03. Menggiring Anak Bebek

Kamis, 20 Maret 2008 |

“Kan, ‘ma kasih ya usulnya.”

“Usul yang mana?”

“Yang tadi kamu bilang, yang nyuruh aku cari tau tentang si Asti.”

“Memangnya kamu ‘dah ngobrol banyak sama Ad? Kok cepet amat.”

“Ngobrol siy belum, tapi aku tadi tiba-tiba buka-buka Facebook plus Friendster-nya si Asti.”

“Idih..ngintipin profil orang. Dasar stalker.”

“Ngga tau, ngga niat awalnya. Gara-gara aku tadi buka-buka profilnya Ad.”

“Tetep aja stalker.”

“Hehehehe…dikit.”

“Pantesan dari tadi senyam-senyum sendiri. Terus, dari sana dapet apaan?”

”Ada deh.”

“Ah, ngga seru, ngga cerita. Mending tidur deh.”


Tak berapa lama, Kania pun sudah tertidur. Sedikit iri aku padanya untuk urusan yang satu itu. Manusia itu gampang sekali terlelap, sedikit tak peduli tempat, gaya maupun waktu. Lalu aku pun mulai menyalakan MP-3 player andalanku, untuk mendengarkan lagu favorit, dan terlena dengan khayalanku.


Setengah jam kemudian, kami pun tiba di rumah. Aku lihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku, saat itu menunjukkan pukul 17.30. Waktu yang tepat untuk bersiap-bersiap dan kemudian pergi untuk makan malam dan jalan-jalan dengan kedua kakakku dan si Kania.


Aku pun sebenarnya berniat mengajak Eline, tapi tak tahu lah, kembaranku yang satu itu, merupakan manusia super unik di keluargaku. Seakan dia punya dunianya sendiri. Sibuk dengan pacarnya, juga dengan segudang aktivitasnya di sekolah, dan orkestra musik yang sering membawanya tampil di konser-konser musik. Eline lebih tertutup jika dibandingkan dengan diriku. Ia tak akan bercerita dengan sendirinya, kalau tidak ditanya, setidaknya denganku, dengan kembarannya sendiri. Namun anehnya, ia sangat dekat dengan mama. Aneh-aneh gitu, tak pernah ia melewati satu hari pun untuk masuk ke kamar mama, hanya untuk mengucapkan selamat tidur, walaupun ia pulang larut malam. Tak ada satu kisah hidupnya yang disembunyikan dari mama. Bahkan ia pun bercerita saat pergi study tour semester lalu, Charles yang biasa dipanggil Ales, menyusup ke kamar kami, dan tidur bersama kami. Namun kejadian itu berakhir dengan aku yang mengalah pindah kamar untuk tidur dengan Nerva dan juga Kim.


Memang dari dulu mama menekankan pada kami bahwa lebih baik kami cerita sendiri, daripada harus berbohong, apalagi jika kebohongan itu akhirnya diketahui dari orang lain, ia akan sangat marah. Beranjak kami remaja, dulu mama memanggil kami satu per satu untuk diajak bicara dari hati ke hati.


Biasanya hal itu ia lakukan di akhir pekan saat ia tak disibukkan dengan antrian pasien. Obrolan itu biasanya berisi nasehatnya untuk kami berlima. Ia mengatakan bahwa mempunyai, membesarkan dan menjaga lima orang anak perempuan bukanlah hal yang mudah. Ia pun meminta kami untuk membantunya, dengan menjaga diri kami sendiri. Mengingat kami sudah beranjak dewasa, dan ia tak bisa mengikuti ke mana pun langkah kami pergi. Lima pesan darinya kepada kami, jangan nyentuh, berurusan, apalagi memakai NARKOBA; sekolah itu penting, jadi kami tak boleh putus sekolah, usahain sampai S2; jangan sampai hamil di luar nikah, kalaupun kejadian itu amit-amit terjadi, ya jangan diaborsi; jangan kena penyakit aneh-aneh, apalagi penyakit kelamin; apapun yang kamu kerjakan, sejauh itu hal yang positif, dan akan mengembangkan diri kamu, kerjakanlah secara maksimal.

Nasehat yang menurutku ‘tercipta’ di otaknya lebih karena latar belakang pendidikannya yang seorang dokter. Ada beberapa yang menurutku aneh, yaitu nasehatnya untuk jangan hamil di luar nikah. Bisa saja ini diartikan, bahwa kami boleh-boleh saja berhubungan badan dengan pacar kami kelak, tapi jangan sampai hamil. Hal ini mungkin karena ia sangat sering hidup di luar negeri, yang membuatnya ngeri lihat tingginya jumlah remaja yang hamil di luar nikah, dan melakukan tindak aborsi, ya bagusnya kami berlima sampai saat ini belum ada yang mengalami hal tersebut, dan jangan sampai kejadian itu menimpa kami.

---

Saat aku dan Kania baru membuka pintu masuk rumah, dan sedang berusaha melepas sepatu, tiba-tiba pintu dapur terbuka dan seseorang keluar dari sana sambil berkata “Sore sayang, baru pulang?”

“He, mama? Jam segini kok ‘dah pulang.”

“Tadi ditelepon sama Eline, katanya kalian mau jalan bareng?”

“Lah si Eline tau dari mana?”

“Kamu ngga ngasi tau Eline? Terus kok ngga telepon mama juga.”

”Belum, abis aku pikir dia mau pergi sama Ales. Terus, bukannya mama harusnya masih praktik ya jam segini?”

“Iya, tadi kebetulan pasiennya agak dikit, mama langsung pulang aja, lagi males di rumah sakit. By the way, Ales lagi di dapur, kita tadi baru ngobrol-ngobrol.”

---

Aku, Kania, akhirnya berjalan menuju dapur. Sedangkan mama naik ke kamarnya. Sesaat aku membuka pintu dapur, aku langsung melihat Ales yang super ganteng, berbadan bagus, dan lagi dipeluk-peluk sama kembaranku.

“Halo Les, apa kabar?”

“Eh hai Nis, Kan. Baik, baik kabarku. Kamu?”

“We’re great.”

“Kan, kita punya sesuatu buat kamu. Minggu lalu kamu ulang tahun khan?”

”Waaah, ma kasih ‘les. Apaan niy isinya?”

“Buka ajah, hasil dari jalan-jalanku di Sidney, liburan kemaren.”

“Ngga cuma dari Ales kali. Dari aku juga Kan.”, Eline langsung menimpali.

“Heheheh, iya, ‘ma kasih juga ‘Line.”

“Nis, kamu kok ngga ngasi tau aku kalau mau pergi rame-rame.”

”Aku pikir kamu sibuk. Lagi pula waktu tadi aku tawarin pulang bareng, kamu bilang mau berenang dulu, trus bilangnya khan mau pergi sama Ales.”

“He, iya siy, tadinya mau pergi, tapi ngga jadi. Mendingan ngobrol-ngobrol di rumah.”

“Jangan nyalahin aku donk. Terus kamu tahu dari siapa?”

“Laura tadi yang bilang ke aku.”

“Terus, kamu ikut?”

“Ikut donk.”

“Kamu ‘Les?”

“Ngga boleh sama Eline. Khusus para perempuan katanya.”

By the way, si mama ikut ‘line?”

“Sepertinya sih tertarik, tapi ngga tau deh.”

“Enakkan bawa mobil sendiri, atau sama Pak Wito?”

“Bawa mobil sendiri ajah.”

”Terus aku yang nyetir ya?”, tiba-tiba si Kania nimbrung di perbincangan antara aku dan Eline.

“Kalo kamu yang nyetir Kan, mending aku pergi ama Ales lagi.”, sahut Eline.

”Dan aku di rumah aja, ngga jadi pergi.”, nadaku sependapat dengan Eline.

---

Karena aku dan Eline sepakat untuk pergi tanpa pak Wito, maka aku pun mendatangi pak Wito yang sedang mengelap mobil, di garasi samping.

“Pak, kita pergi bawa mobil sendiri aja. Terus tadi pagi Pak Wito mau minta ijin pulang ke rumah sore ini? Jadi?”

“Kalau boleh siy Non, saya kangen sama si Nur.”

“Ya sudah Pak Wito pulang aja sore ini, besok pagi sampai ke sini jam enam-an ya pak. Jangan terlambat lo.”

“Baik Non, terima kasih banyak ya.”

“Salam buat Nur dan istri ya pak.”

---

Kembali aku melangkahkan kaki ke dapur, untuk mengambil tas-ku yang masih di sana. Kali ini aku menemukan Charles hanya seorang diri, duduk sembari menonton televisi. Kalau dipikir-pikir lagi, Madeline beruntung juga ya bisa punya pacar Charles. Ganteng, tinggi, badannya bagus, dan ada otak, meskipun si ganteng ini sedikit anak mami. Tipe Mommy’s little boy gituh. Hal ini lah yang menyebabkan Ales masih bingung apakah ia benar-benar yakin mau melanjutkan kuliah ke Australia. Padahal di Sidney, kakak pertama Ales sudah menikah dan tinggal di sana. Eline sendiri sudah sangat mantap untuk terbang ke negeri kangguru itu, melanjutkan kuliahnya, selepas kami SMA. Eline tak ingin jauh dari rumah. Ia pikir setidaknya kalau ingin pulang ke rumah, Australia tidak terlalu jauh, tidak seperti Shana dan Laura yang baru kali ini pulang ke Jakarta, setelah papa harus kembali ke Jakarta, 3 tahun yang lalu. Selain ada kemungkinan ia akan tetap dekat dengan Ales, kalau ia jadi sekolah di sana.

“Les, Madeline ‘dah naik ke kamarnya ya?”

”Mau mandi katanya.”

“Hmm, oh, kamu beneran ngga ikut kita?”

”Ngga lah Nis, mending aku istirahat di rumah.”

“Ok. Ya sudah ya, aku juga mau naik dulu, siap-siap mau pergi. Anggep kayak rumah sendiri ya, seperti biasa.”

Sebenarnya aku sedikit kikuk kalau bertemu dengan Ales. Hal ini tidak serta-merta aku rasakan. Ada kejadian yang lucu, dan mendebarkan. Tahun lalu, saat Ales dan Eline baru saja pacaran, Ales belum bisa membedakan aku dan kembaranku. Aku dan Eline merupakan kembar satu telur, itulah yang menyebabkan orang lain susah sekali membedakan kami berdua, jika belum terbiasa. Saat itu aku keluar dari dapur dan akan naik ke kamar yang harus melalui tangga, yang ada di ruang keluarga. Ales ada di sana, sedang duduk sendiri menonton televisi, menunggu Eline yang belum pulang dari mengajar biola anak tetangga. Aku tak sadar kalau di ruang itu ada Ales. Tiba-tiba ia yang mengiraku Eline, memelukku dari belakang, seperti seseorang yang sedang menyergap, dan kemudian mencium leherku. Tak tahu kenapa badanku seperti membeku. Tak bisa digerakkan. Tak tahu apa karena aku takut membuat Charles malu, atau memang pelukkannya membuatku nyaman. Sampai akhirnya setelah aku berada didekappannya selama beberapa detik, aku mulai bicara “Charles, ini aku Ranisya, bukan Eline”. Ia pun langsung melepaskan tangannya dari pinggangku, dan meminta maaf padaku berkali-kali. Wajahnya pun langsung berubah seperti muka udang, memerah, mungkin sama halnya dengan rupa wajahku saat itu. Dan saat itu kami pun langsung sepakat, bahwa kejadian itu tak akan kami ceritakan pada siapapun. Cuma aku, Ales dan Tuhan yang tahu.

---

Sesampainya di kamarku, aku melihat Shana sudah selesai mandi dan sedang berdandan. Laura sedang mandi. Dua orang itu, senang sekali tidur di kamarku, walaupun kamar mereka, yang lebih sering tak terpakai, tak pernah luput dari perawatan Mbak Marni dan Mbak Sumi, sehari-harinya. Menunggu Laura mandi, aku memilih baju yang akan aku pakai untuk pergi.

“Nis, nanti mau kemana?”

”Belum diomongin Na. Tanya mama sekalian kali ya?!”

“Mama ikut? Dia ‘dah pulang?”

“Kamu ngga tau?”

“Ngga, dari tadi aku tidur sama Laura.”

“Dasar kebo dua ekor.”

“Terus, terus, pacar siapa sekarang setelah Darwin? Masakh jomblo 3 tahun”

“Eh, Na, Darwin apa kabar di sana?”

“Baik-baik aja dia. Dan mau kawin kayaknya.”

“He, kawin ama siapa dia?”

”Pacarnya lah.”

”Ya, aku tau, tapi siapa?”

”Kamu ngga kenal. Tapi namanya Rana.”

”Orang sini?”

“Iya, tapi dari SMP dah di US.”

“Beda umurnya sama Darwin jauh? Kayak waktu aku dulu pacaran sama dia?”

”Ngga sepertinya, beda setahun doank.”

“Eh, aku belum cerita ya, si Darwin kemaren itu pulang bareng aku sama si Laura juga.”

“Berarti dia lagi di Jakarta sekarang?”

“Iya.”

“Kayak apa sekarang dia?”

”Sedikit lebih berotot, karena gym nya rajin banget.”

“Makin ganteng ya?”

“Sama kayak dulu. Heee..masih suka ya sama Darwin?”

“Ngga donk. Ada yang lebih ganteng.”

“Iya..namanya Adrian.”

“Sok tau loe Ra. Main nimbrung ajah niy bocah.”, Laura yang baru keluar kamar mandi tiba-tiba ikutan ngobrol.

“Tapi emang lebih ganteng si Shan, dari pada si Darwin.”

”Serius? Kamu dah pernah liat dia Ra?”

“Sudah, waktu aku jalan bareng Kania ke Senayan City kemaren sore. Kebetulan Adrian papasan sama kita berdua, dan Kania ngenalin aku ke dia.”

“Bawa ke sini dong Nis.”

”Gimana bawanya. Aku suka sama dia, tapi dia lagi ngegebet cewek lain.”

“Duh, duh, duh, nasibmu lah Nis.”

“Sial. Dah ah, aku mandi dulu.”


Selesai mandi, ternyata 4 perempuan, saudara-saudaraku itu lengkap ada di kamarku. Tak tahu apa yang mereka kerjakan selama aku mandi. Yang jelas, mereka sudah rapi berpakaian, tinggal menjinjing tas, memakai sepatu lalu pergi.

“Buruan donk Nis, lelet amat sih.”, celoteh Eline manusia paling ngga sabaran.

“Sabar napah neng. Aku dandan ngga selama kamu kali. Terus udah pada tahu nanti mau kemana?”

“Belum, pikir nanti aja di mobil.”, kata Shana, si kepala suku di antara kami berlima.


Sebelum aku disuruh menyetir oleh Eline, aku mendahulu meminta dirinya untuk menjadi supir kami.

“Madeline, kamu nyetir yah. Biasanya khan kamu dianter Ales mulukh, jarang tuch capekh nyetir.”

“Sial keduluan. Gantian ah.”

”Ogah. Kalo ngga suruh Kania aja nyetir.”

“He..ya udah aku nyetir pulang pergi.”

“Ga usah, biar bos besar yang nyetir.”, Mama tiba-tiba masuk ke kamarku yang kebetulan pintunya dibiarkan terbuka.

“Sudah siap semua?”

“Belum mam, tinggal si anak tengil satu ekor, si Nisya.”, teriak Laura dengan suara sok imut.

“Mam, mau kemana?”

”Pergi sama kalian.””Iya, tapi ke mana?”

“Suka-suka aku ya nyetirnya nanti ke mana.”

“Pasti yang deket. Kalo cara ngomongnya dah kayak gitu.”, aku pun menimpali omongan si bos besar, alias mama.

“Ayo Nis, kamu selalu deh paling lama. Selalu yang ditungguin terakhir.”

“Hehehe, seperti biasa khan Mam.”


Lengkaplah lima perempuan di kamarku ini, serta merta berteriak-teriak untuk memintaku cepat bersiap. Akhirnya 10 menit kemudian, aku pun sudah siap untuk berangkat. Enam perempuan, satu keluarga, dua generasi. Antara Ibu dan lima orang anak perempuannya.

“Ayo anak-anak, kita sekarang naik ke mobil.”, tegas mama kepada kami.


Setelah kami duduk di mobil, dan siap berangkat. Mama pun kembali bersuara

“Hmmm, aku tahu mau ke mana, PIM 2 aja ya, makan sushi. Terus kita jalan-jalan belanja. Gimana?”

“Tuch khan bener, pasti ngga mau nyetir jauh-jauh deh. Tapi boleh juga lah mam, PIM 2 ajah.”, aku menyetujui usulnya.

“Eh tau ngga kalian, apa yang mama pikirin sekarang?”

“Ngga lah, mama belum bilang.”, si kecil nyaut tiba-tiba.

“Jadi inget waktu kalian masih kecil-kecil. Beda umur cuma 2 tahun. Ngga di negara sendiri. Apalagi kalo lagi winter, tambah repot. Terus paling repot ngurus kamu Nis ama Eline. Dah kembar, banyak maunya, maunya sama, waktunya bersamaan, umur dua tahun dah punya adik lagi. Kurang repot apa coba”

“Lah, mama juga hamil lagi.”, aku tak rela dibilang merepotkan dia.

“Abis gimana dounk, di kasih anak lagi, masakh di sia-sia.”

“Terus abis Kania lahir ngga di kasih anak lagi?”, tanyaku yang sebenarnya ingin menyindir mama.

“Di kasih sebenernya, waktu Kania umur 2 tahun, mama hamil lagi. Tapi 7 minggu keguguran. Habis itu, aku atur dech biar ngga punya anak lagi.”

“Memang kenapa ma, kalo setelah Kania punya anak lagi?”, si Shana tiba-tiba bertanya.

“Lima ajah dah kayak giring anak bebek, apalagi 6. Apalagi kalo ternyata kembar lagi. Bisa-bisa pensiun dini mama jadi dokter, dan beralih profesi jadi baby sitter.”

0 komentar: