16. Here, Sleepy Head

Sabtu, 22 Agustus 2009 |

Meja makan sudah bersih kembali seperti semula, begitu kami berdua selesai makan siang.

"Ke mall aja yuk, Ad."

"Males ah, pasti rame. Di sini aja boleh? I just wanna spend this whole day with you, Gorgeous. Lagipula sofa kamu ini terlalu enak untuk ga digunakan."

"Terus kalo kita dah duduk gini, ngapain? Liat tivi kosong gitu? Gak nyetel apa-apa?"

"Dah setel CD aja, kamu punya banyak koleksi lagu 'kan? Males nonton tivi juga aku."

"Kamu lagi banyak malesnya ya?"

"Gak, aku ga males untuk ngabisin waktu sama kamu."

"Eh kamu mau aku ambilin minum? Mau apa?"

"Boleh, jus mangga yang ada di kulkas aja, Sayang."

"Ikut-ikut aja kamu."

"I can read your mind then."

Kami duduk terdiam untuk beberapa detik di sofa yang aaahhh...tak dapat didefinisikan-lah bagaimana nyamannya sofa itu, hingga terdengar suara Ad yang memecah keheningan saat itu.

"Hmm..bagus nih lagunya yang kamu pasang. Is it about me? Is it the same, what is in that song dan artinya aku untuk kamu?"

"What do you think?"

"I don't know, you tell me!"

"Tanpa aku bilang pun kamu dah tau artinya kamu untuk aku, Ad?"

"Ya, I know, itu cuma pertanyaan retoris sepertinya."

"Ad, may I ask you something?"

"Ya, sure."

"Kenapa aku? Dan kenapa kamu beralih dari Asti ke aku?"

"Dunno. Kamu beda. Dan rasa sayang aku ke Asti ga sebesar rasa sayang aku ke kamu."

"Wow."

"If you only knew it, Sweetie."

"Thank you. Man, sitting here beside you make me sleepy."

"Give me that pillow."

"Hah?"

"Iya, ambilin bantal itu untuk aku."

"Nih..."

Dan aku melihat Ad menata bantal yang aku berikan padanya di atas pangkuannya...

"Here, Baby. It's my own pleasure, bisa liat kamu tidur di pangkuanku."

"Ga pegel?"

"Ga. Sleep here sleepy head!"

Dan aku pun dengan mudahnya terlelap tidur di pangkuannya.

15. Oooopppsss...Rahasia

Rabu, 10 Juni 2009 |

Matahari semakin meninggi, dan kulit kami berdua sudah mulai gosong. Akhirnya aku dan Ad, memutuskan untuk mentas dari kolam renang, dan kembali ke kamar.

"Kamu mau mandi sekarang, Ad?"

"Hmmmm, ditemenin kamu?"

"Sembarangan ngomong!"

"Heheheheh, iya, aku mau mandi sekarang."

"Aku siapin handuknya dulu ya."

"Gak perlu, pake yang tadi aku pake aja. Nanti kamu nyucinya repot."

"Oh, ya sudah."

"Aku pake kamar mandi luar aja, Nis. Kamu juga mau mandi 'kan?"

"Yup."

Kami pun akhirnya mandi, sayangnya masih tidak boleh di satu kamar mandi yang sama, dan pada waktu yang sama pula. Bukan tidak boleh, tapi aku yakin kami berdua sama-sama mengontrol diri.

"Heh, bego kumatnya...ngomong apa sih loe, Nis?!"

Seperti biasa, aku hanya membutuhkan waktu sekitar lima belas menit untuk mandi.

Bebarengan dengan aku membuka pintu kamar mandi di kamarku, aku sudah mencium aroma masakan lezat dari arah luar.

"Hah, jangan-jangan Ad masak."

Hanya perlu empat, lima langkah saja, aku sudah sampai ke ruang makan, dan sugah disuguhi pemandangan serta aroma lezat dari kornet telur goreng kesukaanku, teh manis hangat, dan sepiring nasi yang sudah terhidang di atas meja makan.

"Eh, kok kamu tahu aku suka ini semua?"

"Ada deee."

"Tahu dari mana? Ini makanan favoritku, kalau di rumah lagi gak ada makanan dan aku malas masak."

"I just know it, Hon. Ya udah, makan siang dulu, yuk."

"Kenapa gak makan masakan dari Tante Yuki?"

"Buat makan malem aja ya."

"Kamu di sini sampai malam?"

"Iya donk, nemenin kamu."

"Memang ada yang ngijinin?"

"Gak boleh ya?"

"Gak."

"Gak peduli."

"Sial!"

"Itadakimasu."

"Selamat makan juga."

Selama di meja makan, kami tak banyak bicara, malah lebih sering, saling menatap, dan sesekali diiringi dengan senyum simpul kami berdua yang mengandung makna bebas nan menyebalkan.

"Kamu kenapa sih ketawa-tawa terus sambil ngeliatin aku, Ad?"

"Gak ada apa-apa. Kayak kamu gak ketawa-tawa sambil ngeliatin aku."

"Ya, pastinya aku ketawa-tawa karena mikir kamu sih."

"Kok?"

"Ada deee."

"Gitu, balas dendam?"

"Iya."

"Ok, tunggu pembalasanku lainnya."

"Gak takut! Hehehehhe."

"Eh, Nis, by the way dari tadi aku mau tanya, bunga dari siapa sih? Kok bagus?"

"Dari kamu 'kan?"

"Ihhh, GR kamu, sembarangan ngomong! Tapi bagus bunganya."

"Iya emang bagus, aku suka, tapi gak tau tuh, gak ada nama pengirimnya. Aku takutnya sih dari Ales."

"Kenapa bisa bilang gitu? Kok Ales?"

"Ooopss, aku keceplosan."

"Kenapa Nis, something wrong?"

"Iya sih. He's the reason I went to Bali, and also the reason why I decided to move here."

"Ales? Alasan kamu pergi waktu itu dan pindah ke sini?"

"Iya."

"Why?"

"Awalnya dulu banget, waktu Ales baru aja pacaran sama Madeline, dia belum bisa bedain aku sama Eline. Waktu itu dia lagi nunggu Eline pulang, tiba-tiba aku gak lihat dia lagi nunggu, aku lewat aja di depan dia, dia kira aku itu Eline. Dia meluk aku dari belakang. Dan dia ngerasa salah banget waktu itu, malu juga kayaknya."

"Terus, itu awalnya?"

"Iya, terus kejadian yang hampir sama, keulang. Sebelum aku pergi ke Bali itu. Dia lagi nunggu di dapur. Nunggu Eline yang lagi ngajar anak tetangga. Kami berdua akhirnya makan siang bareng. Nah, pas aku habis ngeletakkin piring di cucian piring, dan balikkin badan, tau-tau dia di belakangku and he kissed me. Dan saat aku ngingetin dia tentang Madeline, dia bilang Madeline gak akan tahu hal ini. Dia bilang ini rahasia aku sama dia."

"What the..."

"Yupe. Sampai sekarang aku belum cerita ke Madeline. Sempet mau cerita, tapi saat aku ngobrol sama dia, dan dia bilang dia akan lebih percaya ke Ales daripada ke aku, jadinya aku belum cerita deh."

"Damn!"

"That's why kemaren aku lebih milih ngambil HPnya Madeline ke parkiran nyusul kamu, pas ngambil kartu, daripada aku harus berdua sama Ales di sini, dan dia itu keliatan banget niat nganterin aku pindah-pindahan, plusssss...tadi pagi dia telpon aku and maksa mau ke sini, tanpa Madeline. Aku bilang aja, aku mau pergi, jalan bego. Terus aku tutup teleponnya."

"You should tell Madeline about it."

"Pasti, Ad. Aku tinggal tunggu waktu tepat aja buat cerita ke dia."

"Jadi Ales dah pernah kissed your lips juga?"

"Unfortunately, yes!"

"Sial, gue keduluan! Hahahahaha."

"Brengsek!! Hahahaha."

14. Sekian Detik

Minggu, 03 Mei 2009 |

"Duh sapa lagi niy, telpon-telpon. Iya-iya bentar lagi jalan ke kamar ngambil hp. Sial, si Ales pulakh. Angkat ngga ya?"

Aku pun sempat berpikir beberapa detik sebelum akhirnya...

"Ya, Les, kenapa?"

"Eh Nis, aku ke apartemenmu ya?"

"Sama Elien? Ngapain?"

"Ngga. Sendirian."

"Ngapain, 'kan kemaren malem elo baru dari sini."

"Main lagi aja, apartemenmu enak soalnya."

"Duh, Les, aku juga bentar lagi mau pergi. Mau jalan bego sendirian."

"Aku temenin ya."

"Dibilangin jalan bego sendirian, ya sendirian. Tanpa temen."

"Mau jalan sendirian atau sama Ad?"

"Les, none of your business anyway. Udah ya, gue mau siap-siap pergi nih."

Aku pun kembali menuju ke ruang tengah, melanjutkan kenikmatan duduk-duduk sendiri di ruangan itu. Dan aku berpikir sesuatu. Sesuatu yang sepertinya memang harus aku lakukan...

"Pagi, Mbak. Ini dengan Nisya dari A1802."

"Ya, Mbak Nisya."

"Ini dengan Mbak siapa ya?"

"Dengan Nata."

"Mbak Nata yang tadi malem jaga juga?"

"Iya, Mbak. Ada apa?"

"Gak, Mbak. Mbak Nata masih inget mukanya kembaran saya dan pacarnya 'kan?"

"Masih, Mbak."

"Saya boleh minta tolong ya. Kalo pacarnya kembaran saya ke sini sendirian, tanpa Elien kembaran saya, tolong jangan langsung dikasih izin naik ya. Tolong telepon saya dulu, dan tolong beritahu yang lain juga."

"Oh, baik, Mbak. Nanti saya sampaikan ke security juga."

"Ma kasih, Mbak."

Kembali memandangi layar kaca yang ada di depanku. Dengan acara teve yang sebenarnya cukup menghibur. Namun tetap saja, aku adalah manusia paling malas berjam-jam di depan televisi.

Lantaran bingung ingin berbuat apa, akhirnya aku mengambil laptopku tercinta dan mulai memeriksa akun-akun surat elektronikku yang sudah dua hari tidak aku buka, karena sibuk pindahan.

Semua urusan memeriksa blog, surat elektronik, telah selesai kurang dari satu jam. Tak seperti biasa memang. Dan laptopku itu sudah tersimpan rapi sekarang.

Berjalan ke arah beranda, melihat langit cerah, bahkan sangat cerah membuat niatku untuk pergi jadi hilang. Mungkin karena lelah, atau mungkin masih diliputi rasa senang yang luar biasa menikmati apartemen baru.

Akhirnya aku memutuskan untuk berganti pakaian renang, dan pergi beranjak ke kolam renang di apartemenku.

"Itung-itung olah raga lah, sambil menikmati kolam renang baru. Hihihihi. Jadi item dikit tak masyalah."

"Nisya, Nisya, hobi banget si loe ngomong sendiri."

Hanya membawa kunci kamar dan baju handuk, aku pun berjalan menuju kolam renang. Menikmati Minggu pagi yang sangat cerah, yang cukup membuat kulitku sedikit berubah warna setelah berenang nanti. Rasa tak sabarku segera membawa diri ini tanpa berlama-lama menyebur ke kolam renang, sesampaiku di sana.

Namun tak berapa lama aku sedang menikmati nikmatnya tubuh yang direndam air, tiba-tiba petugas kolam renang menghampiriku...

"Mbak, Nisya. Ada tamu di lobi. Temennya Mbak Nisya katanya. Adrian."

"Saya terima teleponnya dulu deh Mbak di ruang locker."

Telepon dari resepsionis membuatku terpaksa beranjak keluar dari kolam renang.

"Yes, Ad."

"Hai, kamu lagi berenang, Nis?"

"Yupe. You want to join? By the way, are you at lobby?"

"Yes, I am here."

"Ya udah ke pool dulu ya. Aku tunggu. Bisa tolong kasih teleponnya ke resepsionisnya?"

"Okay."

"Mbak, ngga papa, tolong tunjukkin jalan ke kolam renang. Ma kasih."

Dan aku pun kembali menceburkan diri ke kolam renang. Baru sekitar 5 menit aku bergerak di dalam air, dan pada saat aku mengambil napas, aku sudah melihat Adrian, yang super ganteng di pinggir kolam.

"Morning, Handsome."

"Morning, Gorgeous. Kamu masih lama berenang?"

"Masih. Aku baru aja mulai, Ad."

"Oh, kalo gitu boleh pinjem kunci?"

"Untuk?"

"Ini ada titipan dari mama untuk kamu. Makanan. Katanya untuk makan malem."

"Ooooh yaa? Waah terima kasih Tante Yuki. Ya udah, kamu ke locker room, buka locker A1802. Nomor kunci lockernya 1828. Jangan lupa dikunci lagi ya."

"Okay."

"Kamu nanti ke sini lagi 'kan? Hei, you bring swimwear?"

"Nope. I didn't plan to swim."

"Kamu beli aja di resepsionis kolam renang gih. Temenin aku berenang dounks. Mereka jual baju renang yang bagus kok."

"Hmmm, oh ya. Okay lah kalo gitu."

"Kalo perlu baju anduk, cari di lemariku. Anduk sini ngga boleh dibawa naik."

"Will do, Sweetie."

Sekitar lima belas menit kemudian, Ad sudah kembali dan sudah mengenakan baju handuk milikku, yang memang ukurannya cukup untuk siapapun. Dan bisa dipastikan dalam sekejap ia sudah berenang bersamaku.

Sesekali kami berdua mengobrol, setelah menyelesaikan beberapa putaran. Membicarakan banyak hal. Termasuk ia menanyakan alasan mengapa waktu itu aku tiba-tiba pergi ke Bali seorang diri dan mendadak. Namun pertanyaan itu tak aku jawab. Biarlah itu menjadi rahasiaku dan mama tentunya.

Hasil analisa Ad aku akui cukup tajam, ia melihat adanya korelasi antara kepergianku ke Bali saat itu, dan kepindahanku ke apartemen, yang semuanya secara tiba-tiba dan terkesan terburu-buru...

"Bener 'kan Nis, pasti ada hubungannya antara dua hal itu?"

"Kok kamu bisa bilang gitu, Ad?"

"Feeling aja."

"Someday you'll know. Or I'll let you know."

"Hmmm, Nis."

"Yes."

Dan sedetik kemudian, sedetik setelah aku memalingkan kepalaku menghadapnya, kedua bibir ini sudah bertemu. Saling mengulum untuk sekian detik.

"If you only know, Sweetheart. I love you."

Dan pernyataan itu tak berani aku jawab sama sekali.

13. Hari Ini Bukan Hari Kasih Sayang 'Kan?

Kamis, 19 Maret 2009 |

"Ah, baru kerasa niy sepinya. Tanpa teriakan Kania yang biasa membuatku terbangun, tanpa bantingan pintu si Elien, yang sangat jarang bisa menutup pintu tanpa menimbulkan suara gaduh."

Melangkahkan kaki keluar kamar, semakin menyadarkanku akan kesendirianku, sesaatku melihat ke sekeliling dan tak aku temui kehadiran keluargaku. Kesendirian yang biasanya merupakan surga bagiku, tetapi tidak kali ini.

"Sepinya."

Namun semua itu hanya aku simpan di dalam tekad bulatku untuk merasakan hidup mandiri.

"Saatnya nge-teh."

Segelas teh hangat yang memang sering menjadi bagian menu sarapan pagi, yang biasanya disiapkan oleh Mama, kini aku siapkan sendiri. Tak ada aroma margarin yang dilelehkan di penggorengan, untuk memasak telur acak, yang biasanya membuat harum dapur, sama seperti saat Mama memasakkan sarapan untukku.

"Katanya mau idup mandiri, Nis."

"Biasalah, hari pertama ngerasain hidup tanpa keluarga."

Ya, kira-kira begitulah "obrolan" ku dengan diriku sendiri.

Segelas teh hangat sudah di tangan, sepotong roti sudah siap aku santap, sembari membaca majalah favoritku. Namun tak berapa lama, telepon apartemenku berbunyi, dan aku tahu dari layar, bahwa yang menelepon adalah resepsionis apartemen.

"Pagi, Mbak Nisya."

"Pagi."

"Mbak, ini ada kiriman, mau kami antar ke atas saja, atau Mbak Nisya akan ambil ke bawah?"

"Tolong antar ke atas boleh Mbak?"

"Boleh, kalau begitu sebentar lagi kami kirim ke atas."

"Terima kasih, Mbak."

Aku pun kembali duduk manis di sofa, di depan televisi. Dan sembari aku menggigit roti, aku berpikir "Kiriman apa lagi hari gini? Siapa yang ngirim?"

Rasa penasaranku ternyata tak lama. Jawaban itu akan aku ketahui sesaat aku membukakan pintu, sebagai respon dari bunyi bel yang baru saja aku dengar.

"Pagi, Mbak. Ini kirimannya."

"Hmmm, siapa yang ngirim tadi, Mbak?"

"Tadi sih yang terima teman saya, tapi sepertinya saya lihat dari jauh, yang ngirim juga tukang kirim gitu Mbak. Terus kata teman saya, orangnya bilang, nama pengirimnya ada di dalam amplop itu."

"Oh, ya sudah kalau begitu. Terima kasih ya."

Seingatku bulan ini bukan ulang tahunku, bukan juga hari kasih sayang, dan tak ada peristiwa penting lainnya. Satu buket besar penuh dengan bunga mawar yang kelopaknya memiliki dua warna yaitu putih bercampur merah muda, yang merupakan bunga kesukaanku, kini aku pegang. Tak sabar aku buka amplop yang menyertai kiriman itu.

"Dan kamu adalah bintang terakhirku, Nisya."

Dan lagi, di amplop itu tidak ada nama pengirim.

"Bagaimana manusia ini bisa tahu persis bunga kesukaanku ya? Aku tak pernah cerita pada Ad, atau bahkan pada Ales. Yang tahu jenis bunga favoritku ini, hanya Darwin, mantan pacarku waktu aku di Amerika dulu. Bodokh ah, bagus bunganya. Ntar aja pikirin lagi siapa yang ngirim."

Tanpa pikir panjang, akhirnya aku mengatur bunga itu ke dalam jambangan, dan kembali sibuk mengunyah roti, dan menyeruput teh hangat yang belum habis. Dan...

"Ah, sial, makin penasaran khan aku."

12. Malam Pertama

Minggu, 15 Februari 2009 |

Duduk termenung sendirian di beranda apartemenku, dengan ditemani segelas cappucino hangat buatanku sendiri, membuatku merasa berada di surga. Tak ada yang lebih indah dari kesunyian untuk seorang introvert seperti aku.

Tak kuhiraukan lagi angin malam yang menerpa tubuh ini, walau tak ada selembar cardigans ataupun jaket yang menyelimutiku. Tak ingin rasanya aku lewati malam pertama ini. Merasakan hidup sendiri. Mencoba menata diri dan menapaki jalan hidup yang lebih dewasa.

Tak pernah aku dapati pemandangan seperti malam ini. Setidaknya tak kudapati dengan sepenuh jiwa. Hamparan lampu dari gedung-gedung pencakar langit tepat di depan mataku, dan kilau lampu jalanan, serta lampu mobil yang menyilaukan saat aku menundukkan kepala. Tak berhenti sampai di sana rasa takjub ini, saat kepala ini terangat, mendangak, ribuan bintang tersenyum, berkerling, bermain mata, seakan ingin bercumbu dengan sang bulan, tak peduli mereka akan terlihat jelas, dengan pekatnya langit yang berada di belakangnya.

Dinginnya malam memutuskanku untuk meninggalkan beranda dan berhenti berkhayal. Berkhayal aku menari di antara bintang, tak pedulikan sakit, tak rasakan cemas. Khayalku pun pergi semenit kemudian, terganti dengan cinta. Cinta akan perih, sakit yang sering aku cari, yang sebenarnya aku pedulikan.

"Aah sudahlah, aku akhiri saja renungan tak pentingku malam ini. Biar sisa malam pertama ini, aku nikmati dengan tidur."

Takjubku malam ini pun bertambah satu. Sebuah amplop kecil berwarna jingga, tergeletak di atas tempat tidur. Dalam hitungan detik, amplop itu pun sudah ada di tanganku, dan aku buka.

"Aku hanya perlu satu bintang, untuk menjadikanku bintang terakhirnya."

Satu kalimat yang membuatku terbang tinggi. Tak lagi seperti anak burung yang baru belajar bagaimana mengepakkan sayap-sayap kecil mereka.

"Hmmm, tapi tunggu dulu, siapa yang mengirimkan ini ya? Ngga ada nama pengirimnya pula. Tulisan tangannya pun tidak seperti tulisan tangan Ad, ataupun Ales, dan tadi waktu aku datang amplop ini belum ada di sini. Aku harap bukan dari Ales yang pasti. Sial bikin orang penasaran."

11. Hari Terakhir

Sabtu, 10 Januari 2009 |

"Nis, hari ini pindah-pindahanmu terakhir ya?

"Yupe. Tinggal dikit lagi barang-barangku yang belum aku bawa."

"Kita berdua bantuin kamu ya."

"Kalian berdua ga mau pergi kemana gitu?"

"Nope. We are going to miss you, Nis."

"Iya, Nis. Aku setuju sama Ales, kita berdua bakal kangen kamu 'kan."

"Madeline, kita masih satu sekolah 'kan, dan aku masih bakal sering ke rumah juga. Lagi pula Adrian mau bantu aku sih. Aku lagi nunggu dia sebentar lagi. Aku ga mau bikin repot kalian."

"Please Nis, please."

"I hate your face, kalo kamu lagi ngerayu aku kayak gini, Line."

"I know, berarti boleh 'kan."

"Gitu dong Nis, 'kan jadinya aku tahu apartemen kamu juga."

"Hmmm, Eline 'kan sudah tahu Les, kamu tinggal jemput Eline kalo mau ke apartemenku."

"Okay."

Eline, Ales dan Ad pun akhirnya pergi menemaniku pindahan ke apartemen. Tak besar memang, tapi cukuplah bisa membuatku lebih mandiri. Hidup tanpa keluarga. Dan sesampainya kami di sana...

"Pelan-pelan Ad, bisa ngangkatnya? Berat 'kan?"

"Sini-sini aku bantuin."

Melihat wajahnya yang memerah karena kepanasan setelah beberapa kali naik turun mengangkat kardus demi kardus yang berisi barang-barangku, membuatku gemas. Lucu.

"Capekh, Ad?"

"Lumayan."

"Aku buatin minum ya."

"With my pleasure, Hon."

"Capuccino ya."

"Ice please."

"Untuk kamu apa siy yang ga, Ad."

"Buat kita berdua juga donk Nis."

"Kalian? Air putih aja ya."

Sambil aku membuatkan minum untuk mereka bertiga, aku melihat Ales berkeliling apartemenku. Ia membuka 2 kamar yang sudah tertata rapi sebelumnya. Tak lama kemudian ia pun kembali ke ruang tengah.

"Apartemennya enak Nis. Ngaturnya juga bagus."

"Thanks, Les."

"Kapan-kapan aku main ke sini boleh ya?"

"Hmmm, sama Eline ya kalo ke sini."

"Terus, kardusnya mau dibantuin dibongkar?"

"Yang itu aja, Les. Itu isinya peralatan makan & masak."

"Kamu masih capekh, Ad?"

"Yupe."

"Ya sudah, biar Ales aja yang bantuin bongkar ya."

Empat gelas Ice Capuccino pun sudah tersaji di meja. Ales yang tadinya antusias membongkar kardus yang berisi peralatan makan, akhirnya memutuskan bergabung bersama kami bertiga di depan televisi, sambil menikmati segelas capuccino kami masing-masing. Dan tak tahu mengapa, tiba-tiba Eline menyeletuk...

"Kayak lagi, double date ya."

"Hah? Maksudmu Line?"

"Iya, kayak lagi double date. Aku sama Ales..."

"Dan aku sama Nisya? Gitu Line?"

"Bener, Ad. Jadi kamu sama Nisya udah resmi pacaran 'kan?"

"Bentar lagi lah, Line."

"Heh, kurang ajar, sial, PD banget loh."

Kami pun berempat tertawa terbahak-bahak. Malas rasanya kami harus membuka-buka kardus-kardus itu lagi. Kami pun duduk di depan televisi, sambil menikmati film seri yang di putar di salah satu saluran di televisi berlangganan. Kami pun tak tahu harus melakukan apa lagi, setelah film itu selesai...

"Hon, di mobil ada kartu 'kan?"

"Ada kayaknya."

"Aku ambil ya, kita main kartu aja gimana?"

"Good idea, Ad."

Setelah ia meninggalkan kami, Eline dan Ales langsung menginterogasi aku.

"Kok lama banget kalian jadiannya?"

"Duh, sabar napa sih. Kok jadi kalian yang ga sabar?"

"Eh si Ad 'dah turun ya. Bawa HP ga ya dia?"

"Kenapa? Ga sepertinya. Tuh HPnya di atas meja."

"Dari tadi aku ga pegang-pegang HP, jangan-jangan ketinggalan di mobil."

"Aku turun nyusul Ad dulu deh."

"Hmmmm, Line, aku aja yang ke bawah nyusul Ad, biar kamu di sini berdua Ales."