08. Obrolan Belahan Jiwa

Sabtu, 25 Oktober 2008 |

Dua hari sudah aku lewati di Bali. Makan sendirian. Jalan-jalan sendirian. Belanja sendirian. Nongkrong di pantai sendirian. Di kamar sendirian. Berenang sendirian. Puas aku nikmati semua kesendirianku.

Aku berani bertaruh, tak sedikit yang mencoba menghubungi ponselku yang juga sudah 2 hari ini membisu, tak bersuara, karena aku matikan. Bukan aku ganti dengan profil diam, tapi aku matikan fungsi keseluruhan ponsel itu. Apalagi ditambah aku hanya meninggalkan pesan yang ditempel pada pintu lemari pendingin bertuliskan...

"Aku ke Bali 2 hari. Ntar aku ceritain pas pulang."

Baru saja pesawat yang membawaku kembali ke dunia nyataku telah mendarat. Aku sudah kembali di Jakarta. Ibukota yang cantik kala sinar lampu juga bintang berkilau menyinarinya. Berbeda betul saat matahari tak tertidur. Kota ini menjadi hamparan tanah yang penuh dengan kekejaman makhluk-makhluk yang mendiaminya. 

Termasuk makhluk kejam bernama Ales dan mungkin juga yang bernama Nisya. Dua hari berpikir, yang lagi-lagi sendirian, belum cukup aku rasa, tapi bukan berarti aku tak mencoba meraih solusi.

Tak perlu waktu lama taksi itu menghantarkanku ke rumah, kala Jakarta sudah sedikit terlelap. Bermodal kunci rumah lengkap, menjadikanku tak perlu bertingkah seperti maling saat harus memasuki rumah. 

Tak ada seorang pun di ruang tamu. Aku yakin semuanya sudah tidur. Namun ternyata tebakanku salah. Aku masih melihat cahaya lampu dari arah dapur. Langkah kaki ini pun membawaku ke sana. 

"Heh Tengil, dari mana lu?"

"Belom tidur lu, Line?"

"Belom. Dah dari Jumat gue susah tidur."

"Kenapa?"

"Sebenernya agak sebel siy gue ngomongnya ama elu, Nis. Everytime you have problem, gue ngga pernah bisa tidur nyenyak."

"Really? Kok elu baru bilang sekarang?"

"Gengsi Nyet. By the way, are you ok?"

"Gak lah. Kalo gue okay-okay aja, ngapain gue ngabur ke Bali."

"Gak tau ya gue. Gue kira elu ngejar Ad!?"

"Ye, gak segitunya juga kali."

"Terus kenapa? Gara-gara Ad? Kasiyan tuch dia ampe nelpon ke rumah berkali-kali 2 hari ini."

"Line, elu jadi kuliah di Aussie?"

"Jadi. Kenapa?"

"Dah yakin lu?"

"Most likely. Kenapa siy?"

"Just because Ales ya Line, kamu mantep ke sana?"

"Gak juga Nis. Alasan utama gue siy, gue males jauh dari rumah."

"Lebih deket lagi Line? Singapur."

Saat menenggak satu gelas jus mangga yang baru saja aku ambil dari lemari pendingin, Eline kemudian melontarkan sebuah pertanyaan lagi.

"Terus kenapa lu? Jangan sampe elu mbuat gue ngga bisa tidur lagi malem ini. Sepertinya ini yang terparah dari ngga bisa tidurnya gue dulu-dulu. Even elu ngga bilang langsung ke gue ya Nis, tapi biasanya kalo masalah elu selese cepet, gue bakal cepet bisa tidur lagi, dan gak lama dari itu, pasti udah ada yang cerita ke gue, tentang masalah elu itu."

"Oooowww...pantesan elu ngga pernah nanya-nanya gue ya? Lah elu ternyata setengah paranormal buat gue."

"Hehehehe, emang gue suka jadi kayak gini. Gak enak kali."

"Line, selain elu ngga suka gara-gara elu jadi sensitif n ikutan ngerasain masalah gue, menurut pandangan lu, gue kayak apa siy?"

"Nyebelin."

"Come on, serius niy gue, walopun nyebelin emang salah satunya."

"Elu kaca buat gue kok Nis. Gue ngga perlu susah-susah nyari tau pendapat orang lain. Gue tinggal liat elu. Diem-diem observasi gue canggih loh."

"Contohnya apa?"

"Inget waktu kita dulu masih dijejali dengan banyaknya les-les keparat itu?"

"Iya tuh, cuma libur pas weekend"

"Elo tau dong, gue ngomel-ngomelnya kayak apa waktu itu. Ada gitu yang ngajarin gue secara detil ngatur waktu semua tugas sekolah, les, plus tugas kita di rumah waktu itu?"

"Detil siy ngga. Di-brief dikit siy iya."

"Ntah kenapa, elu bisa gituh diem tanpa ngomel, tapi kerjaan lu beres semua."

"Iya yah?"

"Dan diem-diem gue observasi elu Nis. Elu sadar ngga siy, gue dah ngga terlalu cranky dibanding dulu."

"Wow, ma kasih loh, jadiin gue sebagai inspirasi elu. Terus, berarti kira-kira elu bakal percaya omongan gue dong?"

"Tergantung niy."

"Tergantung apa?"

"Make sense atau ngga."

"Kalo boleh gue minta dibandingin niy Line, kira-kira elu bakal lebih percaya omongan gue atau omongan pacar lu ndiri?"

"Kenapa nanyanya gitu sih."

"Loh iya dong, gue itu kembaran lu. Ales pacar lu. Apple to apple dong bandinginnya. Dua-duanya adalah orang yang deket ama elu, dua-duanya bisa mbuat elu ga bisa tidur. Ya gak?"

"Gue harus milih nih?"

"Iya, elu harus milih."

"Ales, Nis."

"Oh. Ok."

"Kenapa siy?"

"No, i just want to know. Buat pertimbangan kalo gue mau cerita-cerita masalah gue aja ke elu. Ya, udah kalo gitu, gue milih untuk mbuat elu ga bisa tidur dech Line."

"Sial lu. Termasuk malem ini lagi?"

"Yoi. Ya 'dah gue mau tidur, ngantuk, capek, terus besok sekolah."

"Payah lu."

"Eh berhubung elu ngga tidur lagi, berarti besok pagi elu bangunin gue ya ke sekolah."

07. "Rencana Kriminal" Akhir Pekan

Jumat, 24 Oktober 2008 |

"Krrrinnnggg."

Selesai juga debate class hari ini. Hari ini sudah Jumat, yang berarti hari-hari sekolahku minggu ini, juga berakhir. Rasanya tak ingin aku jumpai akhir pekan. Tak bisa aku bayangkan, 2 hari ke depan aku tak akan bertemu dengan seseorang yang telah membuatku akhir-akhir ini sangat bahagia. Ya, seseorang itu adalah Ad.

Seperti biasanya, setiap hari Jumat, teman-temanku sudah sibuk menyiapkan rencana romantis maupun rencana "kriminal" yang akan dilakukan pada akhir pekan. Sedangkan aku? Sampai bel berbunyi, belum mempunyai rencana apa pun untuk akhir pekan ini.

Semenjak aku putus dengan Darwin dan kembali ke Indonesia, sering kali aku menghabiskan akhir pekan di rumah. Bisa-bisa aku, Kania, Mama dan Papa, menghabiskan waktu seharian menonton DVD, mengobrol untuk menanyakan kabar terbaru kami masing-masing, atau berenang di kolam renang di halaman belakang. Tak jarang pula Madeline dan Ales ikut serta dalam kegiatan kami ini.

Namun saat-saat yang paling aku tunggu adalah saat tengah malam menjelang. Saat aku kembali ke kamarku, menyalakan lampu yang berada di atas nakas, mengambil laptop kesayanganku, yang kemudian aku bawa ke atas tempat tidur, aku nyalakan dan tak lama kemudian aku sudah berkutat dengan blog-blog yang aku kelola. Bagai anak dengan autisme, jika aku sudah masuk ke dalam dunia maya yang aku buat sendiri itu. 

Pertanyaan yang sebenarnya paling malas aku jawab, akhirnya keluar juga dari mulut Nerva.

"Nis, besok kemana?"

"Yah Va, lu tau khan gue. Belum tau, liat besok lah."

"Gak pergi ama Ad?"

"Dia ngga ngajak-ngajak Va."

"Jadi ngarep diajak ya?"

"Sial. Gak tau ah."

"Gue ama Nicky mau belanja-belanji, elu mau ikut?"

"Senen kemaren gue 'dah belanja. Ntar duit gue abis. Apalagi belanja 'ama kalian."

"Ya udah, kalo elu mau ikut, tilpun-tilpun yah."

"Beres Va. By the way, si Jepang ngga ikutan besok?"

"Gak. Ada upacara minum teh dia besok.

Sejenak kami berjalan di koridor sekolah, tanpa berbincang sedikit pun. Sampai Nerva akhirnya menanyakan keberadaan Ad.

"Ad mana Nis? Kalian kepisah ya, pas di kelas ini."

"Hahaha, iya nih. Tadi siy aku janjian di depan perpus."

"Kelas yang satunya di ruang berapa siy?"

"Gak nanya gue Va."

Kelas debat memang agak lain dengan kelas-kelas lainnya. Satu kelas debat hanya diperbolehkan berisi 10 orang, sedangkan kelas kami isinya 20 orang. Jadi khusus kelas debat, kelas kami dibagi lagi menjadi dua. Hal ini untuk mempermudah latihan debat pada setiap sesi kelas ini. Dan setiap minggu ke empat, kami dipertemukan kembali untuk latihan berdebat dalam forum yang lebih besar. Tak hanya itu, materi ujian akhir semester kelas ini adalah debat terbuka di depan seluruh guru dan wakil orang tua, tentang seputar masalah sosial yang sedang terjadi, dan tak peduli angkatan. Maksudnya, dalam satu kelompok debat memang sengaja anggota kelompok diacak dan dipilih dari angkatan yang berbeda, yaitu dari grade. Dengan kata lain, pada akhir semester nanti, mungkin saja aku akan berdebat atau bahkan satu kelompok dengan Kania atau Madeline bahkan Ad. 

Kelas ini adalah salah satu momok bagiku. Terus terang manusia seperti diriku ini, paling malas kalau diminta adu argumentasi. Namun apa boleh buat, harus aku ambil juga kelas ini, bahkan sejak aku duduk di grade 10.

Satu hal yang menyenangkan dari kelas ini adalah aku bisa bertemu dengan teman lain angkatan, dan lumayan buat "cuci mata". Apalagi dulu saat aku masih di grade 10, aku pernah satu kelompok dengan Luce dari 12. Manusia ganteng ini sempat menjadi idola di sekolahku, apalagi saat itu ia sudah putus dari pacarnya. Lumayan banyak yang iri saat aku sekelompok dengannya, karena aku sempat beberapa kali pergi dengan Luce untuk mempersiapkan ujian akhir semester kami saat itu. Ya, tapi Luce tak sedikit pun aku hiraukan. Bayangan Darwin masih seperti hantu yang gentayangan di hidupku. 

Sampai sosok Ad hadir di kehidupanku beberapa bulan yang lalu. Ad mulai bisa menggantikan Darwin yang sempat mengisi hari-hariku dulu. Dan Ad-lah, yang sudah seminggu ini menambah bunga-bunga di hatiku. 

Tak terasa aku dan Nerva sudah sampai di depan perpustakaan. Ad belum terlihat saat aku tiba di sana. Tak lama kemudian...

"Nis, sorry i'm in hurry, saya perlu pulang cepat. Bye."

"Ok. Bye, Ad."

"Loh Nis, kenapa dia buru-buru ya?"

"Gak tau gue Va. Biarin aja."

Setelah menunggu 10 menit di lobi sekolah, mobil yang dikendarai Pak Wito sudah tiba dan siap membawaku dan Kania pulang ke rumah. 

"Langsung pulang, Non?"

"Yupe."

Sampai rumah aku langsung menuju dapur seperti biasa, dan adikku menuju ke kamarnya, seperti biasa juga. Mengambil segelas susu coklat dingin dari kulkas, lalu aku bawa ke kamarku di atas. 

Setelah berganti baju, aku pun turun lagi ke dapur. Dan aku melihat Ales ada di sana, sedang makan siang, dan membaca majalah, tanpa ada Eline.

"Loh, Eline mana Les?"

"Ke muridnya sebentar di blok belakang."

"Dah lama?"

"Apa? Perginya?"

"Yupe."

"15 menit lah."

"Oh."

Lalu kami pun sama-sama diam. Sibuk menyendok dan mengunyah makan siang kami. Sampai Ales kembali bersuara.

"Nis, kamu sama Eline itu beneran kembar 1 telur?"

"Kata mama sih gitu yah. Kenapa emang?"

"Gak, kok beda ya. Cantikkan kamu."

"Gak lah, sama ajah."

Pernyataan yang aneh, dan mengandung banyak makna. Apalagi untuk seorang yang paranoid, penasaran, dan tukang khayal. Makna itu bisa jadi tak karuan. Namun pada akhirnya aku biarkan saja omongan si Ales tadi.

Selesai makan aku pun membawa piringku ke tempat cucian piring lalu mencucinya sendiri. Lalu begitu aku meletakkan piring di rak, dan membalikkan badan, tiba-tiba Ales sudah di depanku. Dan wajahnya sangat dekat denganku.

"Les, what are you doing?"

Pertanyaanku tak dijawab olehnya. Setidaknya tak dijawab dengan kata-kata verbal. Ales menciumku. Mencium bibirku, dan sedikit mengulumnya. Aku hanya diam, tak menolak, tak membalas ciuman itu. Hingga akhirnya ia aku dorong secara halus menjauh dariku.

"Please, don't do that to me anymore. You'll hurt Madeline"

"Dia gak akan tahu Nis. It's our secret, rite?"

"Yeah right."

Tanpa basa-basi, aku pun langsung berlari ke kamarku, mengunci pintu dan coba menghubungi Ad. Namun tak ada jawaban sama sekali. Aku bingung, panik tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Di tengah semuanya itu, akhirnya aku memutuskan untuk berganti baju, bersiap-siap pergi yang saat itu aku belum tahu tujuannya. 

Aku pun menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Mengambil sepatu dan kunci mobil, dengan lebih tergesa-gesa lagi. Ekor mataku sudah melihat ada Eline dan Ales duduk di sofa ruang tamu, saat aku sampai di bawah.

"Mau kemana Nis?"

"Pergi Line."

"Kemana?"

"Liat aja nanti."

"Oleh-oleh ya."

Setelah beres memakai sepatu aku pun keluar menuju garasi. Memasuki mobil dan pergi meninggalkan rumah. Marahku pada Ales, memuncak. Aku harus mengatakan ini pada Eline, tapi tak tahu harus bagaimana. Ia pasti tak percaya padaku. Bagi Eline, Ales yang selama ini "Mr. Perfect" tak mungkin bisa melakukan hal itu.

Akhirnya aku memutuskan untuk ke Pondok Indah Mall. Duduk di salah satu kedai kopi ternama, menenangkan diri dengan segelas Ice Caramel Macchiato, dengan ekstra karamel. Sembari duduk, aku pun mencoba menghubungi Ad di ponselnya. Namun tetap tidak diangkat.

Bengong, tak tahu lagi mau apa, akhirnya aku berjalan-jalan sendiri di pertokoan. Hingga saat kaki ini melangkah di depan kantor biro perjalanan. Berdiri diam sejenak dan kemudian aku memutuskan untuk memasukinya.

"Hmm Mas, 1 tiket pp dong buat besok pagi dan hari minggu, first flight and last flight ya."

"Kemana Mbak?"

"Bali. Maskapai apa pun. Langsung issued."

Tak perlu waktu lama untuk tiket itu sudah ada di tanganku. Jakarta-Denpasar 06.15 WIB, dan Denpasar-Jakarta 23.30 WITA.

06. Supir Baru

Rabu, 22 Oktober 2008 |

"Pagi Non. Tumben 'dah bangun dan 'dah rapi, ini baru jam 05.45 loh!"

"Morning, Mom. Iya, tadi tumben bisa bangun cepet."

"Pasti gara-gara tadi malam ya?"

"Hehehe, sepertinya sih. Eh, Ma, sarapan apa kita?"

"French toast aja ya sayang. Tuch udah Mama siapin di meja makan, sekalian susu segelas."

"You're the best mother in the world Ma."

"Really? Thank you, Darling."


Aku pun kemudian berjalan ke meja makan untuk menyantap sarapanku. Di meja aku sudah melihat sarapan pagiku dan juga koran hari ini. Aku sempatkan diri untuk mengintip sekilas berita yang ada di koran tersebut. Ya, begitulah, masih seputar masalah korupsi di negara ini yang sedang dicoba untuk diberantas. Dan masalah-masalah kemiskinan yang rasanya semua berawal dari korupsi yang dilakukan oleh banyak oknum sejak lama. 


"Hei, tumben Nis, kamu dah siap n sarapan!"

"Biasa Line, kalo lagi jatuh cinta emang beda."

"Did I miss something here?"

"Tanya saja sama kembaranmu. Kalian gimana siy, kembar kok ngga saling cerita."

"Eline, aja yang aneh Ma. Dia sendiri yang jarang cerita-cerita."

"Morning Ladies." Tiba-tiba Laura yang sudah dengan pakaian rapi, seperti hendak pergi ke suatu tempat, muncul dari tangga yang menghubungkan dapur dengan lantai atas.

"Mau kemana Ra?"

"Go swimming."

"Lah kenapa ngga di kolam belakang ajah?"

"Gak seru, ngga ada Darwin. "

"Loh?"

"Jangan curiga dulu. Tunangannya Darwin itu 2 hari lalu dateng. Tinggal di apartemen saudaranya Darwin. Nah, Darwin itu hari ini minta tolong aku ama Shana untuk bantuin nyiapin kawinan mereka nanti di US. Soalnya kita 'dah dianggep sodara, gitu katanya. Biar sore nanti dah selese, mendingan dari pagi sekalian. Dan kita mau berenang-berenang dulu di sana. Lagian Jakarta macet kalo sore-sore nanti."

"Oh. Eh salam ya buat Darwin."

"Buat Rana?"

"Aku belum kenal Rana kali Ra. Hmm, btw kawinannya di US ajah? Holy matrimony emang di sana semua. Resepsinya sekitar Maret atau April tahun depan, dan sepertinya di sini."

"Kamu pergi ama Shana, Ra?"

"Iya, Ma."

"Naik apa ya?"

"Good question. Pak Wito nganterin 3 tengil ini ke sekolah ya."

"Kalo gitu aku bawa mobil sendiri boleh?"

"Ra, SIM Indo kamu 'dah mati 'kan?"

"Aku bawa SIM US, n SIM internasional, Ma."

"Ya, sudah lah ati-ati."

"Shannnn...lama banget siy!" Tiba-tiba Laura teriak memanggil Shana yang sepertinya masih di atas."

"Duhhh..neng kenceng amat. Pengeng nih kuping."

"Laura, mau kemana? Mau langsung berangkat? Kamu tega Shana pergi tanpa sarapan? Duduk dulu, biar dia sarapan."

"Sorry Mom, i forgot."

"Shan, your toast is already on the table."

"Thanks Mom."

"Wuih, lengkap niy pagi-pagi di dapur." Papa yang juga sudah rapi, datang dari arah pintu yang menghubungkan ruang tamu dan dapur.

"Iya, ada keriaan apa nih. Family gathering?"

"Buruan sarapan Kania, kakak-kakakmu 'dah pada siap tuch."

"Masih jam 06.00 Ma, masih lama."

"Hmm..Nisya. By the way, tadi malam dapet hadiah apa dari Ad?"

"What? You got something from Ad?" Si kecil kaget mendengar kalimat itu.

"Did we missed something here Mom, Dad?"

"Ah, Papa, payah dech, langsung semua tau 'kan."

"Cerita lah Nis."

"Iya, aku dapet sepatu. Oleh-oleh dari Ad. Dia beli waktu di London gitu."

"Loh, dia inget-inget kamu juga waktu liburan di sana?"

"Iya Ra, ngga nyangka deh."

"Terus-terus Nis."

"Dia bilang selama di sana memang dia kepikiran terus sama aku. Kangen katanya."

"Cieeee."


Tiba-tiba aku lihat 4 saudaraku yang perempuan semua itu, berhenti dari segala aktivitas yang mereka lakukan saat itu, dan memasang telinga mendengarkan ceritaku. Rasa penasaran mereka sepertinya sedang berada di puncak, dari segala rasa ingin tahu mereka yang lain.


"Ya, kemarin itu dia dateng, bilang kalo dia tertarik sama Asti cuma secara fisiknya aja, bukan sampe ke hatinya."

"Woooww, seneng dong ya kamu Nis."

"Seneng lah. Sedikit berbunga-bunga aku."

"Terus mana-mana sepatunya, kok ngga dipake."

"Hahahahha, itu dia, agak aneh di situnya. Ad cuma ngasih sepatu 1 biji. Yang kanan doang."

"Yang bener Nis?"

"Masakh aku boong Na. Beneran cuma kanan."

"Terus kamu ngga nanya."

"Gengsi Line, nanya-nanya. Tunggu aja ntar dia maunya apa."

"Jangan-jangan satu lagi ketinggalan di toko pas belinya, Nis."


Dan semua serentak tertawa mendengar si kecil Kania yang tiba-tiba menimpali.


"Sudah 06.20 niy. Ma, aku ama Laura pergi dulu ya."

"Careful sweetheart. Give me a kiss."

"Love you Darling."

"Bye Dad. Love you too."


Tiba-tiba bel rumah berbunyi. Semua yang tersisa di dapur tidak ada yang beranjak. Sepertinya tak ada yang perduli dengan bunyi bel itu. Dan kita berpikir, di depan pasti ada pak Wito yang biasanya sedang menyiapkan mobil untuk mengantar kami sekolah, dan kali ini ditambah, pasti ia sedang membantu Laura dan Shana yang hendak pergi membawa mobil sendiri.


Dan tak lama kemudian, Ales muncul dari pintu arah ruang tamu.

"Morning everyone."

"Morning Les. You're doing great?"

"Never better, Sir."

"Hi, honey, kok ngga bilang-bilang mau jemput aku?"

"Surprise dong."

"Udah sarapan Les?"

"Udah Tante."

"Mau teh aja?"

"Biar aku buat sendiri aja Tan, boleh ya?"

"Boleh banget."


Sekilas, keluarga ini memang tampak bahagia, keluarga ideal, jauh dari masalah. Memang semuanya seperti itu, tapi bukan berarti keluargaku tak pernah sama sekali terbebas dari masalah. Orang tuaku nyaris berpisah saat kami masih kecil-kecil dulu. Namun niat itu kemudian diurungkan oleh kedua orang tuaku. Mereka membenahi diri, membenahi rumah tangga, dan cinta kepada kami, 5 orang anak perempuan mereka lebih diprioritaskan dari segalanya. Dan itu berhasil. Aku pun bersyukur bahwa keluarga ini tak jadi hancur berantakan. Saat ini pun aku berdoa dalam hati, semoga kami akan seperti ini selalu.


Dan tak lama, setelah aku berhenti melamun sebentar, aku kembali mendengar bunyi bel rumah. Seperti tadi, satu pun dari kami tak ada yang menggubris bunyi itu. Bahkan tak ada yang beranjak ke ruang tamu.


Namun tiba-tiba Mbak Marni, membukakan pintu dapur sambil berkata kepada seseorang.

"Masuk aja Mas, Mbak Nisya di dapur."


Aku kaget, bahkan hampir tersedak susu yang rencananya akan aku minum. Kagetku bertambah lagi, ketika aku melihat Adrian sudah berdiri di depanku. Aku tak bisa berkata apa pun, dan bergeming. 

"Morning everyone. Nisya."

"Morning Adrian. Nice to see you here again."

"Saya juga Oom."

"Breakfast Ad?"

"Already, Mam."

"You want to pick up Nisya?"

"Ya, kalau boleh, Tante, Oom."

"Great. So Pak Wito, pagi ini jadi supir pribadiku."

"Enak bukan, Kan?"

"Bener juga ya Line."

"Boleh Ad. No problem."

"Hei, ini sudah setengah tujuh lewat lima loh. Pada berangkat sekolah gih."

"Yuk Les, kita berangkat."

"Yuk. Dag Tante."

"Careful ya Les."

"Will do."

"Bye Mom. Bye Dad."

"Bye Kan."

"Nisya, shall we go now?"


Dan aku masih tak menjawab. Rasa kagetku juga belum habis sepertinya. Aku baru terkesiap setelah Adrian memanggilku dengan suara sedikit lebih keras daripada sebelumnya.

"Nisya, shall we go now? Right now! We're almost late. It takes 40 minutes to get to school."

"Sure, Ad. Pa, Ma pergi dulu ya."

"Tante, Oom, pamit dulu ya."

"Careful Nis, Ad."

"You can count on me, Sir."

"By the way Ad, kamu nyetir sendiri? Sudah punya SIM Jakarta dan tidak bingung nyetir di sini?"

"Udah dong. Saya cepat adaptasinya Nis."

"Ok. Lalu ada apa jemput saya di rumah hari ini?"

"I already missed you."


Dan semua itu hanya aku balas dengan senyumanku saja, karena aku tak tahu mau menanggapinya seperti apa.

05. From London With Love

Sabtu, 18 Oktober 2008 |

Berlari menaiki anak tangga menuju kamarku, tak akan membuatku terpeleset, apalagi dengan perasaan tak sabar membuka kotak oleh-oleh yang diberikan Ad padaku tadi. 


Kotak itu sedikit besar, dari luar menyerupai kotak sepatu, dan aku sedikit yakin bahwa itu memang sepatu. Dan tebakanku ternyata benar. Ia memberikan sepatu untukku, walau hanya satu buah. Ya, hanya satu buah, tepatnya hanya yang sebelah kanan di dalam kotak itu. 


Walaupun aku hanya mendapatkan satu buah, tapi aku suka sekali dengan sepatu itu, dan sangat pas di kakiku. Sepatu mary jane, dengan hak sekitar 3 cm, dengan bagian depan berbentuk kotak, dan bermotif kotak-kotak ala Skotlandia. 


"Tapi kenapa cuma yang kanan ya?"


Tak lama kemudian, aku melihat ada satu buah amplop di dalam kotak itu. Kartu ucapan menurutku. Tak sabar aku buka amplop itu, dan kali ini aku benar lagi. Ada sebuah kartu di dalam amplop. Gambar kartu itu, memang sama sekali tak menarik, tapi ucapan di dalamnya yang menurutku sangat menarik.


"
For the girl who always in my mind. For the girl who i miss when i'm here. From London with love, Adrian."


Tetap tak ada penjelasan sedikit pun, mengapa ia hanya memberiku satu buah sepatu, yang berarti walaupun aku suka, aku tak akan bisa memakainya.


Rasa penasaran itu tak membuatku bergerak mengarahkanku untuk mengambil telepon, dan menghubungi Ad. Semua itu, karena rasa gengsiku yang sangat besar. 


"Biar aku tunggu saja. Gengsi!"


Lalu aku coba tertidur dengan senyum simpul di bibirku. 


"He made my day."


04. Cerita Ruang Tamu

|

Puas berbelanja tak membuatku bisa berhenti lama untuk tak memikirkan Adrian. Setelah 3 tahun sendiri, aku mulai bisa membuka kembali pintu hatiku yang telah lama tertutup rapat. Berkutat dan menuliskan sesuatu di lembaran-lembaran blog yang aku miliki, serasa percuma, tak sedikit pun menghibur hatiku yang rasanya tak menentu. Blog itu tak cukup untuk menumpahkan seluruh rasaku. Di tengah gundah dengan khayalanku yang tak menentu itu, tiba-tiba...


"Nis, buka pintunya, ini aku."

"Kenapa Line."

"Buka dulu dong. Sombong amat."

"Hmmm, ada Adrian tuch di ruang tamu."

"He? Jam segini?"

"Udah jangan nolak, buruan turun."


Sontak kaget aku dibuatnya. Jam dinding di kamarku sudah menunjukkan pukul 21.30. Tanpa berpikir panjang lagi, aku turun melalui dapur. Dan kebetulan ada mama di sana. 


"Oh, jadi itu ya Nis, gebetanmu?"

"Gak bisa digebet Mam, dia naksir orang lain."

"Lah, kalo naksir orang lain, kenapa malem-malem gini dia nemuin kamu ya?"

"Gak tau juga ya. Mudah-mudahan dia mulai naksir aku, hehehehe."


Sesaat aku buka pintu dapur, aku langsung melihat Adrian dengan balutan kemeja kotak-kotak biru berlengan panjang yang digulung, dan menggunakan celana jeans yang jatuhnya sangat keren di tubuhnya. 


"Hai, Ad. What's up?"

"Do you have time?"

"Ya, for you? Sure. But by the way, bukannya kamu rencananya tadi mau pergi dengan Asti?"

"Sudah, ia baru saja saya antar ke rumahnya."

"Lalu?"

"Lalu, saya mampir sebentar ke rumah kamu. Tak apa 'kan?"

"Nope. No problem."

"Sebenarnya saya mau mengajak kamu keluar rumah malam ini."

"Saya baru saja pulang Ad. I'm tired. Jadi kita ngobrol di rumah saja ya?"

"Ya, i don't mind. By the way, your house is so nice."

"Thanks."

"Nis, what do you think about Asti?"

"You ask me that question?"

"Ya, why?"

"I don't know, i think i'm not the right person to answer that."

"Why?"

"Saya tidak kenal Asti secara mendalam, Ad. Saya belum pernah bicara panjang lebar dengan dia. Jadi kalau kamu tanya pendapat saya tentang dia, i'm afraid, i can not answer it."

"Kamu tahu khan Nis, saya sudah beberapa kali jalan dengan Asti?"

"Ya, hanya dari beberapa cerita kamu."

"Sejak pertama kali saya bertemu Asti, hingga hari ini, sepertinya saya hanya menemukan ketertarikan dengannya secara fisik, Nis."

"Oh ya? Maksud kamu, dari cantiknya dia dan penampilannya?"

"Betul sekali, tapi selebihnya, dia tak membuat saya tertarik lagi."

"Kamu yakin?"

"Sampai saat ini saya yakin. Dan itu sudah saya rasakan sejak saya masih di London liburan kemarin. Rasa rindu ingin cepat kembali ke Indonesia, bukan karena Asti, bukan karena saya sudah janjian ingin foto-foto dengannya sepulangnya saya dari London. Hal itu terbukti Nis, dari dua kali terakhir ini saya pergi dengannya, dan saya merasa semua biasa saja."

"Itu cuma perasaan kamu Ad, sepertinya."

"Sepertinya bukan Nis. Saya yakin itu."

"Oh."


Aku pun hanya bisa menanggapinya dengan kata terakhir itu, kata yang menunjukkan bahwa aku telah kehabisan kata-kata untuk memberikan respon padanya. 


"By the way Nis, i have something for you. I bought it in London."

"Really, for me?"

"Ya, and hope you like it."

"What's this."

"No, don't open it now."

"Why?"

"Saya malu, Nis. Lebih baik kamu buka itu di kamar, nanti."

"Okay, will do, tapi saya sudah tak sabar."

"Ya sabar sebentar lagi. Saya juga sepertinya mau pamit. Sudah malam. Dan besok kita masih harus sekolah 'kan?"

"Okay."

"Saya pamit ke mamamu boleh?"

"Sebentar ya."


Aku pun melangkah ke dapur sambil penuh senyum, mencari tahu apakah mama masih berada di sana atau tidak. Dan ternyata ia memang masih di sana, menyiapkan kira-kira apa yang akan di masaknya besok pagi untuk sarapan kami. 


"Ehmm, ceria sekali Nis mukamu."

"Hehehe, Ma, Ad mau pamit tuch."

"Ok. By the way, nanti cerita ya ada apa tadi di ruang tamu."

"Hehehehehe."


Lalu kami berdua pun melangkah menuju ruang tamu. 


"Yes Ad, you want to go home?"

"Yes Mam. Terima kasih sudah boleh mampir."

"No, Ad, I thank you for making my daughter so happy today. Isn't it Nis?"

"Absolutely Mom."


Aku jawab pertanyaan mama tadi dengan sedikit nada kesal, karena mama telah membuka "aib" anaknya sendiri. Dan sesampainya kami di pintu keluar, dan baru saja ingin membuka pintu tersebut, tiba-tiba ada seseorang yang sudah membukanya dari luar. 


"Halo, Cinta."

"Daddy, miss you a lot Dad. Payah dech kemarin ngga ketemu."

"Papa pulang kamu sudah masuk kamar sepertinya."

"Bisa diketuk gitu."

"Ah, ngga sabar ketemuan mamamu di kamar."

"Huh. Payah."

"Terus, ini siapa Nis? Cocok sepertinya sama kamu."

"This is Adrian. Adrian this is my father."

"Nice to meet you, Sir."

"Me too, Ad. You already want to go home?"

"Unfortunately yes."

"Okay, careful rite?"

"Sure, coz I still want to see Nisya at school tomorrow. Selamat malam semuanya." 

"Me too Ad. Nite."

"Bye, Nis. See you tomorrow."


Sesaat aku menutup pintu...


"Hey, you two guys, give me a hug. I'm happy today."

"We know dear."

"Love you Mom, Dad. Aku naik dulu ya. Eh by the way, Mom?

"Yes."

"I think he's gonna be my gebetan from now on."