07. "Rencana Kriminal" Akhir Pekan

Jumat, 24 Oktober 2008 |

"Krrrinnnggg."

Selesai juga debate class hari ini. Hari ini sudah Jumat, yang berarti hari-hari sekolahku minggu ini, juga berakhir. Rasanya tak ingin aku jumpai akhir pekan. Tak bisa aku bayangkan, 2 hari ke depan aku tak akan bertemu dengan seseorang yang telah membuatku akhir-akhir ini sangat bahagia. Ya, seseorang itu adalah Ad.

Seperti biasanya, setiap hari Jumat, teman-temanku sudah sibuk menyiapkan rencana romantis maupun rencana "kriminal" yang akan dilakukan pada akhir pekan. Sedangkan aku? Sampai bel berbunyi, belum mempunyai rencana apa pun untuk akhir pekan ini.

Semenjak aku putus dengan Darwin dan kembali ke Indonesia, sering kali aku menghabiskan akhir pekan di rumah. Bisa-bisa aku, Kania, Mama dan Papa, menghabiskan waktu seharian menonton DVD, mengobrol untuk menanyakan kabar terbaru kami masing-masing, atau berenang di kolam renang di halaman belakang. Tak jarang pula Madeline dan Ales ikut serta dalam kegiatan kami ini.

Namun saat-saat yang paling aku tunggu adalah saat tengah malam menjelang. Saat aku kembali ke kamarku, menyalakan lampu yang berada di atas nakas, mengambil laptop kesayanganku, yang kemudian aku bawa ke atas tempat tidur, aku nyalakan dan tak lama kemudian aku sudah berkutat dengan blog-blog yang aku kelola. Bagai anak dengan autisme, jika aku sudah masuk ke dalam dunia maya yang aku buat sendiri itu. 

Pertanyaan yang sebenarnya paling malas aku jawab, akhirnya keluar juga dari mulut Nerva.

"Nis, besok kemana?"

"Yah Va, lu tau khan gue. Belum tau, liat besok lah."

"Gak pergi ama Ad?"

"Dia ngga ngajak-ngajak Va."

"Jadi ngarep diajak ya?"

"Sial. Gak tau ah."

"Gue ama Nicky mau belanja-belanji, elu mau ikut?"

"Senen kemaren gue 'dah belanja. Ntar duit gue abis. Apalagi belanja 'ama kalian."

"Ya udah, kalo elu mau ikut, tilpun-tilpun yah."

"Beres Va. By the way, si Jepang ngga ikutan besok?"

"Gak. Ada upacara minum teh dia besok.

Sejenak kami berjalan di koridor sekolah, tanpa berbincang sedikit pun. Sampai Nerva akhirnya menanyakan keberadaan Ad.

"Ad mana Nis? Kalian kepisah ya, pas di kelas ini."

"Hahaha, iya nih. Tadi siy aku janjian di depan perpus."

"Kelas yang satunya di ruang berapa siy?"

"Gak nanya gue Va."

Kelas debat memang agak lain dengan kelas-kelas lainnya. Satu kelas debat hanya diperbolehkan berisi 10 orang, sedangkan kelas kami isinya 20 orang. Jadi khusus kelas debat, kelas kami dibagi lagi menjadi dua. Hal ini untuk mempermudah latihan debat pada setiap sesi kelas ini. Dan setiap minggu ke empat, kami dipertemukan kembali untuk latihan berdebat dalam forum yang lebih besar. Tak hanya itu, materi ujian akhir semester kelas ini adalah debat terbuka di depan seluruh guru dan wakil orang tua, tentang seputar masalah sosial yang sedang terjadi, dan tak peduli angkatan. Maksudnya, dalam satu kelompok debat memang sengaja anggota kelompok diacak dan dipilih dari angkatan yang berbeda, yaitu dari grade. Dengan kata lain, pada akhir semester nanti, mungkin saja aku akan berdebat atau bahkan satu kelompok dengan Kania atau Madeline bahkan Ad. 

Kelas ini adalah salah satu momok bagiku. Terus terang manusia seperti diriku ini, paling malas kalau diminta adu argumentasi. Namun apa boleh buat, harus aku ambil juga kelas ini, bahkan sejak aku duduk di grade 10.

Satu hal yang menyenangkan dari kelas ini adalah aku bisa bertemu dengan teman lain angkatan, dan lumayan buat "cuci mata". Apalagi dulu saat aku masih di grade 10, aku pernah satu kelompok dengan Luce dari 12. Manusia ganteng ini sempat menjadi idola di sekolahku, apalagi saat itu ia sudah putus dari pacarnya. Lumayan banyak yang iri saat aku sekelompok dengannya, karena aku sempat beberapa kali pergi dengan Luce untuk mempersiapkan ujian akhir semester kami saat itu. Ya, tapi Luce tak sedikit pun aku hiraukan. Bayangan Darwin masih seperti hantu yang gentayangan di hidupku. 

Sampai sosok Ad hadir di kehidupanku beberapa bulan yang lalu. Ad mulai bisa menggantikan Darwin yang sempat mengisi hari-hariku dulu. Dan Ad-lah, yang sudah seminggu ini menambah bunga-bunga di hatiku. 

Tak terasa aku dan Nerva sudah sampai di depan perpustakaan. Ad belum terlihat saat aku tiba di sana. Tak lama kemudian...

"Nis, sorry i'm in hurry, saya perlu pulang cepat. Bye."

"Ok. Bye, Ad."

"Loh Nis, kenapa dia buru-buru ya?"

"Gak tau gue Va. Biarin aja."

Setelah menunggu 10 menit di lobi sekolah, mobil yang dikendarai Pak Wito sudah tiba dan siap membawaku dan Kania pulang ke rumah. 

"Langsung pulang, Non?"

"Yupe."

Sampai rumah aku langsung menuju dapur seperti biasa, dan adikku menuju ke kamarnya, seperti biasa juga. Mengambil segelas susu coklat dingin dari kulkas, lalu aku bawa ke kamarku di atas. 

Setelah berganti baju, aku pun turun lagi ke dapur. Dan aku melihat Ales ada di sana, sedang makan siang, dan membaca majalah, tanpa ada Eline.

"Loh, Eline mana Les?"

"Ke muridnya sebentar di blok belakang."

"Dah lama?"

"Apa? Perginya?"

"Yupe."

"15 menit lah."

"Oh."

Lalu kami pun sama-sama diam. Sibuk menyendok dan mengunyah makan siang kami. Sampai Ales kembali bersuara.

"Nis, kamu sama Eline itu beneran kembar 1 telur?"

"Kata mama sih gitu yah. Kenapa emang?"

"Gak, kok beda ya. Cantikkan kamu."

"Gak lah, sama ajah."

Pernyataan yang aneh, dan mengandung banyak makna. Apalagi untuk seorang yang paranoid, penasaran, dan tukang khayal. Makna itu bisa jadi tak karuan. Namun pada akhirnya aku biarkan saja omongan si Ales tadi.

Selesai makan aku pun membawa piringku ke tempat cucian piring lalu mencucinya sendiri. Lalu begitu aku meletakkan piring di rak, dan membalikkan badan, tiba-tiba Ales sudah di depanku. Dan wajahnya sangat dekat denganku.

"Les, what are you doing?"

Pertanyaanku tak dijawab olehnya. Setidaknya tak dijawab dengan kata-kata verbal. Ales menciumku. Mencium bibirku, dan sedikit mengulumnya. Aku hanya diam, tak menolak, tak membalas ciuman itu. Hingga akhirnya ia aku dorong secara halus menjauh dariku.

"Please, don't do that to me anymore. You'll hurt Madeline"

"Dia gak akan tahu Nis. It's our secret, rite?"

"Yeah right."

Tanpa basa-basi, aku pun langsung berlari ke kamarku, mengunci pintu dan coba menghubungi Ad. Namun tak ada jawaban sama sekali. Aku bingung, panik tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Di tengah semuanya itu, akhirnya aku memutuskan untuk berganti baju, bersiap-siap pergi yang saat itu aku belum tahu tujuannya. 

Aku pun menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Mengambil sepatu dan kunci mobil, dengan lebih tergesa-gesa lagi. Ekor mataku sudah melihat ada Eline dan Ales duduk di sofa ruang tamu, saat aku sampai di bawah.

"Mau kemana Nis?"

"Pergi Line."

"Kemana?"

"Liat aja nanti."

"Oleh-oleh ya."

Setelah beres memakai sepatu aku pun keluar menuju garasi. Memasuki mobil dan pergi meninggalkan rumah. Marahku pada Ales, memuncak. Aku harus mengatakan ini pada Eline, tapi tak tahu harus bagaimana. Ia pasti tak percaya padaku. Bagi Eline, Ales yang selama ini "Mr. Perfect" tak mungkin bisa melakukan hal itu.

Akhirnya aku memutuskan untuk ke Pondok Indah Mall. Duduk di salah satu kedai kopi ternama, menenangkan diri dengan segelas Ice Caramel Macchiato, dengan ekstra karamel. Sembari duduk, aku pun mencoba menghubungi Ad di ponselnya. Namun tetap tidak diangkat.

Bengong, tak tahu lagi mau apa, akhirnya aku berjalan-jalan sendiri di pertokoan. Hingga saat kaki ini melangkah di depan kantor biro perjalanan. Berdiri diam sejenak dan kemudian aku memutuskan untuk memasukinya.

"Hmm Mas, 1 tiket pp dong buat besok pagi dan hari minggu, first flight and last flight ya."

"Kemana Mbak?"

"Bali. Maskapai apa pun. Langsung issued."

Tak perlu waktu lama untuk tiket itu sudah ada di tanganku. Jakarta-Denpasar 06.15 WIB, dan Denpasar-Jakarta 23.30 WITA.

1 komentar:

PoLArbEAr mengatakan...

It's so you....going to Bali :D