02. Penyusup di Dokter Gigi

Rabu, 19 Maret 2008 |

Setelah Kimiko turun dari mobil, aku hanya menerawang jauh ke luar jendela mobil, terdiam seribu kata. Sehingga suasana di mobil saat itu, layaknya seperti suasana malam di kuburan. Tak biasanya suasana seperti ini terjadi, karena kedekatanku dengan Kania, membuat kami sering sekali berbagi cerita setiap kali ada kesempatan. Namun tidak pada saat itu. Sampai akhirnya adikku yang satu ini tak tahan juga menahan mulutnya untuk tidak berkata sepatah katapun padaku.

“Nis, kamu kenapa siy? Kok dari tadi diem aja?”

“Gak papa Kan. Eh by the way, kamu sekarang langsung dianterin ke dokter gigi khan?”

Aku berusaha sedikit mengalihkan pembicaraan ke hal lain, agar Kania tidak bertanya lebih lanjut.

“Iya, khan udah bikin janji sama dokter giginya.”

“Oh, terus nanti dijemput jam berapa? Lama ngga? Atau mau ditungguin aja?”

“Terserah kamu siy Nis.”

“Nanti malem aku mau pergi sama Shana plus Laura, kamu mau ikut?”

“Kemana?”

“Belum tahu. Mumpung mereka masih di sini lah. Kangen juga ngga jalan bareng rame-rame.”

“Aku ikut Nis, kamu nungguin aku aja gimana terus kita pulang bareng, abis itu pergi bareng lagi.”

Ok.”

Percakapan itu, ternyata tidak membuat Kania melupakan pertanyaan yang diajukannya padaku sebelumnya.

“Terus kenapa dari tadi diem aja, bengong ngeliatin keluar jendela? Cerita lah Nis.”

“Siapa lagi kalo bukan gara-gara aku mikirin Ad.”

“Duh, kamu masih suka sama dia?”

“Masih lah, makin parah sepertinya.”

“Dan dia masih suka sama…”

“Asti.”

Tak sabar menunggu Kania menyelesaikan kalimat itu, langsung aku potong begitu saja.

“Astinya suka sama Ad?”

“Wah, ngga tau ya. Tapi mereka sering jalan bareng, akhir-akhir ini.”

”Belum tentu jalan bareng, tapi Asti juga suka sama Ad.”

”Aku ngga tau Kan. Lagi pula waktu liburan kemarin, aku jarang ngobrol sama Ad. Dia khan sempet pergi 2 minggu.”

“Ya sudah. Cari tahu dulu gih, Asti juga suka ngga sama Ad? Jadi perbanyaklah ngobrol ama si yang ngegebet Asti itu.”


Pikiran pertama yang muncul di otakku adalah “Gila juga si Kania”. Sepertinya ia tak mengerti sama sekali tentang diriku, tentang aku yang lagi sangat benci mendengar semua cerita Ad tentang perempuan bernama Asti. Tak aku gubris omongan adikku itu. Kami pun kembali berdiam, dan sepertinya menjadi sibuk dengan pikiran masing-masing.


Tanpa kusadari kami sudah tiba di tempat praktik dokter gigi Kania. Kania rutin berkunjung ke dokter ini setiap tiga minggu sekali, karena ia harus mengencangkan kawat yang ‘memagari’ giginya, agar menjadi lebih rapi dan teratur.

“Nis, tungguin aku ya.” Kania berkata demikian saat kami berdua keluar mobil.

“Non, Non Nisya, Non Eline perlu dijemput tidak?”, tanya pak Wito padaku.

“Sepertinya ngga perlu pak, Eline pulang sama pacarnya. Pak Wito cari parkir aja”

“Baik Non.”


Tempat praktik dokter gigi ini merupakan tempat praktik dokter gigi bersama. Jadi tidak hanya satu atau dua orang dokter gigi yang membuka praktik di sini. Jadilah tempat praktik mereka diatur sedemikian rupa sehingga menyerupai klinik. Lengkap dengan kantin kecil, ruang tunggu yang dilengkapi dengan televisi dan beberapa buah majalah. Tak ketinggalan, mereka menyediakan hot spot gratis di sana.


Seingatku Kania pernah bilang menu kantin di sana cukup enak, dan tempatnya juga cozy buat duduk-duduk. Sengaja dibuat seperti itu agar para pasien tidak menjadi bosan saat menunggu giliran.


Duduk di salah satu sofa empuk, mulai membuka laptop andalanku, dan tak lama kemudian pelayan di sana menghampiriku sambil membawa daftar menu yang disediakan di kantin itu.

“Saya pesan Ice Cappucino aja Mbak, sama Nachos, extra cheese ya.”


Tanpa berpikir panjang aku memesan makanan yang biasa dipesan Kania. Aku tahu menu ini, saat ia bercerita membangga-banggakan klinik dokter giginya itu.


Kembali berkutat dengan laptop. Kembali berkutat dengan blog-blog yang aku miliki. Mulai mengintip segala hal yang kurang penting di Facebook dan Friendster. Dan kekurangpentingan itu berakhir dengan membuka profil seorang Adrian Chan. Nama kedua itu bukan nama belakangnya, tetapi nama panggilan sayang dari sang mama. Chan itu panggilan sayang untuk seorang anak kecil tersayang, dalam bahasa Jepang. Maklumlah sang mama adalah asli orang Jepang, yang keluarganya sudah tidak terlalu kolot. Oleh sebab itu ia diizinkan untuk menikah dengan ayah Adrian, yang merupakan campuran dari China-Belanda itu.


Manusia berbintang Sagitarius, yang bernama Adrian ini, termasuk manusia menyebalkan. Jarang banget marah, jarang banget protes, tapi sekalinya protes, kata-katanya nylekit. Ya, tapi itu memang gayanya dia berbicara dengan orang lain, tak jarang kata-katanya memang ada benarnya, yang otomatis akan membuat lawan bicaranya menjadi diam seribu bahasa.


Buka-buka profilnya membuatku bertambah kecewa. Hasil jepretan puluhan wajah Asti, telah terpajang di album foto profil itu, dan hei, ada beberapa foto mereka berdua. Salah satunya menjadi foto utama untuk profilnya Ad. Sedih rasanya, kecewa pasti. Namun tak tahu mengapa aku mulai membuka-buka foto-foto itu satu per satu, dan mulai mengetikkan komentar untuk salah satu foto mereka berdua, pada kotak yang telah disediakan. “Nice pic Ad.”, komentar yang singkat, jelas, padat, dan sepertinya akan membuat dirinya senang, walaupun tidak membuat hati yang menulisnya menjadi senang.


Di depanku telah tersedia segelas Ice Cappucino, dan juga sepiring berukuran sedang Nachos dengan keju ekstra. Kania memang benar, kedua menu itu enak di lidah. Malah makanan dan minuman ini membuat rasa penasaranku menjadi bertambah. Tak cukup dengan membuka profil si Ad, namun aku membuka profil manusia yang bernama Lintang Kirana Astiani. Kebetulan profilnya bukan merupakan profil privat, jadi semua orang bisa membacanya.

Aku menemukan sesuatu hal yang menarik saat membaca komentar dari teman-teman Asti, dan juga saat membuka-buka album foto di profilnya. Dari sana aku ketahui, sepertinya Asti sedang dekat seorang teman satu sekolahnya, yang bernama Angga. Tengok saja komentar dari Angga saat Valentine beberapa bulan yang lalu:

"Astiani, ma kasih banget ya, Valentine kemaren, sudah mau terima bunga dari aku.”


Tak puas sampai di situ, aku pun kemudian membuka profil Christopher Angga Ardian. Ternyata ada kemiripan nama di sini. Dan berikutnya, aku juga menemukan sebuah komentar dari Asti yang bunyinya seperti ini:


“Duh, maaf ya aku kemaren ngga bisa pergi sama kamu. Adik sepupuku ulang tahun, dan kita ceritanya sekalian ngerayain Valentine bareng keluarga gitu. Ma kasih juga bunganya, aku suka, dan masih ada tuh. Bakal aku simpen, even nanti dah kering.”


Satu komentar dari aku, yang andaikan bisa aku tulis di kotak komentar profil-profil mereka, adalah “Menarik”.


Jadilah aku bisa sedikit menarik ke arah luar ujung-ujung bibirku pada hari ini, alias tersenyum dengan bahagia. Tapi maaf ya buat dua orang di luar sana yang sudah aku susupi.


Dan sekali lagi, Kania benar. Huh.

0 komentar: