”

“Kamu kenal dengan dia Nis?”

“Aku pernah bertemu waktu dia jalan bareng Ad, dan waktu itu Ad mengenalkan Asti padaku.”

“Cantik ngga?”

“Cantik siy ngga terlalu ya, lucu memang. Kayak orang Jepang gitu Kim.”

“Seperti aku?”

“Lucuan kamu Kim.”

“Ah, bilang aja kamu cemburu sama dia.”

“To be honest, iya Kim, kayaknya memang aku cemburu.”

Kimiko pun langsung tak tahu harus berkata apa lagi. Ia hanya mengelus punggungku, seperti seorang teman yang sedang berusaha menghibur atau membuat tenang temannya. Dan seketika, saat itu juga aku benar-benar menyadari sepenuh hati, dan berusaha untuk tidak menyangkalnya lagi, bahwa aku suka Ad, aku sayang dia.