01. Sekolah Cinta

Selasa, 18 Maret 2008 |

“Ranisya, hurry, you’ll be late” terdengar suara mama yang menyuruhku untuk segera berangkat sekolah.

“Right away mom…”.

Hari pertama kembali sekolah, selalu membuatku senang. Setengah terburu-buru aku menuju ke ruang makan. Madeline kembaranku dan Kania adikku sudah menunggu di meja makan, sambil menikmati sarapan pagi buatan mama. Ya, mama selalu menyempatkan diri membuatkan sarapan pagi untuk kami. Ia tidak pernah mengizinkan kami pergi sekolah tanpa sarapan. Padahal pekerjaannya sebagai dokter spesialis jantung di salah satu rumah sakit ternama, banyak menyita waktunya untuk bersama kami.

Keluarga kami bisa dibilang keluarga bahagia, dan cukup terpandang. Kurang terpandang apa coba, mamaku seorang dokter spesialis jantung lulusan universitas beken di Jerman, dan papa sebagai diplomat, yang sempat menjabat sebagai duta besar untuk Amerika, Perancis, Belanda dan Jepang. Sudah hampir 3 tahun ini papa tidak ditugaskan untuk menjadi duta besar, dan hampir 3 tahun pula aku tidak lagi berpindah-pindah rumah, pindah sekolah bahkan pindah negara. Padahal aku merasa lebih enak sekolah di luar negeri dari pada di Jakarta. Aku, Madeline, Kania, dan ke dua kakakku Shana dan Laura, tidak ada satupun yang dilahirkan di Indonesia. Kedua kakakku itu diizinkan untuk tidak ikut kembali ke Indonesia, untuk berkuliah di Amerika, negara terakhir papa ditugaskan.

“Bye Mom….see you” aku pamit sama mama sambilku cium pipinya.

“Bye Honey…love you..and don’t forget..be carefull” kata-kata itulah yang selalu mama ucapkan sambil menutup pintu mobil.

Pak Wito, supir keluarga kami siap mengantarkan kami ke sekolah. Kami bertiga sekolah di salah satu sekolah internasional di kawasan Jakarta Selatan. Aku dan Madeline duduk di grade 12 dan Kania masih duduk di grade 10.

Sudah hampir 3 tahun menetap kembali di Indonesia, membuatku kembali lancar berbicara bahasa Indonesia. Setelah meninggalkan Indonesia, kami lebih sering menggunakan bahasa tempat kami tinggal saat itu. Hal ini untuk membiasakan kami berkomunikasi dengan orang-orang di lingkungan kami.

Di mobil, aku berkutat dengan laptopku untuk browsing internet maupun membuka email, sementara Madeline sibuk menelepon pacar tersayangnya, dan seperti biasa Kania tidur dengan pulas.

Tak terasa perjalanan yang hanya memakan waktu kurang dari 45 menit, telah membawa kami sampai ke sekolah. Saat aku lihat jam tanganku, waktu masih menunjukkan pukul 07.10.

“Kan, Kan, bangun, bangun, ‘dah sampai nih, jangan tidur terus.”

Sebelum turun mobil, aku selalu harus membangunkan adikku yang satu itu, karena kembaranku pasti langsung turun mobil, untuk menghampiri pacarnya sebelum kelas dimulai.

“Pak Wito, ‘ma kasih ya, nanti jemput Kania jam 3, terus antar ke dokter gigi. Jangan lupa balik ke sini, jemput aku sama ‘Eline jam lima.”

Pak Wito tanpa banyak protes, langsung menjawabku “Baik Non.

Sembari turun dari mobil, aku berpikir, akan seperti apa ya hari ini. Hari pertama masuk sekolah lagi setelah libur kenaikan kelas. Berjalan menuju papan pengumuman untuk melihat kelas dan jadwal sekolahku, tiba-tiba ada seseorang yang menutup mataku dari belakang. Pastinya aku diminta untuk menebak sebelum ia melepaskan tangannya.

“Hmm, let me guess, Sandro? No? Chris? Wait, you must be Adrian.”

“How do you know, that was me.”

“From smell of your perfume, and your hand for sure.”

“By the way, how’s your vacation? Did you visit your sisters in US?”

“No I did not. They came here. How about you? Your vacation?”

“I went to London, for 2 weeks. I was seeing my cousin there.”

“Really? You went there alone?”

“Ya.”

”When did you get back?”

”Ten days ago.”

“OK.”

“Nis, I’m gonna show you something in class.”

“Is it gonna surprised me?”

“Maybe.”

“OK. Let’s go to the class then.”

Sesampainya di kelas, aku disambut beberapa teriakan centil dari Nerva dan Kimiko.

“Nisya! You’re here, in this class?”

“My God, here, with you again?”

Derai tawa kami bertiga langsung membuat kelas menjadi ramai. Pandangan mata yang penuh rasa penasaran dari mereka, tertuju padaku. Saat mereka melihatku datang bersama Adrian.

“Hi, Ad, You’re here? With us?”

“Unfortunately yes, ladies.”

Aku dan Adrian kemudian berjalan ke deretan bangku di baris tengah, dan kami pun duduk bersebelahan.

“OK, Ad, what you’re gonna show me?”

“This.”

“What’s this?”

”Just take a look.”

Aku pun mulai membuka sebuah benda menyerupai buku, yang ternyata adalah album foto. Lembar demi lembar aku buka. Tak ada foto lainnya, selain foto Asti.

“Wow. Kapan nih?”

"Ha?”

”Ad, come on, you still can’t speak Bahasa? Udah tiga bulan juga di sini. Nanti bisa kena tipu loh.”

“What?”

”When did you go with her and do this?”

“Oh. Last weekend.”

“Keren. Cool.”

”And”

“No and Ad.

”Is that all? Is that all your comments?”

“Ya, why? What should I respond?”

“It’s not surprised you?”

“Bit, yes. You’re done here? If so, I am gonna chat with those girls.”

”Ya. I am done.”

Beranjak dari kursiku. Berjalan dengan perasaan kecewa, menghampiri Minerva, Kimiko dan Nicky, yang sedang mengobrol di luar kelas. Aku sudah mengenal Minerva yang biasa aku panggil Nerva ini sejak kita berdua masih tinggal di Paris. Orang tua kami sama-sama diplomat. Di Paris, aku dan Nerva cukup dekat. Tempat tinggal kami yang berdekatan membuat kami sering bepergian bersama. Namun kondisi ini hanya berlangsung kurang lebih satu setengah tahun. Nerva harus pergi meninggalkan Paris, mengikuti orang tuanya yang ditugaskan ke Hongkong, sebelum akhirnya 3 tahun lalu ia kembali ke Indonesia.

Kimiko, aku mengenalnya di sekolahku yang sekarang ini. Kami sama-sama murid baru saat di kelas 9. Dari namanya sudah pasti bahwa ia adalah orang Jepang. Orang tua Kimiko bekerja di Indonesia untuk 4 tahun. Sedangkan Nicky adalah teman sekelasku saat aku masih SD kelas 2. Waktu itu keluargaku sedang kembali ke Jakarta sebentar. Saat aku kelas 3 SD aku meninggalkan Indonesia, bertolak ke Belanda, dan ternyata setahun kemudian Nicky juga pindah ke London, tinggal bersama ibunya, karena kedua orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Nicky pun baru kembali ke Tanah Air kurang lebih satu tahun lalu.

“Hai, hai, gosip apa sih.”

Aku tak perlu ragu bicara bahasa Indonesia dengan mereka. Kedua orang tua Nerva adalah asli orang Indonesia, kalau Nicky setidaknya Ayahnya orang Indonesia. Sedangkan Kimiko, sudah cukup lama tinggal di sini, jadi ia sudah fasih bicara bahasa Indonesia, walau bahasa Indonesia si Jepang satu ini, masih bahasa Indonesia yang sedikit lebih baku.

“Gosipin kamu sama Ad, Nis.” Langsung deh si Jepang satu itu menimpali.

“Eh, Nis, elo deket ama si Ad, ya?”

“Ha, deket? Ya, lumayan sih. Itu juga gara-gara waktu kita study tour ke Shanghai semester lalu itu. Plus dia sering curhat tentang gebetannya dia.”

“Ya gebetannya itu, elo khan Nis?”

“Sok tau lu. Gak mungkin dech gue naksir dia.”

Seperti tertusuk rasanya, waktu aku mengeluarkan kata-kata itu ke mereka. God, aku memang naksir Ad. Aku suka Ad. Wajah unik hasil perpaduan darah Jepang, China dan Belanda itu menggemaskan. Di tambah otaknya yang pandai dan ia adalah seseorang yang menyenangkan diajak mengobrol. Aku ngga boleh naksir Ad, ngga boleh suka sama dia. Huh, mana pagi-pagi sudah ada kejadian yang bikin BT. Buat apa sih Ad nunjukkin foto-fotonya Asti. Tapi, sebenarnya aku akui, memang hasil jepretan Ad keren, artistik.

“Nis, woi Nis, bengong lagi lu. Masuk kelas yuk, bel ‘udah bunyi tuh.”

Duduk seharian di samping Ad, saat di kelas, membuatku bertambah kesal, dan tak bisa berkonsentrasi pada pelajaran yang disampaikan guruku. Selain itu aku menjadi membatasi interaksi dengannya.

“Nisya, are you ok?” Aku sampai tak mendengar Ad memanggilku saat pelajaran Biologi keparat itu.

“Nisya, Nisya, do you hear me?”

“Oh, oh, ya. What?”

“Are you ok?”

”Ya, I’m fine.”

Tak lama kemudian bel pulang sekolahpun berbunyi. Langsung tanpa basa-basi, aku membenahi tasku dan keluar kelas. Aku hendak menelepon Eline dan Kania, untuk mengatakan padanya kalau aku tak jadi pulang jam 5. Aku tak jadi latihan renang, dan ingin pulang bersama Kania. Ternyata di belakangku, Ad mengejar. Sepertinya ada yang ingin ia sampaikan padaku.

“Nisya, wait, Nisya!”

”Yes, Ad. What’s up?"

“Are you mad at me?”

“Why should I?”

”I don’t know, maybe you’re jealous?”

”Me? Jealous? Just because you were having a date with her? Off course not Ad. I am happy for you.”

“Nisya, nanti saya mau bertemu Asti di Pondok Indah Mall. Kamu mau ikut dengan saya?”

“Saya? Ikut kamu? Pastinya tidak Ad. Kalau saya ikut, Asti tidak mau jadi pacar kamu. Lagi pula saya mau pergi dengan Shana dan Laura. Mumpung mereka di sini.”

“OK. See you tomorrow"

“Ok. Bye. By the way, nice progress Ad"

“What progress?”

”Your Indonesian Langguage, and Asti for sure.”

Huaaaa, mereka mau bertemu lagi malam ini? Tambah sebal aku mendengarnya. Lebih baik nanti aku pergi sama Shana plus Laura. Tapi kemana ya? Pondok Indah Mall, seru sepertinya, lagi pula dekat rumah.

“Halo, halo, Kan, Kania, aku pulang bareng kamu ya ‘dek! Pak Wito sudah datang? Aku tunggu di pintu utama ya.”

“Pak Wito lagi antri masuk ke sini Nis. Eline, pulang sama kita juga?”

”Nope, she’s with her boy friend.”

Dari jauh aku mendengar suara Kimiko memanggil aku.

“Nisya, aku boleh pulang bareng kamu? Supirku tiba-tiba sakit, jadi ngga bisa jemput.”

“Boleh banget. Kamu mau langsung aku antar atau ke rumahku dulu, lalu minta jemput
mamamu nanti sore?”

“Ngga merepotkan Nis kalau kamu antar aku? Sepertinya aku harus menjemput adikku di tempat les balet, jam 5 nanti. Rencananya aku pulang, untuk mengambil mobil, dan menjemput adikku.

“Kim, jalan pulang ke rumahku itu, lewat rumah kamu. Jadi ngga ngerepotin sama sekali.”

Aku dan kimiko menunggu pak Wito di pintu utama. Tak lama kemudian Kania pun sudah bergabung bersama kami.

“Kimiko san, ogenki desuka?”

”Genki desu, anata wa genki desuka?

"Hai, hai, genki desu.”

Eline dan Kimiko memang sudah saling kenal, dan kebetulan mereka berdua sudah lama tidak bertemu. Baik untuk basa-basi maupun bukan, biasanya hal pertama yang ditanyakan oleh seseorang saat bertemu dengan kenalannnya adalah tentang kabar mereka. Begitulah pertanyaan Eline saat bertemu Kimiko di lobi sekolah kami ini.

Dan percakapan mereka itu mengingatkanku akan masa kecil dulu. Kebetulan Aku, Eline dan Kania lahir di Jepang, walau berbeda kota. Kami di Jepang kurang lebih sampai aku usia 6 tahun. Sebelum akhirnya kami sempat kembali ke Indonesia sebentar. Saat menunggu pak Wito, Kimiko bertanya padaku.

“Nis, Asti itu orang Indonesia? Sekolah di mana?”

“Sepertinya orang Indonesia Kim. Sekolahnya, kalau tidak salah di daerah Barito. She’s still in Junior High.”

”Really? Kelas berapa?”

“Kelas 9, kalau ngga salah.”

“Kamu kenal dengan dia Nis?”

“Aku pernah bertemu waktu dia jalan bareng Ad, dan waktu itu Ad mengenalkan Asti padaku.”

“Cantik ngga?”

“Cantik siy ngga terlalu ya, lucu memang. Kayak orang Jepang gitu Kim.”

“Seperti aku?”

“Lucuan kamu Kim.”

“Ah, bilang aja kamu cemburu sama dia.”

“To be honest, iya Kim, kayaknya memang aku cemburu.”

Kimiko pun langsung tak tahu harus berkata apa lagi. Ia hanya mengelus punggungku, seperti seorang teman yang sedang berusaha menghibur atau membuat tenang temannya. Dan seketika, saat itu juga aku benar-benar menyadari sepenuh hati, dan berusaha untuk tidak menyangkalnya lagi, bahwa aku suka Ad, aku sayang dia.

0 komentar: