13. Hari Ini Bukan Hari Kasih Sayang 'Kan?

Kamis, 19 Maret 2009 |

"Ah, baru kerasa niy sepinya. Tanpa teriakan Kania yang biasa membuatku terbangun, tanpa bantingan pintu si Elien, yang sangat jarang bisa menutup pintu tanpa menimbulkan suara gaduh."

Melangkahkan kaki keluar kamar, semakin menyadarkanku akan kesendirianku, sesaatku melihat ke sekeliling dan tak aku temui kehadiran keluargaku. Kesendirian yang biasanya merupakan surga bagiku, tetapi tidak kali ini.

"Sepinya."

Namun semua itu hanya aku simpan di dalam tekad bulatku untuk merasakan hidup mandiri.

"Saatnya nge-teh."

Segelas teh hangat yang memang sering menjadi bagian menu sarapan pagi, yang biasanya disiapkan oleh Mama, kini aku siapkan sendiri. Tak ada aroma margarin yang dilelehkan di penggorengan, untuk memasak telur acak, yang biasanya membuat harum dapur, sama seperti saat Mama memasakkan sarapan untukku.

"Katanya mau idup mandiri, Nis."

"Biasalah, hari pertama ngerasain hidup tanpa keluarga."

Ya, kira-kira begitulah "obrolan" ku dengan diriku sendiri.

Segelas teh hangat sudah di tangan, sepotong roti sudah siap aku santap, sembari membaca majalah favoritku. Namun tak berapa lama, telepon apartemenku berbunyi, dan aku tahu dari layar, bahwa yang menelepon adalah resepsionis apartemen.

"Pagi, Mbak Nisya."

"Pagi."

"Mbak, ini ada kiriman, mau kami antar ke atas saja, atau Mbak Nisya akan ambil ke bawah?"

"Tolong antar ke atas boleh Mbak?"

"Boleh, kalau begitu sebentar lagi kami kirim ke atas."

"Terima kasih, Mbak."

Aku pun kembali duduk manis di sofa, di depan televisi. Dan sembari aku menggigit roti, aku berpikir "Kiriman apa lagi hari gini? Siapa yang ngirim?"

Rasa penasaranku ternyata tak lama. Jawaban itu akan aku ketahui sesaat aku membukakan pintu, sebagai respon dari bunyi bel yang baru saja aku dengar.

"Pagi, Mbak. Ini kirimannya."

"Hmmm, siapa yang ngirim tadi, Mbak?"

"Tadi sih yang terima teman saya, tapi sepertinya saya lihat dari jauh, yang ngirim juga tukang kirim gitu Mbak. Terus kata teman saya, orangnya bilang, nama pengirimnya ada di dalam amplop itu."

"Oh, ya sudah kalau begitu. Terima kasih ya."

Seingatku bulan ini bukan ulang tahunku, bukan juga hari kasih sayang, dan tak ada peristiwa penting lainnya. Satu buket besar penuh dengan bunga mawar yang kelopaknya memiliki dua warna yaitu putih bercampur merah muda, yang merupakan bunga kesukaanku, kini aku pegang. Tak sabar aku buka amplop yang menyertai kiriman itu.

"Dan kamu adalah bintang terakhirku, Nisya."

Dan lagi, di amplop itu tidak ada nama pengirim.

"Bagaimana manusia ini bisa tahu persis bunga kesukaanku ya? Aku tak pernah cerita pada Ad, atau bahkan pada Ales. Yang tahu jenis bunga favoritku ini, hanya Darwin, mantan pacarku waktu aku di Amerika dulu. Bodokh ah, bagus bunganya. Ntar aja pikirin lagi siapa yang ngirim."

Tanpa pikir panjang, akhirnya aku mengatur bunga itu ke dalam jambangan, dan kembali sibuk mengunyah roti, dan menyeruput teh hangat yang belum habis. Dan...

"Ah, sial, makin penasaran khan aku."

0 komentar: